Aku
tidak berpikir akan menemukannya, sekali lagi. Ia berjalan keluar dari ruangan
yang jauhnya di belakangku – sama seperti dulu, ia melangkah melewatiku tanpa
menyadari aku ada di sini. Dan aku tidak berusaha melakukan hal-hal yang
membuatnya menengok. Ia juga tetap tidak tahu aku masih memilih tempat yang sama untuk mencuri
dengar dan melirik pandang pada piano yang pernah menghentikan niat pulangnya.
“Sama, aku juga merasakan hal yang
serupa. Ada yang hilang.” Aku membenamkan diri di antara halaman buku yang
terbuka. Buku yang membicarakan tentang perjalanan; bagaimana kita bepergian
jauh dan bangun di suatu kamar sewaan, lalu mendapati diri nyamannya bagai
rumah – lantas teringat ketika kita tidur di rumah sendiri, bangun di pagi
hari, berdiri menatapi cermin dan merasa asing. “Mungkin ada yang ketinggalan,”
ujarku akhirnya.
Gedung
itu tidak segelap waktu pertama kali aku melihatnya duduk di balik piano.
Lampu-lampu kini dinyalakan – cukup kontras dengan malam di luar sana yang
hitam. Keadaannya juga lebih ramai, tidak selenggang dulu; ada pengeras suara
yang teronggok tak jauh dari stop kontak, yang akhirnya memainkan musik-musik
populer dengan volume memekakakan telinga. Dua kelompok mahasiswa berkumpul di
tempat duduk tunggu, membicarakan tugas-tugas. Lalu orang-orang yang berlalu-lalang,
masuk-keluar melalui dua pasang pintu kaca yang lebar. Dan, pianonya – ia tak
ada di sana; berganti jadi seorang lelaki dan perempuan yang duduk
berdampingan, saling mendengar irama perasaan masing-masing; terbata-bata.
5 Januari lalu, pada episode 'Tuts Hitam' |
“Aku ingin sekali berkata padanya
bahwa ia selalu punya kesempatan.” Aku membalik halaman buku dengan tergesa,
rasanya aku hanya ‘membaca’nya, tidak mencernanya. Akhirnya kukatupkan buku
itu. Setiap orang punya bahasanya sendiri saat dijerat kenangan – ada yang
berhenti lama sekali di depan etalase sebuah toko karena benda yang dipajang di
sana mungkin mengantarkannya pada janji seseorang di masa lalu, ada yang adukan
kopinya melambat ketika mendengar sepotong lagu di kafe tempatnya melarikan
diri, ada yang menyiapkan agendanya Senin-Minggu dengan berbagai aktivitas yang
padat dan memaksanya baru bisa pulang minimal jam sepuluh malam ketika ia sudah
begitu lelah, atau juga, ada yang tiba-tiba mengatupkan buku yang sedang
dibacanya, begitu saja, seraya mencari objek yang bisa disinggahi pandangnya
yang risau.
Aku
juga tak lagi menyembunyikan diri di gelapnya bayangan gedung, di samping
piano. Aku duduk di bangku tunggu ketika mataku menangkapnya berlalu. Ia tak
berubah – aku yakin ia adalah pria di balik piano, yang sekitar dua bulanan lalu kuselipkan pesan kecilku di
antara tuts-tutsnya. Hanya saja, kali ini aku bisa lebih jelas melihatnya, dan
aku tak pernah lupa; jaket kremnya yang panjang melewati pinggang, seakan itu
adalah overcoat untuk musim dingin, serta tas jinjing hitamnya. Dan, potongan
rambutnya yang bisa kutebak, mungkin bergaya fade yang cukup lebat. Aku cukup gelisah – berpikir bagaimana jika
aku bangkit dari tempat dudukku, menyapanya dan bertanya, saya berani bertaruh, pada jam yang sama, lima Januari lalu, Anda duduk
di balik piano itu saat orang-orang lain memilih pulang dan gedung ini menyepi,
Anda justru memainkan musik-musik seakan hari esok tak akan tiba. Jadi, mengapa
Anda memilih pulang hari ini?
18 Maret lalu, beberapa hari setelah episode 'Tuts Putih' ini ditulis |
Ia
tetap berjalan menjauh, memunggungiku, dan aku masih tak pernah mengetahui
wajahnya. Isi gedung semakin ramai – permainan piano yang terputus-putus dari
sepasang kekasih yang saling mengeja nada masing-masing, beradu dengan musik
populer dari pengeras suara yang diputar mahasiswa yang sedang berlatih tarian
modern. Aku tertegun – mungkin tanpa bertanya pun, aku sudah dapat jawabannya.
Langkah ia semakin mantap ketika kulihat ia menatap lurus ke depan, ke arah
pintu kaca yang terbuka.
“Sejatinya jatuh cinta, tak pernah
sakit. Karena, ketika kamu hendak jatuh padanya, ia akan sesegera mungkin
menangkapmu – sebelum kamu terbentur keras. Dan, yang cepat dan sigapnya
menangkapmu ketika kamu jatuh padanya, hanyalah orang yang tepat, yang tahu
kamu akan terhuyung dan jatuh – ia adalah orang yang menemukanmu ketika yang
lain tidak. Kalian saling menemukan dan ditemukan.” Aku memasukkan buku
bacaanku tadi ke dalam tas punggung. Aku menerima pesan kalau jemputanku sudah
sampai. Aku harus bergegas. Kuangkat tasku dan hendak beranjak; aku menundukkan
kepalaku, berusaha menyembunyikan bekas luka benturan. Aku baru saja jatuh.
Biar
kutebak, musik yang dimainkan tergagap-gagap oleh sepasang kekasih itu, adalah
gubahan dari salah seorang pianis Korea favoritku. Musik yang sama yang pernah
ia mainkan Januari lalu. Musik yang sama yang pernah kamu mainkan setahun lalu.
Aku mempercepat langkah kakiku keluar dari lobi utama gedung tengah, dan
kuulang sekali lagi jawaban yang akhirnya kuketahui mengapa ia tak lagi
berhenti untuk bermain. Langkahnya pun sudah lebih mantap dan tegas.
Ia
tidak lagi melarikan diri. Ia sudah tahu tempat yang menunggunya pulang.
Keramaian yang ada hari ini dan lepas dari kota yang kesepian, adalah
perayaannya akan rumah.
“Dan, happily ever after, Ver.
Berakhir bahagia, jika tidak, berarti ini bukan endingnya. Bukankah sesederhana
itu?”
Tentang pria di balik piano kampus yang dimaksud tulisan ini, ada di sini
Tentang pria di balik piano kampus yang dimaksud tulisan ini, ada di sini
0 Comments:
Post a Comment