Seharusnya
aku tidak mengisahkannya di sini. Lebih baik kita membuat janji lewat
pertukaran teks singkat melalui jalur pribadi, mengatur sebuah pertemuan
tertutup di kafe pinggir kota yang kupilih; yang dindingnya berwarna krem dan
digantungi potret-potret foto sepia, pelayannya mengenakan pakaian bernada
muram, lalu asing dan keganjilan saling meningkahi orang-orang yang datang ke
sana. Kafe yang menjadikan kesedihan sebagai menu utamanya. Sebab, ini kisah
yang awalnya dilabeli rahasia – kudapati dari perempuan yang mulutnya berbau
alkohol di suatu malam, dan seraya menghisap tembakau, ia menceritakannya
padaku.
“Sudah
punya pacar? Ah, biar kuganti pertanyaannya, adakah yang sudah berani-beraninya
bagai pangeran yang baru memenangkan pertempuran dengan naga, mengatakan cinta
atau mengutarakan sayang padamu?”
Kubiarkan
koor suara ramai lelaki-lelaki paruh baya yang melontarkan rayuan murahan pada
pelayan perempuan yang menyajikan minuman berwarna, tawa keras remaja-remaja
tanggung di pojok ruang, bisik-bisik gosip sekelompok wanita dewasa bersepatu
selop tinggi berwarna merah, sebagai jawabannya. Ia menengok padaku dengan mata
sayunya yang seakan siap tidur saat itu juga. Aku tetap diam, dan wajahku
terang-terangan menunjukan ketidaknyamanan. Tapi, nada suaranya yang terdengar serius – bahkan tegas ketika mengajakku terlibat dalam obrolan,
membuatku bertahan. Ia melanjutkan.
“Jika pada suatu masa, di tempat yang sudah
kamu khayalkan dan jadi nyata, bersama orang yang kamu pilih atau entah memang
namanya ada di kitab penyatuan milik Tuhan – “ ia tertawa ketika mengucap
sebutan agung itu; Tuhan. Sembari terbatuk dan membuang puntung rokoknya yang
masih menyala. Pandangannya menerawang ke atas ruang yang dijilati lampu
warna-warni yang membuat sakit mata.
“...mengatakan
‘aku menyayangimu’ padamu, coba tanyakan pada ia yang berbisik demikian; sudah
berapa perempuan yang mendengar kalimat itu selain dan sebelum kamu. Tak apa
bukan kamu yang jadi pertama, perkaranya bukan itu. Tapi, apakah kamu yang
menjadi terakhir yang mendengarnya, ataukah kamu hanya berpura diperlakukan
seperti yang pertama, tak berbeda dengan yang lain-lainnya.” Suaranya serak,
mendekati putus asa. Dengan sedikit kasar, ia memantikkan api pada ujung
tembakau barunya. Seketika asap tembakau pun mengepul, membumbung tinggi, lalu
lenyap bersama udara pengap ruang riuh itu. Aku merasa kejanggalan menekan
dadaku, kita membicarakan hal-hal yang begitu sepi di ruang yang berteman akrab
dengan ramai. Ini tidak ramah terhadap perasaan, aku ingin beranjak. Tapi
tangannya yang lebih besar dan kuat dariku, menahan lenganku dengan satu
sentakan.
“Jangan pernah percaya pada lelaki yang
mengatakan ‘aku cinta kamu’ sehabis seks. Karena bisa saja besarnya cintanya
diukur dari seberapa besar ukuran payudara dan pinggulmu,” tukasnya tegas, tapi
masih kutangkap getar di akhir kalimatnya. Aku tertegun, sekuat apapun ia, aku
yakin masalah apapun itu telah berhasil menyentuh titik paling rapuhnya.
Aku
mencoba meraih tangannya yang terkepal, tapi ia menepisnya cepat. Ketika aku
berusaha mencari-cari matanya, kudapati pandangannya sudah berkaca-kaca. Ia
berdiri tiba-tiba, memesan satu botol minuman yang bagiku entah. Lalu
menyambarnya dari nampan pelayan, pergi meninggalkanku begitu saja. Aku hendak
menyusulnya ketika secarik kertas yang sudah diremas hingga berbentuk bola,
teronggok di atas bangku yang baru ditinggalkannya. Aku membuka kertas itu,
merapikannya – dan kesan pertamaku adalah, itu sebuah surat.
Kapan terakhir kali kamu bilang
pada perempuanmu yang kamu pinang untuk menemanimu hingga hari tua, bahwa kamu
berterimakasih pada mereka, karena telah melahirkan peri-peri kecil untuk
mewarnai hari-harimu? Selain merutuki dan mempertanyakan mengapa gaun-gaun
kecil mereka yang dikenakan saat gadis dulu untuk menggodamu tak pernah lagi
terlihat dipakainya, lantas berganti menjadi daster longgar yang tak menarik.
Kadang kita lupa, mereka abai pada perawatan diri mereka karena memastikan
rumah tetap hangat ketika kamu pulang, peri-peri kecil tetap aman di istana
mereka, dan kebutuhanmu tetap penuh saat kamu minta. Saking sederhana, dan di
matamu itu hal remeh temeh dibanding perempuan lain yang duduk di atas meja
kantormu dan menunggu untuk kamu santap sebagai selingan makan malam.
Dan, ini juga untuk kamu, yang dua
belas tahun lalu mengatakan ‘aku mencintaimu’, dan sekarang berbisik padaku
dengan mata asingmu yang seolah bilang padaku jika kamu tak lagi melihatku
seperti pertama kali kita bertemu. Lalu, aku masih saja mengingat bagaimana
binar dan semangatmu mengucapkan sumpahmu di altar yang menjadi saksi selamanya
kita berdua. Kini, itu hanya jadi kaset rusak yang diputar di ruang kepalaku
saat mengenangmu.
“Aku
mencintaimu.”
Kudengar
bisik seorang lelaki di samping mejaku. Lengkap dengan mata dan tangan lelaki
itu yang melata di tubuh perempuannya. Aku tersengat, kutatapi lelaki itu
bergantian dengan surat koyak di genggaman tanganku.
0 Comments:
Post a Comment