Monday, 22 February 2016

Nek, Sampaikan Salamku Buat Tuhan (2)



“...rasanya ganjil. Aku sedang menulis bab novel yang mana tokoh utamanya harus pergi ke reruntuhan kuburan dan mengenang seseorang. Saat itu, musik yang kudengar, secara tidak sengaja berhenti pada judul ‘just for a while’, lalu kuterima kabar pulangnya Nenek. Betapa kata-kata yang kupaksa untuk menyusun diri jadi cerita utuh adalah wujud lain dari air mataku, yang turun, ke mana-mana.”

sumber gambar : butterfly-flyaway-xo.tumblr.com
Aku sedang berguling di atas kasur dengan kebosanan yang menggulung-gulung, ketika kulempar sepotong pertanyaan pada Ibu.
“Bagaimana cara paling bersahaja untuk mencintai kehilangan?”
Lama tiada jawaban – dan kopi putih yang asal kuseduh tadi, sudah dingin, cepat sekali. Mungkin karena hujan masih turun cukup panjang hari ini. Kupandangi dalam diam, gerak jarum jam yang memutar berulang-ulang dengan penuh sabar, lalu aku berpikir, tiap harinya kita menjadikannya perlombaan dan kurasa salah satu rahasia yang membuatnya menang adalah kesabarannya. Lamunanku pudar saat Ibu memindai pandangnya pada langit-langit kamar.
Biasanya, Ibu akan menelepon beliau, bertanya apa kabar, mana bagian tubuh yang sakit, apa yang terjadi di pasar, hari ini sedang mengikuti tayangan apa di TV, sudah makan apa belum. Lalu, semuanya berhenti begitu saja.
Ini yang paling kutakutkan – kita akan menyetel sekali lagi dan kembali, apa saja yang pernah ada dan jadi biasa, namun sekarang sudah tak lagi di sana. Aku menamainya sebagai aktivitas mengeja kehilangan, dan aku tak paham cara mengatasinya. Jika kamu memintanya berhenti, kelenyapan dan kelesapan justru membuka liang lebih dalam agar gelapnya semakin luas dan cukup besar memakanmu utuh-utuh. Membiarkannya merapatkan diri dengan ruang di kedalaman hati, mungkin lebih baik daripada menghindarinya. Kamu butuh menyapanya sesekali, untuk memastikan bahwa kamu memang cukup tabah menghadapinya, walau sebasah apapun kehilangan itu membangun rumah. Tapi, aku tetap tak menemukan jawaban untuk pertanyaanku di awal.
Ibu memilih diam, beliau nyalakan lagu-lagu yang dahulu pernah diceritakannya padaku sebagai favorit Ibu saat berlari-lari di sepanjang lorong rumah bersama bibi dan pamanmu, ketika itu nenek duduk di bangku rotan melihat dengan penuh binar, anak-anaknya yang bermain dengan ceria.
Aku menyerah. Tubuhku terasa begitu berat – entah berapa ton kenangan yang baru saja jatuh di atasnya. Dan, Ibu tahu. Beliau membantuku menyimak lebih dalam penggal-penggal peristiwa yang ingin diundangnya lagi. Kita berdua membongkar koleksi lama buku-buku dongeng yang tersusun rapi bersama debu yang menebal di atas lemari di gudang; itu buku-buku hadiah yang dikumpulkan nenek dari kotak susu bubuk instan. Menyentuhnya berhasil mengantarku pada kedai es krim di sebuah pusat perbelanjaan yang pernah kusinggahi bersama nenek, dan beliau begitu bahagia menghabiskan sebatang es krim cokelat, walau lumeran krimnya mengotori kemeja sepianya. Membukanya berhasil mengajakku duduk di sebuah kursi malas yang terbuat dari plastik berwarna biru, dengan sebuah meja berkaca hitam di sampingnya, yang mana atas meja tersebut berserakan buku-buku belajar bahasa Inggris untuk anak-anak yang dilengkapi gambar-gambar yang bisa diwarnai – kita bercakap-cakap mengadu kosa kata bahasa asing itu. Ibu memegang pundakku tiba-tiba. Aku kembali terjaga seraya tertawa hambar – keheningan menjadi begitu nikmat bagi hati yang ramai oleh kenangan.
Dan aku pun tidak menangis, begitu pula Ibu. Air mata itu sudah habis menjadi kabut yang mendekap lembut salah satu kamar di ruang hati tempat nama nenek tinggal. Kita pun kembali diam, sibuk dengan pikiran masing-masing dan menyimpan sendiri cara paling sederhana mencintai kehilangan. Kupikir mungkin jawabannya, adalah jangan pernah gagal memeliharanya dalam doa.

“...sekitar tiga atau empat hari lalu, kudengar rumah didatangi oleh seekor kupu-kupu. Warnanya hitam legam dengan bintik-bintik putih yang membuatnya bercorak cantik nan unik. Kupu-kupu yang sama, yang berkunjung ke rumah anak-anak Nenek yang lain. Lalu, Ibu berdiri di belakangku yang tengah mengintipi kupu-kupu di belakang rumah, kata beliau; hai, itu Nenek. Terbang langsung dari nirwana sana, melihat kita.”
This entry was posted in

0 Comments:

Post a Comment