Rapat
baru selesai. Aku masih sendiri seusai debat panjang dengan konseptor-konseptor
acara. Pada sebuah ruang tunggu, kuambil bangku paling sepi di antara deretan
bangku yang saling berbisik tentang siapa di antara mereka yang akan kududuki. Aku
memilih bangku kosong yang bersebelahan dengan jendela besar; kacanya menjulang
tinggi menggantikan peran dinding sebagai sekat pemisah. Baru kusadari, gedung
itu tidak memiliki banyak tembok, sebaliknya, kaca-kaca menjadi dinding
utamanya – seakan mengatakan pada siapa saja di dalamnya; kamu tak pernah
benar-benar bisa sembunyi ataupun menjadi bagian dari rahasia.
sumber gambar: stockphotos.io Bahkan tembok pun bertelinga, jendela punya mata. Sudut-sudut ruang, yang gelap oleh bayangan, yang tidak sampai disinggahi seberkas cahaya; adalah pengintai paling hening; mereka berlomba-lomba mengintip masa lalu yang kamu bongkar sendiri di hadapan mereka lewat air mata yang jatuh diam-diam, kaca mata yang berembun tiba-tiba, dan sepotong bisik pesan yang tak kunjung sampai.
Jika
jendela memiliki kemampuan menelanjangimu seperti itu, aku bertanya; bagaimana
andai ia sampai berteman dengan bangku kosong yang bersebelahan dengannya. Atau
bisa saja, mereka memang sudah berkawan lama. Coba ingat-ingat lagi, apakah
kamu pernah menemukan orang-orang yang menyimpan sendu di mata mereka dan
menutup rapat kegelisahan di dada mereka, lebih sering memilih duduk berdekatan
dengan jendela? Dengan harapan, ia bisa membahasakan tubuhnya untuk condong ke
arah jendela seolah ingin menikmati pemandangan di luar sana – padahal itu
alasan lain untuk menghindari percakapan bersama orang-orang, dan upaya
melarikan diri dengan melempar ingatan-ingatan ke luar jendela; berharap
bingkai-bingkai pandang yang bergerak itu segera menabrak mati kenangan yang
kita buang.
Sedangkan masa lalu tak semudah itu mati. Eulogi dan epitaf yang mengiringinya sebagai salam perpisahan terakhir, bahkan selalu mampu menghidupkannya kembali.
Aku
babak belur; hanya karena memilih bangku kosong yang paling sepi, yang
bersebelahan langsung dengan jendela. Materi rapat tadi masing segar menempeli
ruang kepala, padahal waktu rihatku sebelum menuju rapat selanjutnya hanya lima
belas menit. Aku bergegas mengemasi barang bawaanku – cukup tergesa-gesa.
Ketika aku sampai pada resto kecil tempat orang yang kutemui membuat janji di
sana, aku terkejut-kejut; jendela tadi mengikutiku. Ia melayang tepat di
samping pipi kiriku. Bangku tadi juga melekat di pantatku, tak mau lepas. Aku
kalang kabut, apa yang sedang terjadi? Tiba-tiba saja seorang asing menepuk pundakku
dari belakang,
“Kembalilah pada tempat semula, Nona. Ada perasaan yang belum selesai. Jangan bilang mau beranjak sedangkan hati masih ketinggalan di sana. Itu seperti tubuh yang melangkah pergi dengan sepasang mata yang sudah pindah pada sebidang punggung; jalanmu ke depan akan buta karena matamu terus-menerus melihat apa yang ada di belakang,” ujarnya sembari memberiku segulung kalender tahun lalu.
0 Comments:
Post a Comment