“...rasanya ganjil. Aku sedang menulis bab novel yang mana tokoh utamanya harus pergi ke reruntuhan kuburan dan mengenang seseorang. Saat itu, musik yang kudengar, secara tidak sengaja berhenti pada judul ‘just for a while’, lalu kuterima kabar pulangnya Nenek. Betapa kata-kata yang kupaksa untuk menyusun diri jadi cerita utuh adalah wujud lain dari air mataku, yang turun, ke mana-mana.”
sumber gambar : butterfly-flyaway-xo.tumblr.com |
Aku
sedang berguling di atas kasur dengan kebosanan yang menggulung-gulung, ketika
kulempar sepotong pertanyaan pada Ibu.
“Bagaimana
cara paling bersahaja untuk mencintai kehilangan?”
Lama
tiada jawaban – dan kopi putih yang asal kuseduh tadi, sudah dingin, cepat
sekali. Mungkin karena hujan masih turun cukup panjang hari ini. Kupandangi
dalam diam, gerak jarum jam yang memutar berulang-ulang dengan penuh sabar,
lalu aku berpikir, tiap harinya kita menjadikannya perlombaan dan kurasa salah
satu rahasia yang membuatnya menang adalah kesabarannya. Lamunanku pudar saat
Ibu memindai pandangnya pada langit-langit kamar.
Biasanya, Ibu akan menelepon
beliau, bertanya apa kabar, mana bagian tubuh yang sakit, apa yang terjadi di
pasar, hari ini sedang mengikuti tayangan apa di TV, sudah makan apa belum.
Lalu, semuanya berhenti begitu saja.
Ini
yang paling kutakutkan – kita akan menyetel sekali lagi dan kembali, apa saja
yang pernah ada dan jadi biasa, namun sekarang sudah tak lagi di sana. Aku
menamainya sebagai aktivitas mengeja kehilangan, dan aku tak paham cara
mengatasinya. Jika kamu memintanya berhenti, kelenyapan dan kelesapan justru
membuka liang lebih dalam agar gelapnya semakin luas dan cukup besar memakanmu
utuh-utuh. Membiarkannya merapatkan diri dengan ruang di kedalaman hati,
mungkin lebih baik daripada menghindarinya. Kamu butuh menyapanya sesekali,
untuk memastikan bahwa kamu memang cukup tabah menghadapinya, walau sebasah
apapun kehilangan itu membangun rumah. Tapi, aku tetap tak menemukan jawaban
untuk pertanyaanku di awal.
Ibu
memilih diam, beliau nyalakan lagu-lagu yang dahulu pernah diceritakannya
padaku sebagai favorit Ibu saat
berlari-lari di sepanjang lorong rumah bersama bibi dan pamanmu, ketika itu
nenek duduk di bangku rotan melihat dengan penuh binar, anak-anaknya yang
bermain dengan ceria.
Aku
menyerah. Tubuhku terasa begitu berat – entah berapa ton kenangan yang baru
saja jatuh di atasnya. Dan, Ibu tahu. Beliau membantuku menyimak lebih dalam
penggal-penggal peristiwa yang ingin diundangnya lagi. Kita berdua membongkar
koleksi lama buku-buku dongeng yang tersusun rapi bersama debu yang menebal di
atas lemari di gudang; itu buku-buku hadiah yang dikumpulkan nenek dari kotak
susu bubuk instan. Menyentuhnya berhasil mengantarku pada kedai es krim di
sebuah pusat perbelanjaan yang pernah kusinggahi bersama nenek, dan beliau
begitu bahagia menghabiskan sebatang es krim cokelat, walau lumeran krimnya
mengotori kemeja sepianya. Membukanya berhasil mengajakku duduk di sebuah kursi
malas yang terbuat dari plastik berwarna biru, dengan sebuah meja berkaca hitam
di sampingnya, yang mana atas meja tersebut berserakan buku-buku belajar bahasa
Inggris untuk anak-anak yang dilengkapi gambar-gambar yang bisa diwarnai – kita
bercakap-cakap mengadu kosa kata bahasa asing itu. Ibu memegang pundakku
tiba-tiba. Aku kembali terjaga seraya tertawa hambar – keheningan menjadi
begitu nikmat bagi hati yang ramai oleh kenangan.
Dan
aku pun tidak menangis, begitu pula Ibu. Air mata itu sudah habis menjadi kabut
yang mendekap lembut salah satu kamar di ruang hati tempat nama nenek tinggal.
Kita pun kembali diam, sibuk dengan pikiran masing-masing dan menyimpan sendiri
cara paling sederhana mencintai kehilangan. Kupikir mungkin jawabannya, adalah
jangan pernah gagal memeliharanya dalam doa.
“...sekitar tiga atau empat hari lalu, kudengar rumah didatangi oleh seekor kupu-kupu. Warnanya hitam legam dengan bintik-bintik putih yang membuatnya bercorak cantik nan unik. Kupu-kupu yang sama, yang berkunjung ke rumah anak-anak Nenek yang lain. Lalu, Ibu berdiri di belakangku yang tengah mengintipi kupu-kupu di belakang rumah, kata beliau; hai, itu Nenek. Terbang langsung dari nirwana sana, melihat kita.”
0 Comments:
Post a Comment