Seseorang
dihukum, karena berusaha mengukur anugerah terbesar yang Tuhan berikan; waktu.
Seseorang itu dikurung dalam sebuah gua yang teramat asing, ia hanya bisa diam
di sana dan mendengar kumpulan suara-suara manusia yang terus berdengung akibat
ulahnya. Mereka adalah yang berdiri pada dua sisi berlainan, yang ingin
memanjangkan waktu, juga yang berharap bisa memendekan waktu. Seseorang itu
begitu tertekan dalam kesendirian dan sunyi yang mengusiknya tanpa ampun, jika
ingin lolos, ia harus mampu menyatukan suara-suara itu dan membuat mereka
paham, bahwa waktu lebih dari sekadar satuan yang dihitung dari putaran angka
hingga bisa ditambah-kurangi. Selalu ada alasan mengapa kita memiliki waktu
kita masing-masing. Dan, ini adalah cerita fiksi, tentang seorang yang dijuluki
‘Sang Penjaga Waktu’ dari Mitch Albom, yang sore ini mengajakku duduk diam –
menantang benamnya senja. Tanpa hangatnya teh, sendiri di ambang pintu ruang
tengah, menjadikan diri sendiri siluet hitam, dan lamat-lamat mendengar jarum
jam bergerak; memindai kenangan.
Awalnya
gelap. Udaranya pengap, kukira ada senyap yang berusaha menyesak di rongga
dadaku. Buatku bertanya, bagaimana mungkin imajinasi Albom, gerak waktu di
antara benam senja, dan siluet, membawaku pada gua yang menjadi tempat hukuman
si penjaga waktu? Ada desis suara yang menyatakan bukan, aku hanya terlempar
pada bagian waktu yang lain.
Aku
mendadak hidup di masa lalu. Di sebuah ruang kelas.
“Ask about love to children. They don’t spell it L.O.V.E. They haven’t think abstractly yet to explain what is love would like. They will spell it T.I.M.E. The reason is clearly simple, they just recognize love through presence of their mother who tells a fairytale before they sleep, their father who plays lego with them, their brother-sister who makes a funny-face to cheer them. There’s a full of presence, there’s a time. A quality time which their well-known people spent with them. At the end of this little simplest case, love is about how much you spare and make a time to the one you say you can’t live without. You don’t just say it with poetry-able words, you prove and paint it through time.”
Aku
tersentak. Belum selesai aku terjaga di kelas yang riuhnya begitu sepi, tubuhku
sudah mengabur, pelan-pelan memutih. Dan tiba-tiba aku sudah berdiri di depan
sebuah boks besi; lift. Di sebuah gedung tak tidak asing. Aku melewatinya
hampir tiap pagi. Bedanya, ada seorang pria paruh baya di sampingku – beliau
adalah yang bilang padaku tentang ‘tidak adanya waktu sibuk, asalkan kamu bisa
mengatur dan berkomitmen dengan waktu’. Karenanya, pada kesempatan itu, aku
menyampaikan terima kasih pada beliau.
“Aneh rasanya, aku justru menemukan
jawaban ‘ya, aku ada waktu’ pada mereka yang memiliki jadwal begitu sibuk. Dan,
pada mereka yang tidak dihimpit dan dipadati agenda, mereka kerap melontarkan
jawaban sibuk padaku.”
Beliau
tertawa, dan berceritaulang bahwa waktu sibuk adalah tentang pengaturan dan
komitmen. Cukup lama, bermenit-menit, lalu bayangan beliau pun memudar. Putih,
lantas hilang, seperti aku tadi.
Sadarku
pulih, tidak sepenuhnya, apalagi seutuhnya. Aku berusaha mengembalikan
keping-keping ingatanku lagi – yang berserak di waktu-waktu tertentu. Merebut
kembali sebagian ingatanku yang masih melayang entah ke mana. Tapi, mereka tak
ingin pulang. Masih bergelung di sana, menyesatkan diri, memilih terjebak. Aku
terkesiap. Menyadari jika kita tak mengingat waktu, melainkan momen dan
peristiwa yang menjadikannya jejak di ruang kepala kita. Dan, kerap kali kita
memilih dengan siapa kita menyempatkan waktu untuk menghabiskannya tanpa merasa
sia-sia.
“Karena,
Ver, jika orang itu tak punya waktu untukmu, sungguh jelas artinya: kamu tak
sepenting itu baginya. Ini bukan soal waktu, tapi prioritas. Tentang apakah
namamu berada di daftar panggilan pertama.”
0 Comments:
Post a Comment