sejak itu, kita mengobrol panjang tentang kebiasaan kita bercakap-cakap dan bercurhat ria yang akhirnya menememukan pemahaman akan rasa dengan sendirinya – lalu pelarian kita sering kali sama, mengekalkannya dalam cerita dan gambar. Konsep #bicaracinta sepakat untuk lahir, mengajak dunia (baca: kita semua) membincangkan rasa. Lebih dalam, lewat kata dan sketsa. Kita berangkat dari sepotong percakapan.
“Ver, luka.
Mencintai ibarat kata kerja yang mewakili kata ‘derita’, dan mengemas dirinya
dengan bungkus permen lolipop. Hanya sebuah samaran. Lagipula, kita semua
menyukainya, jadi baik-baik saja. Kamu tahu apa alasannya? Sederhana saja, coba
tengok salah satu rak lemarimu, dekat dengan baju-baju koleksimu, sudah berapa
topeng yang kamu punyai untuk digonta-ganti sebelum melangkah keluar rumah?”
Entah ‘pertemuan’
ke berapa di antara kita yang disertai cerita muram lainnya tentang rasa.
Kubayangkan ia – di sana, sedang naik ke loteng
kamar kostnya, berteriak dalam diamnya kepada kerlap-kerlip lampu kota yang
menertawainya diam-diam tiap malam. Kututup layar ponsel setelah membaca pesan
retorisnya berulang kali. Perbincangan perihal perasaan bersamanya selalu
seperti ini – mampu membelah masing-masing hati kita jadi
dua. Nyeri.
Kupindai
pandangan keluar jendela yang kacanya sudah buram oleh debu yang melengket.
Pandangan di luar rumah tak jauh berbeda dari kemarin; pohon dan semak-semak
yang saling bergesekan karena tiupan angin.
Apakah kerap begitu, ketika kamu mengizinkan
diri untuk mencintai, Ver?
Ponselku
bergetar. Pesan lainnya dari kawan jauhku.
Aku mencintainya belasan tahun. Menunggunya
adalah bentuk perjuanganku lainnya. Dan, bagaimana harus kubayangkan ketika
juang nyatanya sinyal lain bagi kata serah?
Suara
derik jangkrik semakin terdengar. Cuap-cuap dari radio tua yang kerap
kunyalakan begitu saja tiba-tiba jelas menyeruak. Keduanya saling timbul tenggelam
berebut jadi latar atas lamunanku yang terlempar pada seseorang setelah pesan
beruntun itu menghantam ingatanku.
“Ver,
cinta dan mencintai itu ... dan seseorang itu ... sialnya aku tak pernah
menyesal. Ini seperti kamu meminum segelas cairan yang tak kamu tahu, nyatanya
adalah setegak racun. Kamu mati dengan bahagia karena ... untungnya kamu yang
menelannya, bukan seseorang yang kamu ajak minum bersamamu – yang
kamu tunggu pertemuannya, yang kamu ... cintai. Ia bahagia, dan cerita ini
usai. Tak apa..”
Aku
terisak. Aku bangkit dari ruang tengah menuju ke kamarku kembali, menyambar
bolpoin yang berserak di meja dan mulai menulis dongeng-dongeng, membuat
kisah-kisah. Lalu, satu-persatu mengajakku membincangkan tentang sebentuk rasa
yang orang-orang sebut cinta, lebih jauh dan berbeda. Kuraih ponsel, beberapa
pesan nyatanya sudah masuk terlebih dahulu lewat getar-getar yang kuabaikan.
Pesan darinya lagi, yang bilang ia sedang sibuk menggambar dan mencoret sketsa,
ia ingin tahu bagaimana rupa hati yang remuk.
Ia pun
mengirimkan potong-potong gambarnya yang merekam jejak-jejak kenangan yang
sepia. Lalu keajaiban terjadi: beberapa kalimat pada tumpukan kisah-kisahku
meloncat-loncat keluar, dan mencari pasangan gambarnya masing-masing – yang
sekiranya mereka punya satu rasa untuk bersuara. Aku tertegun, kuusap air
mataku. Kemudian dengan cepat kuketikkan balasanku padanya,
“Alberta, yang menyakitkan itu
ketidaksetiaan, yang mengecewakan adalah kebohongan, yang melukai ialah
permainan, yang menghancurkan adalah pengkhianatan, yang membunuh ialah
kehilangan, dan sejenisnya. Lalu tentang cinta yang kita bicarakan, justru,
Alberta, cinta adalah ... cinta ialah .."
Jari-jariku bergetar. Hatiku gemetar untuk melanjutkan. Ia ikut menangis. Dan aku tetap mengetik.
Jari-jariku bergetar. Hatiku gemetar untuk melanjutkan. Ia ikut menangis. Dan aku tetap mengetik.
“...satu-satunya yang tidak menyakiti, mengecewakan,
melukai dan lain-lainnya yang kamu sebutkan tadi.”
0 Comments:
Post a Comment