Aku
pulang dengan sejuta rasa letih – setiap gerak yang kulakukan seperti ancaman
terhadap tubuhku. Dan, aku rebah digulung kantuk seraya menyinggahi pandang
pada jalannya jarum jam. Sudah cukup pucat. Tak heran malam mulai mengeluarkan
biusannya, berharap ada yang terbuai dan lelap olehnya – lalu ia punya
kesempatan bermain-main melalui mimpi yang dihadirkannya setelah berkonspirasi
dengan kenangan yang mengendap. Simpanan waktu lalu di kepalaku tak terlalu
bagus, lebih banyak buruk dan aku takut jalan-jalan ke sana. Aku mengigil,
tepatnya gemetar. Kuputuskan tidak lelap, tanganku pun berusaha menyambar
sebuah novel yang lusa lalu kupinjam dari seorang kawan.
Mataku
disapa berbaris-baris kata, sampai pindaian pandangku terhenti di satu kalimat.
“...kamu
membuat semuanya terasa begitu mudah baginya.”
Aku
seperti terbelah jadi dua. Kicau radio yang menyala dari telepon genggamku
tiba-tiba saja tidak terlalu jelas, hanya racauan penyiar yang sambil lalu di
telinga. Tenagaku tersirap, buku itu pun mengatup karena tak ada lagi jari yang
menahannya. Jatuh begitu saja ke atas tempat tidur yang mendadak begitu dingin
rasanya di kulitku. Hatiku kebas. Seperti inikah cara kenangan menelikung di
malam yang pucat – karena mereka sama-sama menghadirkan kamu, bahkan lewat kalimat. Mereka membawakan
sekali lagi apa yang cerita-cerita roman sebut sebagai debar pertama, permainan
mata, dan bisu-bisu yang bercerita. Dan, aku yang memulainya – menyodorkan kostum
padamu untuk kamu mainkan peran pangeran untukku, berharap kamu menyukainya dan
benar-benar mengajakku ke sebuah kastil impian. Aku membuatmu tak harus
bertarung dengan naga untuk membawakanku sepatu kaca. Aku memastikan kamu tak
perlu mencari nenek sihir untuk memberimu obat kekebalan menghadapi perang
untuk menemuiku. Apakah segalanya terlalu mudah bagimu – dan aku bukan lagi tantangan
yang bisa kamu perjuangkan untuk ditaklukkan?
Lalu,
teleponku berdering. Membuyarkan lamunanku yang pelan-pelan melumat bulat-bulat.
Itu panggilan dari seorang teman. Aku mengangkatnya dengan sapaan yang terbata,
dan ia memberiku isakan yang membuat gelisah. Ia bilang semuanya tak lagi
seperti di awal.
“Cinta
itu permainan. Kamu bisa memulai menekan tombol startnya lewat ‘aku jatuh cinta padamu’. Dan lihat bagaimana ia
bertahan selama enam bulan, lebih dari itu, berarti Tuhan memang membantumu.”
Aku
menjatuhkan ponsel. Ini sudah lebih dari enam bulan. Dan, aku tak tahu harus
mencari kamu di mana kecuali pada kehilangan yang beriman pada lenyap.
0 Comments:
Post a Comment