Aku
sedang melarikan mataku ke luar jendela berkaca buram yang membingkai petang, sebelum
tulisan ini jadi. Berisiknya beragam suara yang melayap ke mana-mana dibawa
angin, sampai ke telingaku – memantul ulang bagai lagu lama yang diputar tanpa
berhenti; remah-remah tawa, lengking teriakkan anak kecil dalam gerombolan,
gosip-gosip dan kabar-kabar yang ditunggangi burung. Petang kerap datang
bergelayut dalam pangkuan bersama semua itu, tapi ini tetap saja potongan waktu
– yang buatku, berarti sangat sementara – yang kamu suka; ketika kutanyakan
lebih baik fajar, hujan atau purnama dan kamu menjawab senja. Jadi, tiap langit
meruntuhkan keemasannya tiap sore pada Bumi, wajahmu bersembunyi di sana.
Orang-orang pun banyak bertanya padaku, bagaimana rasanya?
Itu
pertanyaan yang lupa menengok sebentar pada sekian kenangan yang kujajakan
berlabel namamu dan semuanya berakhir tak laku karena menawarkan kesedihan
sebagai keunggulan utamanya, menjadikannya tanya yang mengundang risau yang
sulit didiamkan. Risaunya seperti saat kamu sedang mengisi teka-teki silang
yang mana salah satu soalnya tidak kunjung kamu temukan jawabannya, padahal
petunjuknya sudah sangat jelas kamu pahami. Kepalamu terus berputar dan
pikiranmu bekerja keras agar menuntunmu pada suara klik yang menggenapi kotak-kotak
jawabannya, tapi rasanya jawabannya itu semakin menjauh sedangkan kamu terus
merasa tahu. Kamu kesal, tapi dikurung penasaran. Kamu tetap mencari. Karena
kamu tahu, jawaban itu diperlukan untuk melengkapi apa yang kurang.
Apakah
kamu menyadari, jika pencarian seperti ini berujung pada lukisan tentang kamu.
Aku tengah mengisi teka-teki silang dan jawaban yang paling penting serta
paling akhir untuk menyelesaikan semuanya dalam hasil yang sempurna adalah
kamu. Tapi bisa saja, ini bukan tentang mencari jawaban, melainkan tanda lain
akan kamu dan aku yang terus bersilang oleh luka.
Jadi,
mereka masih bertahan dengan pertanyaan yang sama; bagaimana rasanya? Kalau yang diherankan tentang caraku
memperlakukan rindu padamu – ketika jalan satu-satunya menyentuhmu adalah lewat
sepotong pesan singkat di layar ponselmu, yang itu pun harus lampus oleh waktu
sibuk kerjamu – aku bilang, puncak rindu bertahta pada doa. Bila yang
dibincangkan adalah jadwal temu, aku balas bahwa kita berdua bisa saling
menyimpan cerita di saku celana yang kita kenakan ke mana-mana, lalu menjaganya
sampai mata kita bertemu dan menukarnya dalam tatap diam yang berkisah*. Jika
yang disoalkan adalah luka yang diam-diam menganga lebar dan merangsek begitu
dalam, aku katakan tak apa, bukankah hadirnya luka yang membuat kita mampu
menghasilkan istilah yang disebut cinta? Orang-orang itu tertegun. Katanya aku
sudah gila. Dan, aku tertawa. Aku menjelaskan pada mereka bahwa kamu ialah orang
yang membuatku mampu bertindak pada hal-hal yang kuanggap tak akan pernah akan
kulakukan sebelumnya.
Namun,
ini semua sesungguhnya bermain pada aku jatuh cinta padamu – dan itu benar.
Hanya saja aku takut kita saling jatuh cinta (lalu usai begitu saja setelah
memori yang kita punya tak pernah lagi cukup kuat mengikat kita sama-sama). I’m just afraid that we fall in love, not
grow in love. Apapun yang jatuh selalu sakit. And, fall can be turn in to fool in love or fail in love. Dan, lebih dari itu semua, cinta tak lebih dari sekadar permainan. Kamu hanya btuuh memastikan bertindak secara benar dan berencana dengan tepat pula.
Ini
tulisan lainnya mengenai kita yang kehilangan banyak hal dalam waktu yang
begitu asing dan kita lewati dalam masing-masing. Sekarang, kamu bebas (dari
aku yang membeban di hari-harimu, serta ikatan kata ‘kita’ yang mengusikmu),
dan selamat berkeliling.
*kalimat ini terinspirasi dari salah satu lirik lagu Ed Sheeran berjudul 'Photograph'
0 Comments:
Post a Comment