Malam
kemarin, aku tak sengaja membaca sepotong kalimat dari sebuah kitab milik
anak-anak. Kitab yang sedang dihafalkan oleh sejumlah anak dengan begitu
khusyuknya. Salah satu kalimat yang adalah sepenggal ayat, yang sekiranya
mengungkapkan, belajar agama terlebih dulu sebelum ilmu pengetahuan dan seni
rupa. Beberapa ayat turunannya yang saling memperjelas satu sama lain semakin
menarik perhatianku untuk menafsirkannya. Namun, pikiranku sebaliknya terlontar
pada salah satu film yang kutonton
beberapa minggu lalu – yang diangkat dari trilogi novel yang sudah kutamatkan
setahun lalu; serial Divergent. Kuingat, Tris pernah bilang, kira-kira seperti
ini maksudnya: tiap faksi punya kelebihan dan kekurangan masing-masing, dan
manusia sebaiknya tidak hanya memiliki satu kelebihan dan kekurangan tersebut,
tapi memang lebih baik memiliki paduan semuanya. Contohnya, jika kamu terlalu
‘Erudite’, kamu akan kehilangan kasih sayang. Baru sampai kelebat ingatan itu,
bayangan lain muncul di kepalaku yang bagai kantor paling sibuk di dunia* ini,
yaitu sebaris pepatah lama: ‘dunia sedang
butuh orang yang baik, bukan pintar atau bahkan jenius’. Gambar samar-samar
dan suara sayup-sayup yang saling berusaha mencuri tempat di benakku masih
belum selesai menampilkan tayangan. Sampai akhirnya aku dibawa pada satu
episode yang sudah lama terekam, bersepihan di mana-mana, dan baru hari itu aku
menontonnya secara utuh. Lalu kemudian, kutuliskan sekarang. Soal tiga orang
asing yang kerap muncul ‘mengusik’ satu bagian di hatiku.
sumber gambar: favim.com |
Seorang
buta, yang juga penjual kerupuk. Aku baru melihatnya sekali, pada sepenggal
pagi yang sudah tak lagi perawan. Bapak tua bertubuh kurus yang agak bungkuk –
karena memanggul dua ikat kerupuk yang lumayan banyak di kanan-kirinya.
Pakaiannya seadanya – kaus putih yang sudah memudar warnanya, dan bagian kerah
yang sudah begitu koyak. Si Bapak tua melangkah pelan-pelan, teramat hati-hati,
menggunakan sebilah kayu sebagai penuntun jalannya. Penjual kerupuk itu – si Bapak
– adalah seorang buta. Lama mataku singgah padanya, mendadak saja ada yang
berantakan pada salah satu ruang hatiku. Si Bapak masih berjalan, dengan
langkah pendek, di pinggiran. Menguji kejujuran orang-orang, lewat
bungkus-bungkus kerupuknya.
Seorang
tua, yang juga pedagang mainan anak-anak. Beliau menggelar lapak jualannya
dengan rentangan plastik besar berwarna biru-oranye. Menumpahkan koleksi mainan
anak-anak; boneka barbie, masak-masakkan, baju-baju mini untuk boneka-boneka
plastik, dan sejenisnya. Itu mainan-mainan yang sekali kamu menemukannya, kamu
akan terdiam, teringat dulu mereka mengisi dan melengkapi kebahagiaan masa
kecilmu yang sederhana. Mainan yang sama – yang jadi tempat harapan-harapan
seorang kakek bertumpu di sana. Lebih dari tiga kali aku melihat beliau
berjualan di pinggiran pasar, dengan wajah renta yang kusut oleh keriputan atau
juga kerutan zaman. Melatih kepedulian orang-orang, agar membeli barang
dagangannya lebih dari sekadar niatan untuk anak di rumah.
Seorang
bungkuk, yang juga juru parkir. Mungkin usianya menjelang empat puluhan.
Tubuhnya pendek, sedikit gemuk. Kepalanya kecil, sering kali ditutupi dengan
topi berlidah merah dengan penutup berwarna hijau terang yang gelap oleh
selimut debu kendaraan. Ia punya senyum tulus yang kusukai – yang baru sekali
kulihat dan terus-menerus tergambar di kepalaku. Senyum ketika ia menerima
beberapa keping rupiah logam, yang ia terima dengan menegadahkan tangan
kananya, seraya menundukkan kepala dan membungkukkan tubuh lalu berucap ‘terima
kasih’. Ia berikan sepotong senyum dan terima kasih yang sudah mahal sekali
harganya hari ini – saking mahalnya kukira sampai orang-orang tak memilikinya.
Karenanya, kupikir ia orang yang kaya. Memaknai kemewahan dan kesederhanaan
orang-orang, melalui tindakan kecil sarat nilai yang mengalami demensia
sekarang-sekarang.
Keseluruhannya
tampak ketika fajar hampir selesai menepi; habis. Sepanjang pagi yang kujajaki
menuju kampus. Pemandangan-pemandangan yang mengusikku, sebab tiap hari aku diajak
menerjemahkan dan mendefinisikan sekali lagi arti pengejaran, relasinya dengan
jengkal-jengkal kehidupan. Aku – dan masing-masing dari kita, akhirnya sampai
pada persimpangan: “Kita bukan bekerja keras, belajar cerdas, meraih bintang
impian supaya tidak bernasib seperti mereka. Melainkan, kita bekerja keras,
belajar cerdas, meraih impian demi bisa menemukan cara untuk membawa mereka
pada penghidupan yang lebih baik.”
Suara
anak-anak yang melantunkan ayat-ayat kitab masih segar terdengar, mengiringi tiap
air mata yang berdesakkan minta keluar.
*dari judul salah satu buku puisi karya Aan Mansyur
*dari judul salah satu buku puisi karya Aan Mansyur
0 Comments:
Post a Comment