Monday, 4 April 2016

Sehimpun Cerita Tentang Orang-orang yang Membeli Senyuman di Toko Kelontong



1
Aku mengerjap-ngerjap depan ponsel. Seorang lelaki, temanku, mengirimi pesan singkat. Ia minta bertemu. Pertama, kami tak pernah saling mengobrol sebelumnya. Kedua, sapa singkat dan lempar senyum ketika bertemu tanpa sengaja di jalan adalah bentuk pertemuanku dengannya sejauh ini. Dan, aku berakhir di salah satu resto bersamanya. Without playful conversation, he said he ended up with my best friend. Aku tertegun – terakhir aku melihatnya adalah ia tertawa di tengah dua-tiga sahabatnya di lorong, pergi setiap akhir pekan dengan baik-baik saja, menantangi tugas-tugas, dan tertawa lagi. “Kalau mengakhirinya adalah pilihan, kupastikan aku tak pernah melakukannya. Mencintainya tetap sama, aku masih tak punya alasan.”
sumber gambar: www.stefanie-hoepner.de
 2
“Apakah kamu mendengarku? Korporat harusnya melakukan CSR bukan hanya karena keharusan dan kewajiban karena sudah diatur oleh undang-undang, melainkan karena this is the right thing to do. CSR adalah tanggung jawab. Hey,” panggilnya sekali lagi di sela-sela penjelasannya. Aku yang sedang menopang dagu seraya mendengarnya sambil lalu, tiba-tiba tersentak. Ia terdiam, sepasang mata hitamnya menatapku dengan kilat kesal. Aku memandanginya, sama seperti tadi. Aku teringat salah satu kalimat yang pernah ia tulis diam-diam di situs pribadinya, aku mengajar dari satu tempat ke tempat lainnya, pagi sampai sore, bertemu murid-murid yang lucu-lucu. Mereka bilang aku lebih bahagia, yang tak mereka tahu: aku hanya sedang melarikan diri, dari rindu yang mengintipi.
3
Kawanku masih mengoceh soal tempat makan, jadwal padat, janji-janji yang batal dan buku-buku referensi yang tak kunjung ia dapatkan. Aku tersenyum kecil, sesekali menanggapi. Sudah lama aku tidak jalan berdua dengannya seperti ini, mengingat waktu kelas kita yang saling bertabrakan. Lalu, ia pamit pulang, mengatakan sampai jumpa minggu depan; kita janji tiap jam jeda yang berbarengan, kita akan sebisa mungkin menghabiskannya bersama. Dan, suatu waktu aku bertemu dengan sahabatnya, ia menyapaku dan mengatakan, “Seminggu lalu dia nangis, mungkin sekitar tiga menit. Sebelum akhirnya tertawa keras dan bilang, kalau dia itu pintar, punya banyak teman, gabung ke banyak organisasi yang keren-keren. Jadi harusnya, seseorang yang habis mengakhiri hubungan dengannya menyesal melepasnya, bukan sebaliknya.” Aku terkesiap, minggu lalu? But she acts like nothing happens, everythings really okay without those ‘girl skills at pretending’.
4
Kemarin temanku bilang melihatnya di teras sebuah minimarket. Hanya kabar sederhana, dan aku runtuh begitu saja. Aku masih naik ke atap rumah, berbaring dan menghitung bintang yang kadang kala hanya satu – apakah kau percaya? Dan, kubilang akan segera beranjak tapi jari jemariku masih mengetik namanya di kolom pencarian media sosialku. Cerita sehabat jauhku masih mengiang di telinga. Katanya ia masih membiru; menikmati kehilangan. Orang-orang seperti aku, selalu sulit bercerita, karena aku tak pernah menyatakan rasa sebagaimanapun dia padaku, tapi rasanya ia seperti sudah menyakitiku berkali-kali. Apakah benar perasaan baru layak didengar ketika ia sempat diucapkan? Bagaimana nasib ia yang hanya disimpan? Kemarin, sebelum ia berbicara pada bintang-bintang tentang apa yang belum sembuh dari hatinya, ia begitu semangat menulis artikel-artikel, membahas lelucon-lelucon, dan mengomentari pernyataan-pernyataan filosofis bersamaku.
5
Aku duduk bersandar pada dinding ruang tamu, membaca buku puisi yang kubeli minggu lalu dan tak pernah selesai kutamatkan. Aku berbaring di atas kasur di ruang tidur, memandangi layar laptop dengan barisan paragraf pada tulisan yang kumulai sejak sebulan lalu, dan tak kunjung usai.  Aku berdiri di tengah jalan kompleks sebuah perumahan, menghadap matahari yang berbisik sayonara, dan menemani sepotong langit yang berdarah. Kejadiannya menjelang sore, menuju malam. Akhirnya aku menyerah, kubungkus kesendirian kembali ke dalam pelukan. Banyak hal yang harus kulakukan besok – salah satunya mengikuti saran teman-temanku untuk pergi ke toko kelontong membeli stiker seukuran wajah yang bibirnya melengkung membentuk senyum, untuk kutempeli pada muka sebelum besok berangkat ke kampus. “Coba cari di rak yang dilabeli ketabahan.” Aku mengernyit – ketabahan? Itukah istilah yang dipakai orang-orang untuk menamainya dengan lebih lembut, mengelak dari cibiran mereka yang bilang ini palsu? Banyak sekali pelanggan toko itu, yang bukan hanya aku, jadi kata mereka; tak perlu malu. Harus cepat-cepat sampai sebelum mengantri lama dan kehabisan. Kita semua mengenakannya. 

Benar. Bagian paling pentingnya, kamu juga memakainya.
This entry was posted in

0 Comments:

Post a Comment