doaku meliuk di antara
sela-sela kaleng Khong Guan yang berkarat, lalu berhenti. menyapa kenangan yang
menempel di sana. mereka terlibat percakapan singkat, “aku datang untuk
meredammu yang berdentam-dentam di dada seseorang,” ujar si Doa. kenangan tak
kuasa menengok, sepi yang bagai tebalnya debu berumah bertahun-tahun,
mendekapnya erat, tahu betapa si kenangan bahkan sudah kehilangan dirinya
sendiri. Doa paham, nyatanya begitu hening wujudnya. Ia pun kembali pada si
pengirim doa yang punggungnya berguncang tatkala mendaraskannya terus-terusan, “tugasku
bukan mendiamkannya, apalagi melenyapkannya, alih-alih menyuruhnya tenang, aku
datang bersama ketulusanmu untuk mengikhlaskannya demikian.”
sumber gambar: 1ms.net |
setelahnya, si kenangan
semakin liar dan subur ketika ia mengingat dirinya lagi yang lahir tiga hari
lalu; lewat tidur tenang yang tak lagi bangun, dan sirene ambulans yang begitu
kencang –bagai usaha sia-sia memanggil-manggil jiwa yang tengah terbang menuju
rumah agar kembali ke belantara hutan. dan, dimulailah ia yang bersarang di
mana-mana; lagu-lagu rohani berbahasa Mandarin yang diputar di vihara, es krim
tinggal setengah yang mencair di meja, buku bahasa Inggris yang lembarannya
telah menguning, baju-baju longgar yang sudah ketinggalan zaman, dompet koin,
uang seribu – dua ribuan yang begitu rapi dan baunya khas seperti langsung dari
oven percetakkan atau bank, telepon model lama yang hanya bisa mengirim pesan
singkat dan menelepon yang layarnya monokrom, paling terakhir, di hati tiap
orang yang bersentuhan dengannya. tapi ia bukan bermaksud tersesat, justru
sebaliknya, ia berusaha menemukan jalan pulang – buktinya ia menggandeng doa
pada akhirnya, naik menuju nirwana yang menyambutnya dengan suka cita.
selintas aku teringat
percakapan Cecilia dan Malaikat Ariel*, dialog antara surga dan Bumi, yang asing
satu sama lain, namun saling kagum dikantongi masing-masing. bagai kehidupan
dan kematian yang masih sering tertukar, seperti waktu kabung dan perayaan
pesta yang kerap sulit dibedakan. seperti bertanya, haruskah mengizinkan
kesedihan terus tinggal sedangkan kita tahu sesungguhnya ia tidak ke mana-mana
selain kembali ke tempat di mana sejatinya ia.
langit hujan tiga hari
belakangan ini, seakan mewakili air mata yang tertahan untuk melandai, atau
napas sesak yang naik-turun. Atau pula, semesta sesungguhnya ikut menangis,
berselindung diri dalam awan hitam bersama purnama yang memucat. begitu kiranya
alam berbahasa turut berduka, bahkan dalam kabut isak pun, Tuhan mampu
menampakkannya begitu indah. bagai wajah bahagia dan lengkung senyum ia yang
berbaring di pangkuannya sekarang. komat-kamit harapan, upacara doa, saling
menghampiri dan berebut ruang untuk mengantar si pemilik kenang dalam damai dan
teduh di sepanjang perjalanannya.
“huwaah, terbit buku lagi?” tanyanya dalam Kanton.
“iya, nanti disisihkan
sebagian royaltinya untuk kukirimkan pada Nenek.”
“huwaaaah, terbit buku
lagi?” tanyanya lagi dalam Kanton.
katanya, pendengarannya hanya menangkap sayup-sayup, lebih lemah dari bisik. lalu, tak terdengar lagi, hingga esok, suaranya dipeluk lautan yang membuka tangan lewat ombak-ombak kecilnya, memeluk tubuhnya yang seringan abu yang diiringi bersama surat-surat Tuhan yang dibacakan untuknya.
katanya, pendengarannya hanya menangkap sayup-sayup, lebih lemah dari bisik. lalu, tak terdengar lagi, hingga esok, suaranya dipeluk lautan yang membuka tangan lewat ombak-ombak kecilnya, memeluk tubuhnya yang seringan abu yang diiringi bersama surat-surat Tuhan yang dibacakan untuknya.
“Nek?”
*Judul dari novel Jostein Gaarder yang tengah kubaca
teruntuk Nenek di Medan yang berpulang tiga hari lalu.
Yang kuat ya Ver, semoga Nenek telang disana
ReplyDeleteTenang maksudnya
Deleteiya, makasih Kak Tya sayang :)
Delete