Bagaimana
harus kumulai tulisan ini?
Jika
disodorkan pilihan bagian waktu yang paling tidak kusukai, aku akan menjawab
siang. Itu adalah keadaan ketika terik mengikutimu ke mana-mana, gunungan tugas
berlabel angka-angka tenggat yang punya sihir membuatmu mati di tanggal
tertentu, dan kamu berusaha agar keluh yang tersimpan di dada tidak melompat
keluar. Belum lagi, saat kamu terpaksa harus membiarkan diri terjebak di lalu
lintas jalan yang diisi oleh laju mesin-mesin yang tersendat-sendat.
Membayangkannya saja, wajahmu segera lupa caranya tersenyum. Dan, aku
menghadapinya hampir tiap hari – pulang dari kampus, membawa timbunan kerjaan
yang berambisi mengalahkan gunung Himalaya, dan sukses membuat mulutku begitu
enggan memulai percakapan. Siang itu – sekitar dua minggu lalu, karena lelah
harus menunggu angkutan umum yang berhenti di pinggir jalan (baca: ngetem)
hingga empat kali lebih, aku pun memesan ojek seperti biasanya. Kupikir,
segalanya akan berjalan tak jauh berbeda dengan hari-hari sebelumnya. Nyatanya
tidak. Aku lupa jika Tuhan tak pernah absen mengajakku berbicara tentang banyak
hal, lewat cara-cara kecil yang mengejutkan. Kadang kali, kamu belajar banyak
bukan dari sesuatu besar yang terlihat di depanmu begitu saja, tapi yang
bermain petak umpet dengan mata.
Si
pengendara ojek membawaku pada obrolan ringan, dimulai dari
pertanyaan-pertanyaan singkat seperti semester berapa yang sedang kutempuh,
jurusan apa yang kupilih, bahkan tentang apakah aku punya pacar atau tidak.
Lalu, ia mulai bercerita tentang pengalamannya selama 8 bulan menjadi
pengendara ojek.
“...bagus
sekali Mbak kuliah. Saya engga kuliah, Mbak. Lulusan SMA saja. Awalnya buka
usaha, tapi engga punya duit buat ngelanjutinnya, Kuliah yang baik ya, Mbak.
Biar jadi orang cerdas, bukan pintar, karena yang pintar belum tentu cerdas,”
ujarnya setengah berteriak, berusaha mengalahkan deru mesin. Kutambahkan kalau
dunia ini tak butuh orang jenius terus-menerus, melainkan orang baik. Tapi ia
mendebatku, katanya baik itu relatif. Akhirnya, kami sepakat baik belum tentu
benar, dan yang benar pastilah baik.
“Bapak
sendiri bagaimana rasanya jadi pengendara ojek?” Diam sejenak sebelum akhirnya
ia kembali menyahut.
“Lumayan
baik rasanya. Saya jadi lebih mengenal jalan, tahu wilayah baru, dan yang
penting, saya bisa nambah teman, kayak Mbak gini,” jawabnya sederhana. Walaupun
ia tahu seusai ini pun kami tidak akan berkontak ria bagai teman lama, atau
saling menghubungi satu sama lain, tapi ia tetap menyebut kata ‘teman’.
Setelahnya,
ia kembali bercerita tentang penumpang-penumpang yang pernah digoncengnya. Aku
sudah tidak terlalu mendengarnya, yang mampir di telingaku hanyalah bahwa ia
berumah di Bogor dan tiap hari bolak-balik dengan motor mengantar-jemput
penumpang antara Bogor-Jakarta-Tangerang. Dan ia masih bisa tertawa-tawa, tanpa
mengumpat mobil yang berbelok tiba-tiba, motor yang mengerem mendadak, atau
angkutan umum yang jalannya bagai liliput. Aku teringat pertanyaan itu juga
pernah kuberikan pada pengendara ojek lainnya, dan aku mendapat jawaban
‘...dinikmati saja, apa yang dinikmati rasanya jadi lebih ringan’.
Aku
tertegun. Mereka adalah yang berusaha memutar pandangan ke posisi positif.
Selama kamu hanya fokus pada lelahnya, menghitung peluh yang mengucur dari
keningmu, memandang rendah sendiri profesimu, dan berbagai respon negatif
lainnya yang berusaha kamu pelihara, kamu tak akan pernah selepas itu menikmati
hari-hari. Karena, ketika kamu tidak bisa mengubah keadaan, atau saat situasi
itu memang harus kamu lewati, yang kamu lakukan adalah mengendalikan suasana
hati. Dan aku melihat diriku sendiri, kapan terakhir kali aku tidak mengoceh
tentang tanggung jawab yang semakin tidak bisa kuemban dan target yang belum
jua kucapai, dan melihat itu semua sebagai kepercayaan Tuhan padaku – karena ketika
hal sulit dan berat kamu terima, itu berarti Tuhan tahu kapasitas kita memang
mampu untuk itu. Berkali-kali aku hanya digiring pada pikiran yang menuntut
ini-itu, menangis karena kekurangan dan kelemahan, lantas lupa aku telah
menerima banyak hal.
“...Mbak
udah makan? Saya belum makan nih, Mbak. Ohya, saya juga baru pertama kalinya
masuk ke daerah perumahan sini.” Ia masih saja mengoceh, begitu bersemangat. Saat
sampai di depan rumahku, dan ia lalu menepi pada sebuah pohon rindang karena
ingin rihat sebentar, kukatakan padanya ‘jangan lupa makan, kan tadi katanya
belum makan siang bukan? Dan, hati-hati. Terima kasih, Pak.’. Ia terkejut –
sedikit melongo, mungkin tak mengira aku akan mengingatkannya makan. Tanpa ia
tahu, aku pun terkejut, tak menyangka ia akan mengingatkanku untuk melihat
dunia dengan cara yang lebih positif. Sesederhana itu.
NB.
Ketika
menulis ini, aku juga teringat pada suatu malam yang begitu larut, saat itu
menjelang pukul setengah sebelas, dan aku tidak tahu bagaimana cara pulang. Tak
ada yang menjemput, angkutan umum sudah tidak ada, ojek belum tentu ingin
menarik penumpang. Aku berusaha berpikir nekad, tapi Tuhan selalu memberiku
jalan dalam kata selamat. Seorang kawan menawariku tumpangan pulang, yang mana
jarak rumahnya denganku bisa lebih dari 20 kilometer jauhnya. Dan ia bahkan tak
tahu dan tak mengenali kawasan rumahku. Saat aku masuk ke mobilnya, yang mana
ada Ayahnya yang mengemudi, kukatakan terima kasih banyak sebab begitu berbaik
hati mengantarku. Jawaban Ayahnya sungguh mengejutkanku, beliau bilang, “...kalau
perempuan, Bapak antar. Anak Bapak ‘kan perempuan, jadi tahu bagaimana
perempuan harus dijaga dan hati-hati. Lagipula ini sudah malam”. Tangan Tuhan
terulur lewat beliau dan kawanku itu. Melalui tulisan ini, aku kembali
mengucapkan terima kasih.
Percayalah,
aku tak tahu bagaimana harus mengakhiri dua kisah singkat dan teramat sederhana
ini, selain bahwa aku menangis sejenak selesai menuliskannya dan aku sedang
tidak cukup sehat (sedangkan aku bersikeras, ada cerita yang ingin segera
kukabarkan). Pada kesempatan ini juga mari hening sejenak dan mengirimkan doa-doa
baik ke saudara-saudara di Prancis. Dan, aku tertegun sekali lagi mengetahui
bagaimana warga di Prancis saling bahu-membahu membantu korban dengan
menawarkan tempat tinggal. Aku yakin, keajaiban bukan datang hanya pada mereka
yang percaya, tapi juga beriman pada kebaikan. Selamat mengirim dekapan doa
pada mereka yang dicinta.
hidup akan lebih indah ketika dilihat dari sisi positifnya :)
ReplyDelete