1
Aku
mengerjap-ngerjap depan ponsel. Seorang lelaki, temanku, mengirimi pesan
singkat. Ia minta bertemu. Pertama, kami tak pernah saling mengobrol
sebelumnya. Kedua, sapa singkat dan lempar senyum ketika bertemu tanpa sengaja
di jalan adalah bentuk pertemuanku dengannya sejauh ini. Dan, aku berakhir di
salah satu resto bersamanya. Without
playful conversation, he said he ended up with my best friend. Aku tertegun
– terakhir aku melihatnya adalah ia tertawa di tengah dua-tiga sahabatnya di
lorong, pergi setiap akhir pekan dengan baik-baik saja, menantangi tugas-tugas,
dan tertawa lagi. “Kalau mengakhirinya adalah pilihan, kupastikan aku tak
pernah melakukannya. Mencintainya tetap sama, aku masih tak punya alasan.”
sumber gambar: www.stefanie-hoepner.de |
2
“Apakah
kamu mendengarku? Korporat harusnya melakukan CSR bukan hanya karena keharusan
dan kewajiban karena sudah diatur oleh undang-undang, melainkan karena this is the right thing to do. CSR
adalah tanggung jawab. Hey,” panggilnya sekali lagi di sela-sela penjelasannya.
Aku yang sedang menopang dagu seraya mendengarnya sambil lalu, tiba-tiba
tersentak. Ia terdiam, sepasang mata hitamnya menatapku dengan kilat kesal. Aku
memandanginya, sama seperti tadi. Aku teringat salah satu kalimat yang pernah
ia tulis diam-diam di situs pribadinya, aku
mengajar dari satu tempat ke tempat lainnya, pagi sampai sore, bertemu
murid-murid yang lucu-lucu. Mereka bilang aku lebih bahagia, yang tak mereka
tahu: aku hanya sedang melarikan diri, dari rindu yang mengintipi.
3
Kawanku
masih mengoceh soal tempat makan, jadwal padat, janji-janji yang batal dan
buku-buku referensi yang tak kunjung ia dapatkan. Aku tersenyum kecil, sesekali
menanggapi. Sudah lama aku tidak jalan berdua dengannya seperti ini, mengingat
waktu kelas kita yang saling bertabrakan. Lalu, ia pamit pulang, mengatakan
sampai jumpa minggu depan; kita janji tiap jam jeda yang berbarengan, kita akan
sebisa mungkin menghabiskannya bersama. Dan, suatu waktu aku bertemu dengan
sahabatnya, ia menyapaku dan mengatakan, “Seminggu lalu dia nangis, mungkin
sekitar tiga menit. Sebelum akhirnya tertawa keras dan bilang, kalau dia itu
pintar, punya banyak teman, gabung ke banyak organisasi yang keren-keren. Jadi
harusnya, seseorang yang habis mengakhiri hubungan dengannya menyesal
melepasnya, bukan sebaliknya.” Aku terkesiap, minggu lalu? But she acts like nothing happens, everythings really okay without
those ‘girl skills at pretending’.
4
Kemarin temanku bilang melihatnya
di teras sebuah minimarket. Hanya kabar sederhana, dan aku runtuh begitu saja.
Aku masih naik ke atap rumah, berbaring dan menghitung bintang yang kadang kala
hanya satu – apakah kau percaya? Dan, kubilang akan segera beranjak tapi jari
jemariku masih mengetik namanya di kolom pencarian media sosialku.
Cerita sehabat jauhku masih mengiang di telinga. Katanya ia masih membiru;
menikmati kehilangan. Orang-orang seperti
aku, selalu sulit bercerita, karena aku tak pernah menyatakan rasa sebagaimanapun
dia padaku, tapi rasanya ia seperti sudah menyakitiku berkali-kali. Apakah
benar perasaan baru layak didengar ketika ia sempat diucapkan? Bagaimana nasib
ia yang hanya disimpan? Kemarin, sebelum ia berbicara pada bintang-bintang
tentang apa yang belum sembuh dari hatinya, ia begitu semangat menulis
artikel-artikel, membahas lelucon-lelucon, dan mengomentari
pernyataan-pernyataan filosofis bersamaku.
5
Aku
duduk bersandar pada dinding ruang tamu, membaca buku puisi yang kubeli minggu
lalu dan tak pernah selesai kutamatkan. Aku berbaring di atas kasur di ruang
tidur, memandangi layar laptop dengan barisan paragraf pada tulisan yang
kumulai sejak sebulan lalu, dan tak kunjung usai. Aku berdiri di tengah jalan kompleks sebuah
perumahan, menghadap matahari yang berbisik sayonara, dan menemani sepotong
langit yang berdarah. Kejadiannya menjelang sore, menuju malam. Akhirnya aku
menyerah, kubungkus kesendirian kembali ke dalam pelukan. Banyak hal yang harus
kulakukan besok – salah satunya mengikuti saran teman-temanku untuk pergi ke
toko kelontong membeli stiker seukuran wajah yang bibirnya melengkung membentuk
senyum, untuk kutempeli pada muka sebelum besok berangkat ke kampus. “Coba cari
di rak yang dilabeli ketabahan.” Aku mengernyit – ketabahan? Itukah istilah yang dipakai orang-orang untuk
menamainya dengan lebih lembut, mengelak dari cibiran mereka yang bilang ini palsu? Banyak
sekali pelanggan toko itu, yang bukan hanya aku, jadi kata mereka; tak perlu
malu. Harus cepat-cepat sampai sebelum mengantri lama dan kehabisan. Kita semua
mengenakannya.
Benar.
Bagian paling pentingnya, kamu juga memakainya.
0 Comments:
Post a Comment