Udara dingin subuh yang berkumpul
hingga membentuk kabut tipis di sini, berhasil menyengatku untuk bangun.
Halimun tipis nan segar khas butanya pagi segera menyapaku - lengkap dengan
bayangan akan bukit Gundaling kemarin yang berbaris rapi bersama bentangan
hijau pepohonan pinus masih berkelebat di benakku. Mereka semua seakan sepakat
memberikan potret sejatinya alam padaku, menyambut bangunku hari ini.
Aku bangkit dari tempat tidur, mengarahkan
kaki ke kamar mandi. Melakukan aktivitas seperti biasa dengan ritme yang cukup
cepat; mencuci muka dan menggosok gigi. Hal yang diulang. Aku menggeser kaca
jendela yang buram karena bulir hujan dan embun pagi menempel dan mengering
berkali-kali di sana. Ujung jari telunjukku menyentuhnya – sejuk, seakan ia
hanya meresapi kesegaran dan keceriaan pagi, dan hanya bertugas untuk
menyemangati siapa saja yang menginap di sini. Beberapa orang yang lewat
lalu-lalang terekam pada pandanganku – mungkin mereka akan pergi ke Pasar Buah
Berastagi. Aku tersenyum, teringat tujuan perjalanan kali ini.
“Berkemaslah. Siang nanti kita akan
pulang,” ujar suara perempuan dari belakangku setelah kudengar suara pintu
dibuka. Aku tidak menjawab, kubiarkan anggukan kepalaku mewakilinya. Dan, aku
juga tidak melakukan apa yang dipinta. Aku memilih tetap berdiri, melarikan
jari jemari di atas bahu jendela yang terbuat dari kayu berpelitur yang catnya
sudah mengelupas dan melapuk. Ada bagian dari hatiku yang meminta untuk tetap
tinggal.
Pulang?
Bukankah aku sendiri sedang pulang saat
ini.
Tok...tok...tok...
Suara pintu diketuk. Awalnya aku mengira
teman liburanku yang lain, jadi kuurungkan niat untuk menengok atau menyahut.
Namun, bukan. Kali ini nada rendah dan volume yang hampir berbisik ialah suara
dari pemilik penginapan ini.
“Seminggu kamu di sini, tak sekalipun
aku melihatmu benar-benar tersenyum. Mungkin kamu butuh sembahyang sebentar,
Nak.” Aku memutar badan, seorang bibi yang biasa kupanggil Ayi – dalam bahasa Hokkian. Perempuan paruh baya yang hari itu
mengenakan blouse berpayet-payet biru tua, yang sudah cukup lusuh, dengan
rambut dijepit ke atas, menungguku di ambang pintu.
“Mari sini.” Akhirnya kupaksakan diri
melangkah mengekori beliau – walau keganjilan masih memintaku tetap di kamar. Di
ruang tamu, sudah ada dua temanku.
“Jangan
duduk dekat pintu, nanti susah dapat jodoh!”
“Garpunya
jangan nancap berdiri di apel itu, posisinya mirip hio di kuburan.”
“Kamu
kok pakai baju dan celana hitam? Warna gelap dari atas samapi bawah, nanti bisa
membawa hawa buruk. Ganti sana. Oh ya, ingat juga, jangan sampai pakai kaus
terbalik, itu tandanya kamu menyumpahi orang tua, paham enggak?”
“Hey,
jangan ganti jadi putih juga, warna yang cerah saja. Kalau baju dan celana
putih semua, sama seperti pakaian ke rumah duka.”
Senyum tiba-tiba menyinggahi bibirku –
larangan-larangan itu, mengantarkanku pada aku di masa kecilku dulu, yang
tinggal bersama Nenek dan mitos-mitosnya.
“Jangan coba gaun pengantin sebelum nikah,
nanti enggak punya jodoh. Bisa jadi perawan tua.”
“Ini
nenek buatin onde, makannya sesuai umur A Mei, ditambah satu. Biar jauh dari
kesialan.”
“Harus
masak mie untuk ulang tahunmu minggu depan, biar panjang umur.”
“Pilih
nomor yang banyak delapannya, jangan empat yang artinya kematian dalam bahasa
Mandarin.”
Dadaku sesak. Kurasakan ada yang
mendesak minta keluar dari ujung mataku. Aku berusaha menahannya. Ayi masih mengoceh tentang cerita nenek
moyang, dan aku semakin terjebak di ruang kenanganku. Bukan hanya nenek, aku
juga hidup dengan Kakek yang selalu punya banyak dongeng-dongeng serta kisah
pengalaman hidupnya. Ah ya, aku tak lupa tentang kebanggaan Kakek lahir dan
memutuskan menua di Medan. Menurut kakek, beliau telah menemukan keluarga
kedua-nya di kota terbesar di luar pulau Jawa; Medan.
“Kamu
tahu tidak, A Mei, Medan punya banyak orang-orang dari suku dan ras beragam.
Dulunya, ada dua migrasi besar-besaran yang berbodnong-bondong ke Medan. Orang
Jawa dan Tionghoa, sama seperti kakek ini. Banyak dari mereka memiliki
keterampilan berkebun.”
“...merayakan
Imlek di sini. Memasang lampion di rumah, sembahyang malam tahun baru. Kamu
selalu suka ikut kakek membakar kertas baju, kertas uang, dan kertas koper
untuk leluhur. Di Medan, budaya dari etnis kita – Tionghoa – masih cukup
kental. Kakek merasa menjadi diri sendiri di sini. Teman-teman walau berbicara
dengan bahasa daerah yang berbeda-beda, mulai dari Hokkian, Kantonese, Khek,
Tiou Chiu, dan lain-lain, kita tetap merasa satu.”
Seseorang menepuk pundakku, cukup keras
– nyatanya Ayi sudah selesai dengan
ocehannya dan mengajakku mengikuti langkahnya. Ia berlalu sembari menggeleng,
kudengar gerutuannya tentang remaja sekarang yang sulit dinasehati perihal
kepercayaan dan tradisi zaman dulu. Aku tertawa kecil, teringat aku yang sering
kali bebal saat dinasehati. Tapi ujung-ujungnya aku juga menuruti
pemahaman-pemahaman tadi.
Aku masuk ke dalam salah satu kamar
yang ‘pintu’-nya hanya berupa kelambu cokelat tua – entah karena warnanya
memang begitu, atau sudah lama dimakan usia dan ditempeli asap dari dupa yang
dibakar hampir tiap harinya. Ada patung Buddha Kwan Im beserta dua dewa-dewi Na
Cha masing-masing di sebelah kanan-kiri.
Ayi
dengan sigap menyiapkan tiga batang
dupa, sedangkan aku masih tercenung di balik kelambu yang memberikanku pandang
samar-samar. Lagi-lagi aku teringat wejangan nenek, tiga dupa untuk para
dewa-dewi, kalau dua berarti untuk orang meninggal. Aku berusaha mengusir
kelebat bayang akan kenang-kenang itu, tapi gagal. Selagi Ayi sedang membersihkan abu dari bekas dupa, yang berserakan di
altar, mataku tertuju pada pot pohon bunga mei
hwa yang sudah menghitam kusam di pojok ruangan.
Mungkin hanya hiasan Imlek tahun lalu,
tapi mengapa rasanya jadi tidak sesederhana itu? Pikiranku terlempar pada
perayaan tahun baru Cina sekitar dua tahunan lalu.
sumber gambar: kemanaajaboleeh.com |
Imlek
sekitar dua tahun lalu. Petasan terdengar di halaman depan rumah, yang
dimainkan anak-anak. Barongsai sesekali diarak keliling kompleks. Memotong
rambut tiga hari sebelum Imlek, mencari baju merah, menyapu rumah semalam
sebelum perayaan. Serta toko-toko yang tiba-tiba menyulap diri menjadi merah.
Lampu-lampu kerlap-kerlip yang melilit pepohonan mei hwa plastik yang dijual di
pinggir jalan kota. Lalu biasanya di pusat kota, kadang digelar festival Imlek,
ada banyak sekali lentera merah bertuliskan aksara Mandarin yang menyala dan digantung
di langit-langit gedung, beserta pertunjukkan musik-musik. Lalu kebiasaan aku
memakai baju ala putri Cina. Lagu-lagu Gong Xi yang diputar dari rumah-rumah,
percakapan orang-orang dengan berbagai dialek daerah Tiongkok. Mengingat
sebagian besar keturunan Tionghoa menetap di Medan, kadang kali, suasana dan
atmosfer kebudayaan yang ada saat Imlek, lebih mengena dari gegap gempita Imlek
di ibu kota.
Sekali lagi, semuanya diiringi dengan
cerita Kakek akan kecintaannya pada kota kelahiran aku dan beliau ini.
“A
Mei ingat tidak teman A Mei dari tetangga sebelah, yang orang Batak? Kamu
panggil dia Pinto. Dia sering main ke sini, lihat kamu sembahyang, lalu kalian
main bersama. Kamu ajak dia makan kue bulan, dia memaksamu mencoba makanan khas
Batak; arsik ikan.”
Ah, benar. Apa kabar dengan Pinto?
Teman Batakku yang suka sekali berteriak Horas!
Horas! Horas! Serta rasa penasarannya pada adat dan tradisiku yang berbeda
dengan budayanya.
Baru hari ini kusadari, ada Indonesia
kecil di Medan.
“Ayo sini, minta dan mohonlah
keselamatan serta kelancaran untuk perjalanan pulangmu ke Jakarta.”
Aku menggeleng. Mataku sudah basah. “Aku
tidak ke mari untuk liburan atau menjadikan perjalanan ini sebagai tempat
singgah demi hiburan. Lebih dari itu.”
Ayi mengernyit. “Aku ke sini, mengunjungi
Medan sekali lagi, karena...”
Kubawa mataku pada jendela tanpa gorden
di ruangan sembahyang tempatku sekarang berdiri. Memandang lurus, menembus
pemandangan alam yang terbingkai di luar sana sebelum memantapkan diri untuk
melanjutkan kalimatku. “...aku ingin menjelajahi kota ini sekali lagi, dan
kalau diberi kesempatan lebih, berkali-kali. Dan bahkan tinggal di sini. Aku
ingin meresapi kenangan-kenangannya. Kehidupanku bersama Kakek dan Nenek yang
pernah ada. Aku mau diajak jatuh cinta kembali oleh kota ini.”
Perempuan menjelang senja yang berdiri
di hadapanku, mendadak melandaikan air matanya. Mungkin ia juga teringat
mendiang suaminya – yang fotonya terpajang di dinding ruang sembahyang. Kami
pun saling mendekap. Menyelami kehilangan masing-masing, dan mencintai kenangan
yang masih bersisa di kota ini.
Sebab, Medan bukan hanya soal bika
ambon dan lapis legit yang sering dibawa orang-orang dengan kemasan kardus di
antara kesibukan Kuala Namu. Bukan juga becak-becak unik yang bersepeda motor
dengan pengemudi di sampingnya. Mall-mall yang tak kalah megah dari Jakarta.
Berastagi bagai versi puncak-nya Bogor. Tapi juga kebudayaan yang saling
membaur, dan kenangan-kenangan para perantau, keunikan penduduk asli di sana,
hingga cerita-cerita nenek moyang. Medan adalah kota kenangan bagi mereka yang
pernah mendekapnya, termasuk aku dan kamu – juga kita. (*)
Cerita
ini ditulis untuk diikutsertakan dalam Gramedia Blogging Competition, Februari
2016
#GBCFebruari #46thMenginspirasi #NowWeSee. Selamat ulang tahun ke-46, Gramedia!
Nice
ReplyDeleteAsik. Kota dingin yang menginspirasi ya :)
ReplyDelete