Aku
memanggilnya perempuan bermata malam, bukan karena manik dan bola matanya
hitam, atau buta oleh burung gagak hitam
mematuk biji matanya, hingga meninggalkan lubang gelap yang menganga.
Melainkan, air mata yang keluar terus-menerus tanpa henti, seakan kesedihan
begitu berpora dan kedukaan tumbuh subur dari dalam matanya. Tapi, air mata itu
tak pernah benar-benar jatuh melandai hingga melewati lehernya. Ketika air mata
itu turun dan saling menyatu di ujung dagunya, mengalir pelan ke lehernya dan
akan menyentuh dadanya yang terbungkus kemeja gelap, perempuan itu akan
tertawa. Lalu, si air mata itu pun lenyap.
Banyak
yang bilang aku gila – dan orang-orang
selalu takut pada kegilaan, tanpa tahu kewarasan dihasilkan dari
kegilaan-kegilaan yang diterima dan disepakati bersama lalu menjadi kelaziman –
terutama karena aku menceritakan perihal si perempuan bermata malam ini
pada mereka. Tentang perempuan yang ada ketika malam melarut, di dalam cermin
rias kamarku. Ia bersandar, seraya mendongakan matanya. Seakan mencari langit
malam, lalu berharap salah satu dari bintang yang bergelantungan di sana
meminang bola matanya, jadi ia tak perlu lagi menitik satu persatu air mata.
Akhirnya
pada malam ke sekian ini, aku memulai cengrama dengannya. Kuperhatikan mata
sembabnya tidak kunjung merah walau meneteskan berbotol-botol, berember-ember,
bergalon-galon air mata tiap malamnya. Aku pun mengetuk-ngetuk kaca cermin,
berusaha menarik perhatiannya.
Lebih
banyak tentang kapan pertama kali ia memiliki mata yang menghasilkan air mata
seperti itu, apakah itu kutukan? Ia tidak menanggapi, kecuali terus menurunkan
air mata dan tertawa sebelum mencapai dada. Aku semakin penasaran. Siapa
gerangan yang membuatnya seperti itu, ataukah memang ia terlahir dengan mata
yang terus menderaskan air mata?
“Kamu
mengingatkanku pada seorang lelaki yang padanya tak pernah sempat kusampaikan
jika matanya begitu indah, lebih dari sekadar cermin atau jendela yang menempel
di tubuhnya. Matanya yang berhasil membuatku menyimpan pertanyaan hingga hari
ini perihal apakah cinta tetap bisa dikatakan demikian jika sunyi yang kupilih
sebagai cara mengungkapkannya. Jangan bilang ini cerita remaja patah hati
akibat pendam rasa yang tak sampai, Lelaki Bermata Malam. Sebab, kuberikan
setiaku padanya dalam tunggu yang tak ia harapkan, kuuraikan akhirnya walau
terakhir kami bertemu jawabannya adalah matanya yang sulit sekali kucari, dan
hanya menyisa tatap yang kurindu. Tak apa, biar sunyi yang merenda akhir
ceritanya dan cinta ini masih kupelihara. Walau ada sesal, mungkin seharusnya
kubiarkan saja diam mengunci langkah. Tapi, mataku terlalu liar ingin
menyapanya tiap malam.”
Perempuan
bermata malam itu tiba-tiba menengok ke arahku. Menatapku cukup lama dengan
matanya yang basah karena entah. Baru kusadari, ini pertama kalinya mata kami
bertemu setelah belasan malam aku menemaninya – jika bisa disebut demikian, karena aku hanya duduk di sampingnya, lalu
mengamati guncangan di pundak mungilnya ketika tertawa. Dan, aku tak pernah
merasa sunyi begitu menepi, lalu diam-diam berdentam memasuki rongga dadaku dan
berumah di sana. Sedangkan, air matanya semakin banyak. Menciptakan kabut.
Aku
dengan pongah berusaha melawan kabut dan senyap yang saling bergulat
mengaburkan pandanganku, dan memaksaku meluncurkan air mata. Aku tetap
menajamkan pandang, memicingkan mata walau aku merasakan mataku mulai berair. Aku
mendapati si Perempuan Bermata Malam menitikan air matanya. Dan, kali ini tanpa
tawa yang mengusap air mata itu pergi. Kini, ia menatap lurus ke arahku.
Matanya memerah, perlahan tetesnya berubah jadi darah. Kemeja hitam yang
dikenakannya ia singkap dengan sengaja, dan mataku terbelalak olehnya. Dadanya
penuh luka, tak bisa kubedakan mana kulit dan daging – penuh lubang yang
matanya bilang dari janji yang tak pernah tergenapi, berbau busuk yang matanya
katakan dari harapan yang tak kunjung menuai jawaban. Itu luka yang belum
mengering, yang dari dada menggerogoti jantungnya. Dengan melihatnya saja,
nyeri berkelindan menginjak-nginjakku.
Ketika
aku membalikan tubuh dan tak ingin melihatnya, aku merasakan ada cairan hangat yang
turun dari ujung mataku. Aku menyekanya dengan punggung tanganku.
Darah.
Bukan air mata.
Mataku
menjelma dua cermin kecil, ada bayang lelaki yang begitu kukenal di sana yang
memudar dan leleh dalam darah. Dadaku sesak. Kurasakan sakit yang sudah menahun
tak pernah kutemukan penyembuhnya mulai menjalar sekali lagi.
Luka.
Aku
gemetar. Kuarahkan tubuh sekali lagi ke cermin, tak ada lagi si perempuan
bermata hitam. Hanya udara dingin yang menyelinap masuk dari jendela yang tidak
kututup rapat. Dan, sunyi yang tertawa-tawa bersama gerak jarum jam yang
melambat. Tiada siapa-siapa di dalam cermin itu, kecuali aku.
0 Comments:
Post a Comment