Monday, 8 February 2016

Di sini Hujan Turun. Panjang Sekali



Hari ini hujan turun begitu panjang. Aku meninggalkannya untuk bekerja di depan layar selama beberapa jam lamanya, dan ketika aku kembali, menyingkap gorden jendela, ia masih di sana; berdiri malu-malu seraya mengetuk-ngetuk kaca. Mengajakku keluar dan bermain bersama, seperti dulu, saat aku merengek ke Ibu ingin bermandikan hujan sesekali dan Ibu mendadak jadi dokter yang menasehatiku sepanjang waktu tentang demam dan flu, namun aku tetap saja nakal. Atau, aku yang sering memilih menerobos tirai air itu seraya menarik tangan temanku untuk ikut dibanding menghindar mencari keteduhan di bawah atap genteng sebuah toko tua yang sudah tutup. Aku juga tak akan lupa, Ayah yang sedang berkebun di belakang rumah sambil hujan-hujanan dan tak pernah keberatan kalau aku berputar-putar di bawah rerintiknya, lalu beliau akan menyeletuk, entah sampai kapan aku akan memelihara kanak-kanak dalam diriku. Lantas, kita tertawa bersama – kita saling memahami, ada bagian dari diri satu sama lain yang tak pernah beranjak dewasa. Dan, hujan kadang kali mampu menyentuhnya. 
Aku menggeleng kecil, kubiarkan gorden yang tadi kutahan, kembali pada posisinya semula. Bagaimana mungkin, sepotong pandang dari celah gorden ini saja mampu membuatmu begitu lama terkunci di tempat dan waktu lain – lebih kurang ajar lagi, sebagian besarnya adalah masa lalu.

“Apakah ada berpasang-pasang malaikat yang sedang menangis di atas sana, hingga hujan turun dari pagi hingga usai hari ini?”
“Mungkinkah ada duka yang teramat dalam yang telah terjadi di Bumi hingga langit butuh menunjukkan air matanya?”
“Benarkah jika bulir-bulir yang tumpah adalah puisi yang meruah dan berantakan dari langit, kepada kekasihnya, Bumi, yang tidak peka bahwa perbedaan di antara mereka sesungguhnya wujud tantangan atas cinta mereka?”
“Salahkah andai kutebak kalau Tuhan sedang melukis kesedihan dan membiarkan cat airnya jatuh, lalu, sebelum ketahuan, Dia jadikan rintik-rintiknya keberkahan. Bayangkan ini benar, berarti hujan menyimpan kebahagiaan dan kelukaan sekaligus di dalamnya.”
“Atau, memang tak ada apa-apa. Selain, siklus musiman atau tentang cuaca yang sudah pancaroba. Bisa juga bentuk dari keteraturan semesta, tak perlu aku beri tanda tanya.”

Aku memutar langkahku menuju ruang tengah, di sana bisa jelas kudengar irama hujan, yang kali ini tidak terlalu tergesa – cepat, juga tak lambat, ia hadir dalam ketepatan. Rupa wajah hujan juga tak pernah berbeda – tetap sama; memantulkan langit yang meragu dan jalan-jalan yang basah. Tanganku terulur seraya berjalan menuju teras rumah, bersiap diri disengat dingin yang berebut dengan kesejukan yang diberi tetes-tetes hujan. Aku terkesiap.
Hujan berbicara padaku. Ia mengajakku berbincang. “Kamu, yang membuatku hidup. Aku tak pernah menyuburkan kenangan yang sudah kamu kubur di belakang rumah, persis juga tak sekalipun kusimpan ceritamu.”
Diam -  dan suara hujan mengisi kekosongan dalam bisu seakan menamparku; kamu tak mengingat tanggal, tapi momen yang dipinang di sana yang membuat kita tidak lupa. Kamu tak merasakan sesuatu yang janggal saat hujan datang, tapi tingkah-tingkah dan bagian dari hujan yang membuatmu lebih terjaga. 
Kuputuskan kali ini, ingin kurayakan hujan dengan pikiran dan cara yang lebih sederhana; segelas mie panas dan teh hangat. Mungkin kamu ingin bergabung, 

menghadapi kenangan dengan lebih tabah; jangan menyalahkan hujan atas segala kenangan yang datang. Ini layaknya,  tidak mau kudengar musim hujan kausebut puisi seperti remaja patah hati*.

Aku terbatuk-batuk, teh-nya terasa sedikit asin, mungkin air mataku terlalu banyak jatuh di atasnya. Dan, di luar sana, mendadak saja, hujan begitu deras. Panjang.

*dinukil sajak Aan Mansyur, Aku Menunggu Di Kantukmu

0 Comments:

Post a Comment