Api
kecil di ujung sumbu lilin meja itu bergerak-gerak dilayapi dersik malam.
Mungkin mereka sedang bercumbu, si api menjilati tubuh angin, dan angin tak
kalah bermain dengan hangat api. Buktinya, api tak kunjung padam walau udara
semakin ribut menyentuhnya. Mataku melirik mereka, diam-diam – sebelum akhirnya
seorang pelayan yang mengenakan cokelat tua pada tubuhnya menghampiriku
menanyakan apa yang ingin aku pesan. Aku terkejut, bayangkan, ia adalah lelaki
asing yang tak kukenal dan ia bisa membaca hasratku untuk makan setelah
sepanjang hari aku mengabaikan cacing-cacing di dalam perutku yang mengadakan
konser besar. Aku memindai pandang pada lelaki yang membukakan buku menu di
hadapanku, lalu sibuk menyodorkan bermacam makanan enak yang menjadi
rekomendasinya. Lihatlah, aku bisa memastikan kami baru pertama kali bertemu di
kafe itu dan ia sudah memperlakukanku bak putri raja, menawarkanku hanya pada
makanan terbaik yang ada di kafe. Kepalaku mengantarku pada ingatan akanmu,
kapan terakhir kamu bertanya demikian, memilih hanya yang terbaik untukku? Aku
mengerang tiba-tiba, kamu lebih payah dibanding seorang pelayan kafe dan orang
asing. Padahal hampir tiap hari – sebelum kamu menghilang dan membawa pergi
semua janji karetmu – kamu bilang akulah putri mahkotanya yang telah berhasil
merebut kekaisaran hatimu.
Aku
kembali sibuk pada persetubuhan api lilin dan udara malam. Berusaha mengusir
kelebat bayangmu yang begitu kurang ajar menggodaku. Si api dan angin
sepertinya terlibat percintaan yang begitu seru, sampai-sampai aku bisa
menghidu bau yang menguar karenanya. Izinkan aku mengoreksinya, bukan bau. Tapi
aroma. Sedikit manis, seperti lemon, ah tidak, tapi juga lavender. Aku
memejamkan mata, menajamkan penciuman dan darahku berdesir. Sadarku kesiap.
Mungkin ini Armani, atau – aku mengumpat. Apakah aku tengah mengundang kembali
bau tubuhmu yang masih menempel di kulitku setelah dekapanmu minggu lalu? Ini
terdengar bualan yang begitu sialan. Bisakah kamu lenyap tanpa meninggalkan
sisa-sisa dan tanggalan yang bisa menjelma hantumu?
Aku
mencoba mengumpulkan keterjagaanku. Kubuka telepon genggamku, mengetuk aplikasi
media sosial yang selalu aktif. Keriuhan tiba-tiba merayapiku, banyak sekali
mulut-mulut yang bergelung pada keluh. Kilauan mendadak menyergapku, desak
sekali potret-potret diri dan benda berlabel yang berlomba memanggungkan diri.
Telingaku hendak rontok, bola mataku ingin lompat keluar. Namun, tiba-tiba saja
sudut mataku menangkap sebaris kalimat dan daun telingaku mendengar sederet
kata; apa yang sedang kamu pikirkan? Di
antara seluruh hiruk pikuk yang memerangkapku, si media sosial begitu
perhatiannya menanyakan apa yang kupikirkan. Mungkin ini yang membuat banyak
orang tetap setia padanya, karena dalam keadaan apapun, ia selalu bertanya pada
kita terlebih dulu – apa isi kepala kita. Jari jemariku pun tergelitik
mengetikkan berhimpun-himpun paragraf padanya, menumpahkan isi hati, gejolak
rasa tentang amarah yang menerungku, air mata yang berusaha dibendung, dan
senyum yang tertahan. Terakhir kali kamu bilang akan memberi pundakmu ketika
aku menangis karena puluhan cerita hati, tapi aku bahkan tak ingat kamu pernah
bertanya bagaimana suasana di ruang hati dan kepalaku. Kamu kalah beribu
langkah dari sebuah aplikasi yang kerap aku rutuki menjadikan orang-orang
robot.
Si
pelayan itu kembali dengan pesananku yang terlampau sederhana – sepiring roti
bakar dan segelas mocca float. Aku tidak menyentuhnya hingga kafe tutup, dan bangku di hadapanku tetap kosong. Sama
seperti kamu, yang tak pernah datang hingga aku lelah menunggu.
0 Comments:
Post a Comment