Sunday, 24 January 2016

Nek, Sampaikan Salamku Buat Tuhan


doaku meliuk di antara sela-sela kaleng Khong Guan yang berkarat, lalu berhenti. menyapa kenangan yang menempel di sana. mereka terlibat percakapan singkat, “aku datang untuk meredammu yang berdentam-dentam di dada seseorang,” ujar si Doa. kenangan tak kuasa menengok, sepi yang bagai tebalnya debu berumah bertahun-tahun, mendekapnya erat, tahu betapa si kenangan bahkan sudah kehilangan dirinya sendiri. Doa paham, nyatanya begitu hening wujudnya. Ia pun kembali pada si pengirim doa yang punggungnya berguncang tatkala mendaraskannya terus-terusan, “tugasku bukan mendiamkannya, apalagi melenyapkannya, alih-alih menyuruhnya tenang, aku datang bersama ketulusanmu untuk mengikhlaskannya demikian.”
sumber gambar: 1ms.net
setelahnya, si kenangan semakin liar dan subur ketika ia mengingat dirinya lagi yang lahir tiga hari lalu; lewat tidur tenang yang tak lagi bangun, dan sirene ambulans yang begitu kencang –bagai usaha sia-sia memanggil-manggil jiwa yang tengah terbang menuju rumah agar kembali ke belantara hutan. dan, dimulailah ia yang bersarang di mana-mana; lagu-lagu rohani berbahasa Mandarin yang diputar di vihara, es krim tinggal setengah yang mencair di meja, buku bahasa Inggris yang lembarannya telah menguning, baju-baju longgar yang sudah ketinggalan zaman, dompet koin, uang seribu – dua ribuan yang begitu rapi dan baunya khas seperti langsung dari oven percetakkan atau bank, telepon model lama yang hanya bisa mengirim pesan singkat dan menelepon yang layarnya monokrom, paling terakhir, di hati tiap orang yang bersentuhan dengannya. tapi ia bukan bermaksud tersesat, justru sebaliknya, ia berusaha menemukan jalan pulang – buktinya ia menggandeng doa pada akhirnya, naik menuju nirwana yang menyambutnya dengan suka cita.
selintas aku teringat percakapan Cecilia dan Malaikat Ariel*, dialog antara surga dan Bumi, yang asing satu sama lain, namun saling kagum dikantongi masing-masing. bagai kehidupan dan kematian yang masih sering tertukar, seperti waktu kabung dan perayaan pesta yang kerap sulit dibedakan. seperti bertanya, haruskah mengizinkan kesedihan terus tinggal sedangkan kita tahu sesungguhnya ia tidak ke mana-mana selain kembali ke tempat di mana sejatinya ia.
langit hujan tiga hari belakangan ini, seakan mewakili air mata yang tertahan untuk melandai, atau napas sesak yang naik-turun. Atau pula, semesta sesungguhnya ikut menangis, berselindung diri dalam awan hitam bersama purnama yang memucat. begitu kiranya alam berbahasa turut berduka, bahkan dalam kabut isak pun, Tuhan mampu menampakkannya begitu indah. bagai wajah bahagia dan lengkung senyum ia yang berbaring di pangkuannya sekarang. komat-kamit harapan, upacara doa, saling menghampiri dan berebut ruang untuk mengantar si pemilik kenang dalam damai dan teduh di sepanjang perjalanannya.
“huwaah, terbit buku lagi?”  tanyanya dalam Kanton.
“iya, nanti disisihkan sebagian royaltinya untuk kukirimkan pada Nenek.”
“huwaaaah, terbit buku lagi?” tanyanya lagi dalam Kanton.
 katanya, pendengarannya hanya menangkap sayup-sayup, lebih lemah dari bisik. lalu, tak terdengar lagi, hingga esok, suaranya dipeluk lautan yang membuka tangan lewat ombak-ombak kecilnya, memeluk tubuhnya yang seringan abu yang diiringi bersama surat-surat Tuhan yang dibacakan untuknya.
“Nek?”
apa kabar, aku menyayangimu sepanjang keabadian.

*Judul dari novel Jostein Gaarder yang tengah kubaca

teruntuk Nenek di Medan yang berpulang tiga hari lalu.
This entry was posted in

3 comments: