Saturday, 12 March 2016

Dua Purnama pada Perjalanan Buku 'Bicara Cinta'

Potret pertama adalah penampakkan purnama dari loteng tempat kawan jauhku (panggil: Alberta) mengambilnya. Dan, yang di bawahnya adalah purnama yang ditangkap lensa kamera ponsel dari teras rumah. 
Sengaja kusimpan – aku memikirkan kita berdua sedang tenggelam dalam tenggat waktu mengerjakan ratusan halaman naskah #BicaraCinta, dan gerak jarum jam terasa begitu menjepit. Pergantian hari dihitung dengan sangat mencekik. Namun ada sebulat bulan penuh yang terang benderang di atas langit malam sana, sendirian dalam sunyi, yang mengamati krasak krusuk sibuknya kita dengan begitu bersahaja.Ada bulan yang penuh yang menemani.
Kontras, antara aku yang berantakan (baca: rambut dijepit ke atas dan membiarkan anak-anak rambut mencuat ke mana-mana, terus mengutak-atik kata dengan macam-macam bolpoin, hingga alhasil tintanya mencoret sela-sela jariku dan telapak tangan), dan bulan yang menggantung tenang di kejauhan; di atas kepalaku. Kawanku (panggil; Alberta Angela, yang menjadi illustrator) juga tak kalah kacaunya, saking letihnya mengganti peralatan lukis antara cat air, pensil warna, pulpen pelangi, hingga perwarnaan digital, akhirnya membawa kerjaannya ke atas loteng – dan menemukan purnama menyapanya lewat pantulan cahayanya yang teduh.
Kurasa yang kita lakukan adalah sama: berhenti sejenak, hening sebentar untuk mengatakan ‘hai’, dan meminta izin memotretnya, menukar kedamaian yang didapat lewat layar ponsel.
“Bulan dari rooftop, bagus dan terang banget, Ver!”
“Iya, di sini juga. Aku sampai keluar rumah sebentar buat dapat potret yang pas.”
Kita saling tersenyum hangat di tempat masing-masing kita mengencani bulan dengan tiba-tiba. Lalu, kita pun kembali sibuk masing-masing menafsirkan makna kata dan sketsa (karena konsep kerja kita adalah siapapun yang mendapat ihwal ide maupun inpirasi terkait rasa, segera dituangkan, lalu nantinya akan kita susun ‘perkawinan’nya antara kalimat dan gambar. Jadi, kita berdua bebas menafsirkan – kuberikan kisah dalam sebaris kalimatku padanya dan ia bebas menerjemahkan lewat gambarnya, begitu juga sebaliknya).
Saat itu, baik aku dengannya sadar, bahwa bulan di potret tadi sedang membicarakan cinta pada kita. Kita tidak sibuk mengatur flash kamera ponsel, mengedit hasil foto, mengatur ketajaman, mengambil sudut/angle, dan lain-lain saat memotretnya, kita mengabaikannya begitu saja – pernahkah kamu berada di situasi ketika sedang mengambil gambar, kamu merasa dari segala posisi, si objek tetap bagus untuk dipotret dan kamu menyadari ini bukan hanya terletak pada teknik fotografi tapi bahwa sasaran potret kita memang indah dilihat dari sisi mana saja? Sejalan dengan rasa, kedalamannya bukan pada seberapa sering bertemu, mengontak satu sama lain, kedekatan lokasi, hadiah dan kejutan-kejutan yang mewarnai. Terkadang, rasa lebih tentang hati dan cinta itu sendiri.

0 Comments:

Post a Comment