Sunday, 24 April 2016

Pertemanan antara Bangku Kosong dan Jendela di Sebelahnya



Rapat baru selesai. Aku masih sendiri seusai debat panjang dengan konseptor-konseptor acara. Pada sebuah ruang tunggu, kuambil bangku paling sepi di antara deretan bangku yang saling berbisik tentang siapa di antara mereka yang akan kududuki. Aku memilih bangku kosong yang bersebelahan dengan jendela besar; kacanya menjulang tinggi menggantikan peran dinding sebagai sekat pemisah. Baru kusadari, gedung itu tidak memiliki banyak tembok, sebaliknya, kaca-kaca menjadi dinding utamanya – seakan mengatakan pada siapa saja di dalamnya; kamu tak pernah benar-benar bisa sembunyi ataupun menjadi bagian dari rahasia. 
sumber gambar: stockphotos.io
Bahkan tembok pun bertelinga, jendela punya mata. Sudut-sudut ruang, yang gelap oleh bayangan, yang tidak sampai disinggahi seberkas cahaya; adalah pengintai paling hening; mereka berlomba-lomba mengintip masa lalu yang kamu bongkar sendiri di hadapan mereka lewat air mata yang jatuh diam-diam, kaca mata yang berembun tiba-tiba, dan sepotong bisik pesan yang tak kunjung sampai.
Jika jendela memiliki kemampuan menelanjangimu seperti itu, aku bertanya; bagaimana andai ia sampai berteman dengan bangku kosong yang bersebelahan dengannya. Atau bisa saja, mereka memang sudah berkawan lama. Coba ingat-ingat lagi, apakah kamu pernah menemukan orang-orang yang menyimpan sendu di mata mereka dan menutup rapat kegelisahan di dada mereka, lebih sering memilih duduk berdekatan dengan jendela? Dengan harapan, ia bisa membahasakan tubuhnya untuk condong ke arah jendela seolah ingin menikmati pemandangan di luar sana – padahal itu alasan lain untuk menghindari percakapan bersama orang-orang, dan upaya melarikan diri dengan melempar ingatan-ingatan ke luar jendela; berharap bingkai-bingkai pandang yang bergerak itu segera menabrak mati kenangan yang kita buang.  
Sedangkan masa lalu tak semudah itu mati. Eulogi dan epitaf yang mengiringinya sebagai salam perpisahan terakhir, bahkan selalu mampu menghidupkannya kembali.
Aku babak belur; hanya karena memilih bangku kosong yang paling sepi, yang bersebelahan langsung dengan jendela. Materi rapat tadi masing segar menempeli ruang kepala, padahal waktu rihatku sebelum menuju rapat selanjutnya hanya lima belas menit. Aku bergegas mengemasi barang bawaanku – cukup tergesa-gesa. Ketika aku sampai pada resto kecil tempat orang yang kutemui membuat janji di sana, aku terkejut-kejut; jendela tadi mengikutiku. Ia melayang tepat di samping pipi kiriku. Bangku tadi juga melekat di pantatku, tak mau lepas. Aku kalang kabut, apa yang sedang terjadi? Tiba-tiba saja seorang asing menepuk pundakku dari belakang,
“Kembalilah pada tempat semula, Nona. Ada perasaan yang belum selesai. Jangan bilang mau beranjak sedangkan hati masih ketinggalan di sana. Itu seperti tubuh yang melangkah pergi dengan sepasang mata yang sudah pindah pada sebidang punggung; jalanmu ke depan akan buta karena matamu terus-menerus melihat apa yang ada di belakang,” ujarnya sembari memberiku segulung kalender tahun lalu.
This entry was posted in

0 Comments:

Post a Comment