Potret
pertama adalah penampakkan purnama dari loteng tempat kawan jauhku (panggil: Alberta)
mengambilnya. Dan, yang di bawahnya adalah purnama yang ditangkap lensa kamera ponsel
dari teras rumah.
Sengaja
kusimpan – aku memikirkan kita berdua sedang tenggelam dalam
tenggat waktu mengerjakan ratusan halaman naskah #BicaraCinta, dan gerak jarum jam terasa
begitu menjepit. Pergantian hari dihitung dengan sangat mencekik. Namun ada
sebulat bulan penuh yang terang benderang di atas langit malam sana, sendirian
dalam sunyi, yang mengamati krasak krusuk
sibuknya kita dengan begitu bersahaja.Ada bulan yang penuh yang menemani.
Kontras,
antara aku yang berantakan (baca: rambut dijepit ke atas dan membiarkan
anak-anak rambut mencuat ke mana-mana, terus mengutak-atik kata dengan
macam-macam bolpoin, hingga alhasil tintanya mencoret sela-sela jariku dan
telapak tangan), dan bulan yang menggantung tenang di kejauhan; di atas
kepalaku. Kawanku (panggil; Alberta Angela, yang menjadi illustrator) juga tak
kalah kacaunya, saking letihnya mengganti peralatan lukis antara cat air,
pensil warna, pulpen pelangi, hingga perwarnaan digital, akhirnya membawa
kerjaannya ke atas loteng – dan menemukan purnama menyapanya lewat pantulan
cahayanya yang teduh.
Kurasa
yang kita lakukan adalah sama: berhenti sejenak, hening sebentar untuk
mengatakan ‘hai’, dan meminta izin memotretnya, menukar kedamaian yang didapat
lewat layar ponsel.
“Bulan
dari rooftop, bagus dan terang
banget, Ver!”
“Iya,
di sini juga. Aku sampai keluar rumah sebentar buat dapat potret yang pas.”
Kita
saling tersenyum hangat di tempat masing-masing kita mengencani bulan dengan
tiba-tiba. Lalu, kita pun kembali sibuk masing-masing menafsirkan makna kata
dan sketsa (karena konsep kerja kita adalah siapapun yang mendapat ihwal ide
maupun inpirasi terkait rasa, segera dituangkan, lalu nantinya akan kita susun
‘perkawinan’nya antara kalimat dan gambar. Jadi, kita berdua bebas menafsirkan –
kuberikan kisah dalam sebaris kalimatku padanya dan ia bebas menerjemahkan
lewat gambarnya, begitu juga sebaliknya).
Saat
itu, baik aku dengannya sadar, bahwa bulan di potret tadi sedang membicarakan
cinta pada kita. Kita tidak sibuk mengatur flash
kamera ponsel, mengedit hasil foto, mengatur ketajaman, mengambil sudut/angle,
dan lain-lain saat memotretnya, kita mengabaikannya begitu saja – pernahkah
kamu berada di situasi ketika sedang mengambil gambar, kamu merasa dari segala
posisi, si objek tetap bagus untuk dipotret dan kamu menyadari ini bukan hanya
terletak pada teknik fotografi tapi bahwa sasaran potret kita memang indah
dilihat dari sisi mana saja? Sejalan dengan rasa, kedalamannya bukan pada
seberapa sering bertemu, mengontak satu sama lain, kedekatan lokasi, hadiah dan
kejutan-kejutan yang mewarnai. Terkadang, rasa lebih tentang hati dan cinta itu
sendiri.
0 Comments:
Post a Comment