Saturday, 31 October 2015

Mengawini Kesedihan



Bagaimana harusnya tempat bagi kesedihan? Saat itu aku ‘hilang’ di pinggir kota, dan menemukan sebuah kafe yang penerangannya bergantung pada lampu remang tepi jalan. Di dalam kafe tanpa jendela dan berdinding kayu berpelitur itu, tiap mejanya hanya diberi sebatang lilin minyak, yang daun apinya bergerak-gerak dijilati dersik malam. Letaknya tepat berseberangan dengan sungai paling besar di kota itu. Aku mengambil bangku di teras kafe, tak ada pelayan yang datang menanyai apa yang ingin kupesan. Tak heran, gantungan kayu bercetakan ‘tutup’ bergoyang-goyang di depan pintu kafe. Baiklah, ini paduan paling sunyi yang kutemui sampai malam ini; riak-riak sungai yang permukaannya memantulkan purnama pucat, bersama kafe tua yang sudah tutup – bau asap rokok yang bercampur dengusan nafas putus asa masih tercium, bahkan aroma kepul hangat kopi hitam juga terhidu; menempel di dinding-dinding kayu yang debunya menebal. Kutahan diri untuk tidak memejamkan mata, dan diajak kenangan yang setia di sana pergi entah ke mana, sedangkan aku ke mari untuk memburu keasingan yang kurindu.
 Dan, tiba-tiba seseorang duduk di hadapanku. Muncul dari mana yang tak kutahu.
“Kamu tak berani menyentuh banyak di kafe ini. Tidakkah batang-batang lilin minyak yang masih menyala di kafe yang sudah tutup ini menarik perhatianmu?”
“Coba kamu tanyakan hal sama pada air mata, mengapa mereka tak tertarik dengan kesedihan,” jawabku hampir asal.
“Aku rasa, seperti itu memang kesedihan diuraikan. Ia tidak membuatmu menangis atau melandaikan air mata. Kesedihan adalah wujud paling maha dari setubuh sunyi, luka, harapan, putus asa, amarah dan berbagai dentam rasa lainnya yang saling berseteru dalam dirimu tapi tak kunjung tergenapi. Kamu malu, juga sesak merasa kalah, lantas menyembunyikannya dari orang yang paling kamu sayang.” Ujarannya terbelah menjadi satu persatu kata yang menjelma silet kecil yang menubi menghujam ulu hatiku. Sudah bermalam-malam air mata itu menggumpal hingga kehilangan ceritanya sendiri mengapa ia turun, hingga bahasa yang paling tepat untuk air mata yang lupa pada alasan ia tumpah adalah kesedihan.
Aku tertawa. Orang itu menajamkan tatapannya, lurus padaku dan kudapati bibirnya bergetar seakan menahan sesuatu begitu tegarnya. Aku terpana.
“Kesedihan itu, wahai perempuanku, wujud paling mengerikannya adalah tawa.” – yang tak diiringi bahagia seutuhnya, ingin kutambahi demikian. Tapi, diam mengunci bibirku kemudian. Mendadak saja obrolan ini seperti undangan terhormat bagi duka paling hitam untuk berkunjung, dan aku sama sekali belum siap.
Bagaimana harusnya tempat bagi kesedihan? Saat itu, lilin-lilin minyak yang menyala di tiap meja kafe di ruang dalam yang gelapnya mengental dan di teras kafe yang hitamnya memekat, mati dalam satu gerakan waktu yang serempak. Menyisakan kesunyian yang memasung jiwa yang tinggal sendirian di sana – itu adalah aku, karena orang tadi sudah lenyap menjelma bayanganku sendiri. 

Catatan yang tertinggal:

"Tempat seharusnya bagi kesedihan, ada pada bulir air mata terakhirmu, yang mungkin sudah lupa kapan kamu teteskan. Karena kamu berharap tak mengingatnya lagi, sedangkan kamu tak pernah tahu begitulah cara kesedihan tumbuh; disembunyikan menahun hingga kamu biasa akan kehadirannya. Ah, saat itu kita berdua tahu, yang paling membuatmu bahagia adalah yang sekaligus menjadi kesedihanmu paling dalam."
This entry was posted in

0 Comments:

Post a Comment