“Jadi
kalian pasti mau tanya, kalau menulis itu harus bagaimana, apa yang harus
disiapkan, dan lain-lain. Jawabanku: menulis ya menulis,” ujar Agus Noor pada
workshop cerpen Kompas untuk mahasiswa UMN di Kompas Corner kemarin (24/3). Sudah dua tahun sejak aku pertama kali bertemu dengannya,
Mas Agus masih menekankan hal serupa, bahwa kunci utama menulis sesungguhnya
adalah menulis itu sendiri. Mungkin
berbagai teknik, peralatan yang mendukung seperti laptop, notes ponsel, buku saku, dan lain-lain, bisa menunjang aktivitas
menulis – tapi hal-hal seperti itu tidak membuat kita menulis jika tidak
memulai dan melakukan tindakan menulis. Aku jadi teringat salah satu quote
dari Dan Poynter yang bilang: “If you
wait for inspiration to write, you’re not a waiter, you’re a waiter”. Karenanya,
sesi pelatihan menulis bersama Agus Noor jarang (atau hampir tak pernah)
berbicara soal teori, sebaliknya, langsung praktek. Mas Agus sendiri pernah
menyebutnya sebagai ‘Praktek Imajinasi’.
Teknik Tiga Kata
sumber foto: instagram @kompascorner |
Taksi.
Satu kata yang Mas Agus pilih dan tuliskan di papan tulis putih yang berdiri di
hadapan para peserta. “Baiklah, taksi lagi ngetren, banyak berita, juga banyak
cerita. Aku pengen tiap orang menyebut satu kata saja yang paling tidak
berhubungan dengan taksi. Ayo mulai,” sahut Mas Agus dengan nada suaranya yang
khas. Kata-kata yang dilempar para peserta pun bermunculan untuk bersandingan
dengan si ‘taksi’, seperti sisir, balon, filsafat, mantra, zombie,
kunang-kunang, lolipop, dan lain-lain. Setelahnya, Mas Agus meminta peserta
untuk memilih tiga kata secara acak, menghubungkannya dengan taksi, dan jadikan
itu sebuah cerita yang utuh.
“Ide
bisa dipancing dari teknik tiga kata. Cara semacam ini membantu kita berpikir out of the box, yang enggak umum, yang
berbeda dari orang-orang kebanyakan. Orang-orang kalau berpikir soal taksi,
pasti yang deket-deket saja, misal mobil, hijau, biru dan sebagainya. Kita
harus keluar dari sana, bikin yang beda, itulah kenapa aku minta kata-kata yang
jauh hubungannya dengan taksi. Cari kemungkinan yang paling jauh dari topik itu. Kuberi waktu dua sampai lima menit untuk nemuin
idenya,” ujar Mas Agus yang mengaku suka sekali mematangkan ide-ide ceritanya di
kamar mandi ini.
Minimal Empat Jam dalam Sehari
Sembari
menunggu para peserta mengarungi pemikirannya untuk mendapat ide, Mas Agus
mengisinya seraya bercerita. Hanya dalam waktu kurang lebih dua menit, Mas Agus
bisa dengan segera mendapat ide cerita. Ia bilang, hal seperti ini harus banyak
dilatih, agar tidak ada lagi alasan ‘buntu menulis karena enggak ada inspirasi’.
Dulu, saat ia masih mahasiswa, ia sudah punya tekad dan niat untuk menjadi
penulis.
“Aku bilang pada diriku sendiri, aku mau jadi penulis. Karenanya, aku terima segala resiko dan konsekuensinya, jadi miskin, penghasilan enggak tetap. Bodo amat, yang penting aku nulis,” cerita Mas Agus bersemangat.
Bahkan, karena
niat kuatnya itu, Mas Agus mengunci dirinya di kamar dari jam tujuh malam
hingga dua belas tengah malam untuk menulis. Ia menolak semua ketukan pintu
dari teman-teman kuliahnya yang mengajak pergi dan nongkrong bareng di luar.
“Pokoknya, minimal empat jam waktu yang kusediakan setiap harinya untuk menulis.”
Dan, kita semua tahu, itu bukan kerja keras dan perjuangan yang
sia-sia.
Waktu
sudah habis. Para peserta pun mengacungkan tangan untuk menyampaikan ide
ceritanya. Banyak yang menarik, salah satunya ide tentang seorang supir taksi
yang berfilsafat di tengah kemacetan. Filsafat yang menyoal soal romantisme di
tengah tersendatnya laju kendaraan. “Semuanya bagus-bagus, hanya perlu
dikembangkan dan ditemukan logisme ceritanya.”
Menulis Bukan untuk Membahagiakan
Semua Orang
"Semoga terselamatkan dari kesedihan," tulis Agus Noor pada buku yang ditanda-tanganinya untukku. Ehem, padahal tiap baca puisinya, aku berkali-kali ditawan kesedihan. Hahaha. |
Selain
diskusi terkait ide cerita, pertanyaan-pertanyaan juga muncul mewarnai sesi
pelatihan.
Ketika
ditanya soal keperluan menyiapkan outline cerita, Mas Agus menanggapinya
seperti ini, “Kalau tipenya Dewi Lestari, dia membuat kerangka ceritanya dulu,
lalu mencari literatur yang mendukung poin-poin penceritaannya. Keuntungan
membuat outline adalah kamu tahu arah ceritamu mau ke mana, dan tidak keluar
jalur. Tapi bagiku sendiri, aku lebih suka berpetualang. Membiarkan si cerita
yang membawaku ke mana nantinya. Balik lagi pada si penulisnya, lebih suka dan
sesuai yang mana.”
Ada
juga peserta yang ‘curhat’ soal ending
ceritanya yang sering kali saddan
sering diminta teman-temannya agar move
on ke happy ending.Bagaimana cara
menyiasatinya? Jawaban Mas Agus cukup mengejutkan si peserta, “Kamu nyaman
enggak dengan gaya bercerita yang gelap dan sad
ending? Kalau iya, tak apa, lanjutkan. Kecuali kalau memang kamu menulis
untuk pasar atau tuntutan dari produser yang meminta cerita harus happy ending. Jika tidak, tak ada
masalah dengan terus menulis dengan ending seperti itu. Balik lagi, kita tidak
menulis untuk membahagiakan semua orang.”
Lima Ratus Ribu Perbulan
Workshop
baru berakhir ketika menjelang maghrib. Aku pun masih sempat berbincang
sebentar dengan Mas Agus, sekaligus menyodorkan dua bukunya untuk
ditanda-tangani. Pada kesempatan itu, aku bertanya tentang kesibukan dan hobi
membacanya.
“Selain sibuk nulis pastinya, sekarang lagi baca ‘O’-nya Eka Kurniawan dan ‘Inteligensi Embun Pagi’-nya Dee. Kalau buku puisi, aku suka Aan. Aku selalu menyisihkan minimal lima ratus ribu perbulan untuk belanja buku.”
Aku
tersenyum seraya mengangguk. Kurasa, kutipan dari Mark Twain akan cocok mengakhiri tulisan ini, "If you want to be a writer, you must do two things above all others: read a lot and write a lot."
aku bersama Agus Noor, dan buku-bukunya |
Tulisan terkait workshop cerpen Kompas 2014 bersama Agus Noor, silakan klik tautan di sini
0 Comments:
Post a Comment