Sunday, 18 October 2015

Membincangkan Waktu (2)



Seseorang dihukum, karena berusaha mengukur anugerah terbesar yang Tuhan berikan; waktu. Seseorang itu dikurung dalam sebuah gua yang teramat asing, ia hanya bisa diam di sana dan mendengar kumpulan suara-suara manusia yang terus berdengung akibat ulahnya. Mereka adalah yang berdiri pada dua sisi berlainan, yang ingin memanjangkan waktu, juga yang berharap bisa memendekan waktu. Seseorang itu begitu tertekan dalam kesendirian dan sunyi yang mengusiknya tanpa ampun, jika ingin lolos, ia harus mampu menyatukan suara-suara itu dan membuat mereka paham, bahwa waktu lebih dari sekadar satuan yang dihitung dari putaran angka hingga bisa ditambah-kurangi. Selalu ada alasan mengapa kita memiliki waktu kita masing-masing. Dan, ini adalah cerita fiksi, tentang seorang yang dijuluki ‘Sang Penjaga Waktu’ dari Mitch Albom, yang sore ini mengajakku duduk diam – menantang benamnya senja. Tanpa hangatnya teh, sendiri di ambang pintu ruang tengah, menjadikan diri sendiri siluet hitam, dan lamat-lamat mendengar jarum jam bergerak; memindai kenangan.
Awalnya gelap. Udaranya pengap, kukira ada senyap yang berusaha menyesak di rongga dadaku. Buatku bertanya, bagaimana mungkin imajinasi Albom, gerak waktu di antara benam senja, dan siluet, membawaku pada gua yang menjadi tempat hukuman si penjaga waktu? Ada desis suara yang menyatakan bukan, aku hanya terlempar pada bagian waktu yang lain.
Aku mendadak hidup di masa lalu. Di sebuah ruang kelas. 

“Ask about love to children. They don’t spell it L.O.V.E. They haven’t think abstractly yet to explain what is love would like. They will spell it T.I.M.E. The reason is clearly simple, they just recognize love through presence of their mother who tells a fairytale before they sleep, their father who plays lego with them, their brother-sister who makes a funny-face to cheer them. There’s a full of presence, there’s a time. A quality time which their well-known people spent with them. At the end of this little simplest case, love is about how much you spare and make a time to the one you say you can’t live without. You don’t just say it with poetry-able words, you prove and paint it through time.”

Aku tersentak. Belum selesai aku terjaga di kelas yang riuhnya begitu sepi, tubuhku sudah mengabur, pelan-pelan memutih. Dan tiba-tiba aku sudah berdiri di depan sebuah boks besi; lift. Di sebuah gedung tak tidak asing. Aku melewatinya hampir tiap pagi. Bedanya, ada seorang pria paruh baya di sampingku – beliau adalah yang bilang padaku tentang ‘tidak adanya waktu sibuk, asalkan kamu bisa mengatur dan berkomitmen dengan waktu’. Karenanya, pada kesempatan itu, aku menyampaikan terima kasih pada beliau.
“Aneh rasanya, aku justru menemukan jawaban ‘ya, aku ada waktu’ pada mereka yang memiliki jadwal begitu sibuk. Dan, pada mereka yang tidak dihimpit dan dipadati agenda, mereka kerap melontarkan jawaban sibuk padaku.”
Beliau tertawa, dan berceritaulang bahwa waktu sibuk adalah tentang pengaturan dan komitmen. Cukup lama, bermenit-menit, lalu bayangan beliau pun memudar. Putih, lantas hilang, seperti aku tadi.
Sadarku pulih, tidak sepenuhnya, apalagi seutuhnya. Aku berusaha mengembalikan keping-keping ingatanku lagi – yang berserak di waktu-waktu tertentu. Merebut kembali sebagian ingatanku yang masih melayang entah ke mana. Tapi, mereka tak ingin pulang. Masih bergelung di sana, menyesatkan diri, memilih terjebak. Aku terkesiap. Menyadari jika kita tak mengingat waktu, melainkan momen dan peristiwa yang menjadikannya jejak di ruang kepala kita. Dan, kerap kali kita memilih dengan siapa kita menyempatkan waktu untuk menghabiskannya tanpa merasa sia-sia.
“Karena, Ver, jika orang itu tak punya waktu untukmu, sungguh jelas artinya: kamu tak sepenting itu baginya. Ini bukan soal waktu, tapi prioritas. Tentang apakah namamu berada di daftar panggilan pertama.”
This entry was posted in

0 Comments:

Post a Comment