Kita
baru saja pulang sekolah. Kelas hari ini benar-benar lenggang – tak ada guru
yang masuk untuk mengajar, sepanjang hari kita hanya duduk berhaha-berhihi di
pojok ruang, menyelipkan taplak meja di kerah baju belakang dan berpura sebagai
makhluk dari planet Krypton, dan loncat-loncat di atas panggung kecil di depan
kelas. Sebagai akhirnya: kita membubuhi tanda tangan masing-masing di atas
papan tulis putih. Kemudian, kita sekelas, berfoto bersama setelah menarik
salah satu guru dari kantor untuk ikut bergabung. Kita tak ingat, yang pasti
ujian nasional sudah selesai. Kita tidak juga serta-merta meninggalkan sekolah,
lantas berkonvoi ria, mencoret seragam putih abu-abu, atau mengajak polisi
bermain jenderal-jenderalan. Kita hanya tertawa bersama di ruang kelas tempat
kita janji berkumpul sampai salah satu di antara kita semua lelah dan
menanggalkan diri untuk ke rumah. Lalu, sisa kita – mungkin dua atau tiga
orang, aku tak ingat. Kita saling bertatap-tatapan; sesungguhnya alasan kita
masih bertahan karena kita cukup kuat menertawai apa yang kita sebut kebebasan,
atau kita justru yang paling lemah karena takut beranjak – meninggalkan tempat
yang selama ini menemani kita merajut kenangan dan membangun tangga asa. Kita
hanya sepakat: terlalu lelah tertawa. Jadi kita memilih untuk menangis saja
sesudahnya.
sumber gambar: flickriver.com |
Kita
baru saja pulang sekolah. Janji ya, kita
bakal bareng-bareng lagi. Bikin grup alumni saja. Keep contact! Jadi, kapan
rencana reuninya? Pas liburan. Aku shift kerja jam segitu. Magang nih. Tugas
kuliah numpuk. Dua minggu lagi. Yasudah, batalin saja kalau memang yang bisa
sedikit. Yang beneran yuk, di mana ya. Kapan ya. Eh, sebentar, kayaknya
pertengahn bulan aku engga bisa deh. Sama, jangan tanggal itu. Itu
pesan-pesan kita, setelah kita bilang rasanya seperti baru pulang sekolah. Dan
kita-kita yang lainnya juga meminang rasa yang demikian. Kita menulis surat
cinta kepada orang yang kita sayang dan dia juga tahu kita tengah menyiapkan
kata-kata terindah untuknya, tapi kenyataannya kita tak pernah sampai
mengirimkannya. Kita ingin secangkir kopi panas dan dapur kita memiliki lebih
dari tiga varian rasa kopi yang siap kita buat, namun kita tak juga beranjak
dari layar laptop untuk menyeduhnya. Kita kerap membicarakan rindu tanpa
menuntaskannya, kita sering mengutak-atik sapaan hingga kehilangan maknanya.
Kita
baru saja pulang sekolah. Ada jalan panjang yang bisa kita beri tanda tanya;
apakah kita sudah sampai rumah?
*tulisan ini kutulis setelah suatu
sore aku membaca sebaris caption di akun instagram milik adik kelasku yang
masih SMA. Ujian nasional baru saja usai, dan ia mengunggah potretnya seorang
diri di lapangan basket. Ia tulis bahwa tiap jengkal sekolah pastinya akan
dirindukannya. Aku terdiam barang beberapa menit – itu lapangan basket yang
sekitar dua atau tiga tahun lalu kududuki pinggirannya pada hari terakhir
mengenakan seragam putih abu dan saling membincangkan kebersamaan dengan
kawan-kawan. Sebelum akhirnya kita semua membiarkan kenangan tetap berdebu di
belakang, dan tidak benar-benar berupayanya memperbaruinya.
0 Comments:
Post a Comment