Kawanku
yang paling asing itu, pada suatu hari yang datar tanpa kejutan, bertanya
padaku bagai mengajakku menantang terik dengan kembang api. Kira-kira seperti
ini; apa yang terjadi pada malam-malam
paling sunyimu yang tak kutahu?
Aku
menarik lengannya, membawanya ke sebuah ruang yang hanya ada aku dan ia. Jika
ada yang lain, itu adalah sepasang mataku yang bertanya-tanya ada apa.
Sampailah aku hanya berdua dengannya, pandanganku berusaha berbicara
menyampaikan tatap tanda tanya yang saling berlesakan menuju padanya. Sedangkan
ia membiarkan bisu bermain menjadi raja dan mengizinkan rasa penasaran melakon
sendiri dengan tingkah tak santun, ia seolah berbisik; ceritakanlah.
“Malam
itu, aku lagi-lagi teringat. Kita saling berlomba siapa yang terlihat tidak
peduli, dan aku jatuh berkali-kali. Aku bukan peserta yang baik dalam kontes
semacam ini, jadilah kita memperlakukan rindu tanpa temu, selain
prasangka-prasangka yang sama sekali tak membantu. Kita pernah lebih dari
sekadar melalui hari-hari yang panjang tanpa apa kabar, tapi berusaha
menjadikan diri masing-masing terbiasa dengan kehilangan dan ketidakhadiran.
Nyatanya, keberadaan bukan menjadi perhitungan kita di urutan pertama.” – di sini, aku berkaca-kaca dan berdesis
pada kawan asing itu, aku mendebat arti selamanya dan sejatinya yang sempat
seseorang tawarkan pada pertama kali bertemu.
“Malam
itu, aku tiba-tiba teringat. Dan, walau temu itu akhirnya mewujud, masih ada
kegelisahan dan resah yang menyisa. Bergeliat tanpa henti mengusung terka-terka
penuh tanda tanya, apakah temu tadi cukup meninggalkan kesan yang bisa menyulam
kenangan kecil yang mampu mengejar terus-terusan tiap malam agar melahirkan
rindu lainnya. Nyatanya, tak ada kepedulian atau segenggam kecil kekhawatiran
tentang apakah salah satu di antara kita benar-benar baik-baik saja setelah
itu.” – di sini, aku menangis dan
berbisik pada kawan asing itu, aku rindu seseorang dengan wujudnya waktu dulu.
“Malam
itu, aku lantas teringat. Cinta kita bisa digambarkan dengan adegan film yang
teramat sederhana seperti ini; aku membongkar lemari bajuku, mencari pakaian
paling sesuai, membuka saluran Youtube dan belajar merias diri dengan cara
paling sederhana, melatih senyum di depan cermin, memikirkan sepanjang malam
topik apa yang bisa menahan seseorang lebih lama dan berbagai siap-siap lainnya
yang memakan waktu berjam-jam untuk memenuhi temu lima menit kita yang singkat.
Dan, kamu datang begitu saja, tanpa tawaran makanan-minuman, memulai obrolan
sambil lalu, pulang dan lupa menawarkan kebersamaan menuju rumah yang selamat.
Nyatanya, artikel di majalah remaja yang kubaca itu benar, kalau otak tak
pernah bisa menahan rasa bahagia akan cinta selama lebih dari satu tahun, tak
heran jika cokelat manis dan bunga indah hanya bertahan enam bulan pertama.” – di sini, aku terisak, dan berkata pada
kawan asing itu, aku takut mencinta seseorang yang tak menemukanku di tengah
keramaian atau melihatku di antara silau cahaya.
Kawan
asing itu mematung. Ia masih menerungku dirinya dalam diam. Kata-kata atau
suara pun tak satu pun yang ingin merusak isak. Takut kalau-kalau air mata
marah dan meraung histeris, berteriak mengapa ingatan bisa menghajar hati
seseorang hingga babak belur dan mengorbankan air mata sebagai cerita akhirnya.
Tapi, aku bukan orang yang bisa berlama-lama dalam sunyi yang bisa menyiksa.
“Cinta
itu, kawanku, seperti hidangan di atas meja. Perlahan dingin, dan kau tak lagi
lapar*. Atau, dalam prakteknya bisa bagai timbangan rusak, yang hanya berat di
salah satu bagiannya walau sudah diperbaiki dan ditimbuni dengan cara apapun.
Ada jenis perasaan yang mungkin hanya aku yang punya terhadapnya, dan ia tidak.
Namun tak apa, pada luka, aku belajar ulang cara jatuh cinta.”
*sajak
Aan Mansyur, dalam bukunya 'Melihat Api Bekerja'
0 Comments:
Post a Comment