Hari
ini hujan turun begitu panjang. Aku meninggalkannya untuk bekerja di depan
layar selama beberapa jam lamanya, dan ketika aku kembali, menyingkap gorden
jendela, ia masih di sana; berdiri malu-malu seraya mengetuk-ngetuk kaca.
Mengajakku keluar dan bermain bersama, seperti dulu, saat aku merengek ke Ibu
ingin bermandikan hujan sesekali dan Ibu mendadak jadi dokter yang menasehatiku
sepanjang waktu tentang demam dan flu, namun aku tetap saja nakal. Atau, aku
yang sering memilih menerobos tirai air itu seraya menarik tangan temanku untuk
ikut dibanding menghindar mencari keteduhan di bawah atap genteng sebuah toko
tua yang sudah tutup. Aku juga tak akan lupa, Ayah yang sedang berkebun di
belakang rumah sambil hujan-hujanan dan tak pernah keberatan kalau aku
berputar-putar di bawah rerintiknya, lalu beliau akan menyeletuk, entah sampai
kapan aku akan memelihara kanak-kanak dalam diriku. Lantas, kita tertawa
bersama – kita saling memahami, ada bagian dari diri satu sama lain yang tak
pernah beranjak dewasa. Dan, hujan kadang kali mampu menyentuhnya.
Aku
menggeleng kecil, kubiarkan gorden yang tadi kutahan, kembali pada posisinya
semula. Bagaimana mungkin, sepotong pandang dari celah gorden ini saja mampu
membuatmu begitu lama terkunci di tempat dan waktu lain – lebih kurang ajar
lagi, sebagian besarnya adalah masa lalu.
“Apakah ada berpasang-pasang malaikat yang sedang menangis di atas sana, hingga hujan turun dari pagi hingga usai hari ini?”“Mungkinkah ada duka yang teramat dalam yang telah terjadi di Bumi hingga langit butuh menunjukkan air matanya?”“Benarkah jika bulir-bulir yang tumpah adalah puisi yang meruah dan berantakan dari langit, kepada kekasihnya, Bumi, yang tidak peka bahwa perbedaan di antara mereka sesungguhnya wujud tantangan atas cinta mereka?”“Salahkah andai kutebak kalau Tuhan sedang melukis kesedihan dan membiarkan cat airnya jatuh, lalu, sebelum ketahuan, Dia jadikan rintik-rintiknya keberkahan. Bayangkan ini benar, berarti hujan menyimpan kebahagiaan dan kelukaan sekaligus di dalamnya.”“Atau, memang tak ada apa-apa. Selain, siklus musiman atau tentang cuaca yang sudah pancaroba. Bisa juga bentuk dari keteraturan semesta, tak perlu aku beri tanda tanya.”
Aku
memutar langkahku menuju ruang tengah, di sana bisa jelas kudengar irama hujan,
yang kali ini tidak terlalu tergesa – cepat, juga tak lambat, ia hadir dalam
ketepatan. Rupa wajah hujan juga tak pernah berbeda – tetap sama; memantulkan
langit yang meragu dan jalan-jalan yang basah. Tanganku terulur seraya berjalan
menuju teras rumah, bersiap diri disengat dingin yang berebut dengan kesejukan
yang diberi tetes-tetes hujan. Aku terkesiap.
Hujan
berbicara padaku. Ia mengajakku berbincang. “Kamu, yang membuatku hidup. Aku
tak pernah menyuburkan kenangan yang sudah kamu kubur di belakang rumah, persis
juga tak sekalipun kusimpan ceritamu.”
Diam
- dan suara hujan mengisi kekosongan
dalam bisu seakan menamparku; kamu tak mengingat tanggal, tapi momen yang
dipinang di sana yang membuat kita tidak lupa. Kamu tak merasakan sesuatu yang
janggal saat hujan datang, tapi tingkah-tingkah dan bagian dari hujan yang
membuatmu lebih terjaga.
Kuputuskan
kali ini, ingin kurayakan hujan dengan pikiran dan cara yang lebih sederhana;
segelas mie panas dan teh hangat. Mungkin kamu ingin bergabung,
menghadapi kenangan dengan lebih tabah; jangan menyalahkan hujan atas segala kenangan yang datang. Ini layaknya, tidak mau kudengar musim hujan kausebut puisi seperti remaja patah hati*.
Aku
terbatuk-batuk, teh-nya terasa sedikit asin, mungkin air mataku terlalu banyak
jatuh di atasnya. Dan, di luar sana, mendadak saja, hujan begitu deras.
Panjang.
*dinukil
sajak Aan Mansyur, Aku Menunggu Di Kantukmu
0 Comments:
Post a Comment