Ini
episode terakhir dari seri klandestin. Sudah berminggu-minggu lamanya aku vakum
menulis khususnya dari seri ini – dan sekarang, kegelisahan itu datang, meronta-ronta di bilik
hati minta keluar, dan aku mulai tersiksa. Mencari-cari kertas terdekat untuk
kutulis; membantuku bernafas (lalu aku menyadari alasan awal aku menulis
– sebagai terapi jiwa). Baru kupahami, aku perlu menyelesaikan seri ini untuk
berdamai dengan diriku sendiri. Dan, kamu akan tahu mengapa ini dinamakan
klandestin.
Sepasang
mata cokelatmu yang membuat cerita ini dimulai. Kita berdua tahu, selalu saja
ada sesuatu di semesta ini yang mampu memaksaku mengambil bolpoin dan mulai mengacak-acaknya
dengan versiku sendiri. Ketika mata cokelatmu kutemukan, aku menyadari, aku
akan kehabisan waktu mencari-cari bolpoinku di dalam tas maupun kotak pensil –
maka aku mengalungkannya, sebab menulisimu adalah cerita tanpa akhir. Jadi,
seperti ini kisah kamu bermula lewat ‘pada suatu hari’ yang kubuat untuk
mengabadikanmu. Orang-orang bilang, aku gila. Mereka lupa, jika tidak gila,
mungkin aku belum jatuh cinta.
sumber gambar: www.yanidel.net
Since the first time we met, i've already seen the ending. It will be hurt, but i love you. So, i took the risk.
“Ketika itu, aku segera percaya,
pangeran yang melawan naga itu ada, dan kisah yang berakhir bahagia itu nyata.
Dan lupa, bukankah seperti itu dongeng diciptakan? Mengajakmu mengambil jarak
dari apa yang benar-benar terjadi sesungguhnya.”
Sebelum
aku melanjutkannya, apa kamu pernah membaca tentang siklus rasa – love cycles atau love stages? Kira-kira gambaran singkatnya seperti ini; kamu
tertarik (bertanya siapakah namanya, apakah ia sadar aku ada di sini),
mendekatinya (fase yang mana kamu mendadak menjadi pujangga dan pegubah lagu
paling handal seantero dunia), memilikinya (hari-harimu seakan begitu sempurna,
menganggap ia adalah masa depanmu), bosan-capek-lelah-konflik (kamu tahu kalau
perasaan itu seperti cokelat, semanis apapun rasanya, dasarnya rasa cokelat
adalah pahit), berakhir (risau datang padamu dalam beberapa minggu – atau
mungkin hanya beberapa hari, sebelum kamu kembali jatuh pada tahap pertama,
berulang lagi). Aku hanya ingin berkata, bukankah sebongkah rasa itu begitu
mengerikan? Walau kadarnya sedikit saja, ia mampu membuatmu tidak tidur
seharian, menganggu pekerjaanmu sepanjang waktu, dan mempengaruhi suasana hati,
bahkan mampu membunuhmu. Itu yang persisnya terjadi di antara kamu dan aku,
yang kamu tak tahu. Kira-kira jadinya seperti; aku bersikeras mengatakan rasa
ini adalah cinta, padahal ini wujud lain dari luka.
“Kita saling berlomba siapa yang
terlihat tidak peduli, dan aku jatuh berkali-kali. Aku bukan peserta yang baik
dalam kontes semacam ini, jadilah kita memperlakukan rindu tanpa temu, selain
prasangka-prasangka yang sama sekali tak membantu.”
Hari-hariku
tak pernah lagi sama. Empat puluh empat hari sejak hari pertama aku berbagi
rahasia, kamu tak ada – kamu sedang menjemur diri di suatu pantai, duduk di bar
salah sebuah kafe, atau mungkin memesan kamar hotel. Sedangkan, aku tak tahu
harus pergi ke mana, karena hanya padamu aku menitipkan cerita-cerita. Aku
berdarah, dan kita tak pernah tahu bagaimana rasanya sekantung teh sebelum
mencelupkannya ke dalam teko berisi air panas. Sama seperti perempuan, kamu tak
akan sadar seberapa besar tangguhnya setelah ia dihadapkan pada masa yang
begitu sulit. Kamu tak ada – lupakan semua kalimatmu yang bilang ada dalam
suka-duka.
Darimu,
“aku ingin bertemu”. Lalu, hanya keinginan – ia menjelma seperti janji-janji
yang bisa kamu temui di poster-poster jual diri masa kampanye; yang tak
tergenapi, menggunakan silat kata untuk menggaetmu. Kamu tak mencintai
seseorang hanya karena ingin. Kamu bukan hanya mengucapkan ‘ingin’ untuk makan,
tapi ‘butuh’ dan mengiringinya dengan tindakan, sebab aktivitas itu membuatmu
tetap hidup. Terkadang, tulisan mampu berakhir menyedihkan begitu juga akhir
cerita roman, aku menemukannya padamu. Perlahan, aku tak pernah lagi meminta
sebuah temu dan luang waktumu. Ada sibuk yang lebih menderamu, dan aku pun
paham, aku memang bukan (dan sesungguhnya tak pernah menjadi) bagian dari rencana
pentingmu. Lagipula, seperti yang sering kubisikkan, aku tak lebih dari sekadar
tukang bercerita yang menjajakan kenangan untuk hidup, yang mengandalkan masa
lalu untuk berjualan, dan yang memulung kata-kata sebagai kegiatan
sehari-harinya. Kamu
menjadikannya bagai kompetisi, dan aku mengundurkan diri.
Aku
berubah. Sejak berusaha mengerti mengapa bunga dan duri bisa hidup dalam satu
batang.
Terkadang, seseorang bukan berupaya mengerti, ia hanya sudah cukup untuk tidak peduli.
Sebab, terlalu banyak janji-janji, yang hilirnya menyakiti. Tidak hanya
sekali, ia menubi dan akhirnya sudah tuli untuk menerimanya lagi ke dalam ruang
hati.
Klandestin,
aku menemukannya pertama kali pada salah satu album foto bahasa di akun media
sosial seseorang. Ketika kucari tahu maknanya di kamus, ia berarti tersembunyi,
diam-diam. Dan, klandestin adalah buku bersampul cokelat yang kutulis-tangan,
yang harusnya kuberikan padamu dan tak pernah sampai pada akhirnya. Ia sudah
gugur – tertahan – bahkan sebelum ia sempat kamu ketahui.
Apa
kamu ingat, aku pernah bilang, ingin memberimu sesuatu – tapi itu perlu waktu,
asal kamu sabar menunggu, ini akan jadi hal manis yang pernah kubuat dalam
hidupku. Aku berharap kuserahkan ini pada seseorang yang tepat adalah kamu.
Tapi, ini berubah menjadi monster yang menyakitiku tiap malam, bagian lain dari
mimpi burukku – sebab kamu menunjukkan padaku bagaimana cara mengucapkan
selamat tinggal. Bahwa bisa saja, ini adalah permainan. Dan, aku menjadi pemain
yang begitu serius, sampai lupa kalau permainan bukanlah yang nyata – ia adalah
sebentuk hiburan yang diciptakan karena lelahnya kita memutar-mutari rasa.
buku bersampul cokelat itu, sudah sepia |
NB.
Andai kamu tahu, tulisan ini untukmu dan ditulis setahun lalu. Ketika aku sedang mempersiapkan cara melakonkan selamat tinggal. Tapi kamu datang, kamu jadi alasan segalanya hidup dan menyala. Dan, sekarang, aku sedang berusaha menyusun epitaf dan eulogi untuk kisah berdua. Tak apa ini tentang obituari, asalkan akhirnya kedua tokohnya hidup bahagia - bukankah kita sepakat fatamorgana adalah salah satu deskripsi untuk dunia yang bagai sepintas kedip mata.
0 Comments:
Post a Comment