Sampai
sekarang, aku selalu penasaran, dua kata terakhir yang kuucapkan padamu malam
tahun lalu itu, apakah masih jadi rahasia tepat satu detik setelah aku
menyampaikannya? Sementara hari ini, aku baru tahu kalau angin-angin punya
mulut. Mereka bisa bicara. Sementara hari ini, aku baru tahu kalau angin-angin
punya telinga. Mereka bisa dengar. Lalu, kuingat-ingat seiris langit gelap yang
memayungi kita berdua di atas motor yang melaju pulang ke rumahku itu, memang datang
bersama angin yang embusannya bukan sepoi-sepoi, melainkan tiup-tiup yang
kencang. Aku terkesiap, ini begitu sialan. Sepoi berarti si angin datang
diam-diam menguping percakapan kita. Dan, tiup kencang berarti si angin
bersiul-siul atau sedang menangkap suara-suara kita yang harus melewati udara
terlebih dulu sebelum sampai pada telingamu. Ah, berarti benar – si angin
pastilah mendengar, dan sudah terlambat bagiku untuk menyadari ia juga punya
mulut untuk bicara.
sumber gambar: pinterest.com |
Nyatanya,
sudah jadi pengetahuan umum jika angin memang memiliki kuping. Tapi masih
menjadi kejutan kalau angin punya mulut. Awal mengetahuinya, aku sedikit kaget.
Tapi untuk sekarang, setelah kupikirkan masak-masak, semuanya memang masuk
akal. Siapa gerangan kiranya yang jadi kurir mengirimkan bisik rindu dua orang
kekasih yang sedang dipisah jarak – kalau bukan embus angin yang memasuki celah
kaca jendela mereka yang terbuka, menerbangkan suara mereka ke seberang sana?
Siapa pula yang membuat tembok-tembok di rumah yang harusnya jadi dinding
pemisah untuk menjaga percakapan-percakapan
sembunyi, justru jadi tukang gosip yang bikin para tetangga-tetangga
tahu – kalau bukan keberadaan angin yang menempeli di keseluruhan permukaan
dinding, membawa cakap-cakap itu bagai estafet dengan angin lainnya ke rumah di
sebelahnya, dan seterusnya? Bahkan aku juga curiga pada sambungan telepon.
Bukan kabel-kabel, serat optik, atau satelit yang mengirim suara dari satu
pulau ke pulau lainnya, melainkan angin-angin. Itulah mengapa kadang kali
ketika kamu menghubungiku, sering kali terdengar tidak jelas atau sambunganya terganggu,
karena si angin tak sengaja menabrak gunung atau tersesat oleh suara-suara
berisik di pasar, hingga perjalanannya sampai padamu dengan tidak sempurna.
Dan,
apakah pula, kamu pernah merasa seperti ada suara yang memanggilmu jauh dari
belakang, atau bisikan kecil dari balik telinga dan tengkuk lehermu, lalu
ketika kamu menengok ke sumber suara untuk memastikan siapa, tiada orang di
sana. Kamu bilang itu hanya halusinasi atau setan yang sedang iseng bermain
petak umpet. Padahal tidak. Suara itu nyata – dari angin-angin yang bicara;
yang mengulang atau sedang menyampaikan kata-kata yang dilontarkan seseorang
entah di mana yang akhirnya sampai padamu secara acak atau memang untukmu.Seperti
dua kata itu, yang tak kutahu kamu terima persis seperti kulirihkan pertama
kali atau tidak – mengingat ada angin yang menerimanya sebelum kamu. Sebab
sejak itu, aku sibuk mencari apa kabar darimu yang memilih jawaban paling
bohong; baik-baik saja.
Sekarang,
aku berdiri di tengah kompleks perumahan, membiarkan angin berembus melewati
anak-anak rambutku, menampar-nampar wajahku, menciumi tubuhku sekaligus.
Kupikir tak apa angin membelokkan pesanku yang hanya dua kata itu. Kurasa jika
angin mendengarnya, berarti semesta juga demikian. Seluruh dunia menyimpan kebenarannya,
yang hanya bisa kamu baca dan dengar lewat tempat yang tak dimasuki angin;
sepotong hati kecilmu.
*Dua kata itu, apa kamu ingat?
0 Comments:
Post a Comment