Saturday, 12 September 2015

Membincangkan Waktu


Salah seorang pria paruh baya, pernah berdiri dalam satu ruang kelas yang mana aku ada di sana – pada bangku urutan pertama sebelah kiri. Beliau berusaha membawakan ceritanya bersama tubuh ringkihnya yang menua, dan aku salah satu yang begitu tertarik olehnya. Pria paruh baya itu mengisahkan ulang salah satu tayangan iklan kartu kredit yang begitu berani. Digambarkan bahwa tiap orang bisa membeli apa saja – barang, jasa, benda apapun itu – hanya dengan menggesekkan kartu. Tak peduli label harganya berapa pun. Namun, di akhir tayangan itu ada satu adegan yang membuat siapa saja diam. Seorang bapak merangkul bahu anaknya dan seorang ibu yang menyentuh belakang kepala anaknya dengan lembut. Lalu, sang anak bersama sepotong roti, dibagikan untuk makan bersama kedua orang tuanya. Ada satu kata besar itu yang sekiranya mengungkapkan inilah harga dan nilai sebenarnya; ia yang tak terbayar oleh kartu kredit atau lembar nominal uang: cinta, keluarga, kasih dan perasaan-perasaan bagai dekapan hangat yang menyertainya. Selain itu, kamu bisa membelinya lewat gesekan kertas plastik. Kita semua tertegun.
Iklan itu – cerita dari pria paruh baya itu seakan menuding kita satu persatu, apakah hari ini kita sudah bekerja begitu keras lantas keliru mendefinisikan makna ‘penting’ sesungguhnya. Aku pulang dengan gelisah. Aku mengurung diri di kamar, kusambar asal buku terakhir yang kubaca terkait bisnis dan ekonomi perusahaan, mencoba tenggelam di dalamnya dan melupakan gelisah yang berganti rupa jadi usikan. Halaman yang kubuka mengejutkanku. Ini cerita lain. Tentang CEO Colman Mockler, salah satu CEO paling berpengaruh pada masa transisi perusahaan Gillette. Dipaparkan jika Mockler punya tiga kecintaan besar, yakni keluarganya, Harvard, dan Gillette. Kira-kira seperti ini kutipannya;
“...bahkan di masa-masa paling menegangkan dan muram akibat krisis pengambilalihan pada 1980-an dan terlepas dari kian mengglobalnya bisnis Gillette, Mockler mampu mempertahankan keseimbangan luar biasa dalam hidupnya. Dia tidak secara drastis mengurangi jumlah waktu yang ia habiskan bersama keluarganya, dia jarang bekerja pada malam hari atau akhir pekan. Dia mempertahankan ibadahnya yang penuh disiplin. Dia meneruskan kerja aktifnya sebagai dewan pengelola Harvard College.” (Jim Collins, Good To Great)
Dan, aku pun mencari tahu dan membaca lebih lanjut, akhirnya kutemukan fakta mengenai wafatnya Mockler. Ketika itu, ruangan dukanya banyak sekali orang, mereka hadir mengelilingi peristirahatan terakhirnya. Banyak cinta yang mengantar Mockler, dari orang-orang yang mencintainya, yang mencintai apa yang mereka kerjakan dan yang saling mencintai. Bayangkan bagaimana cinta menyulap duka menjadi begitu haru yang indah. Aku mengatupkan buku itu. Bertanya-tanya, sudah sampai mana gunungan tugas menggerogotiku hingga lupa cara memperlakukan rindu – mengabarkannya pada orang-orang yang senantiasa mengontakku sekadar menanyakan kabar. Dan, telah berapa kali aku melempar kalimat bahwa aku terlalu sibuk untuk jalan bersama mengulang kenangan – mengambil nafas dan jarak dari pekerjaan yang katanya demi merekalah aku berusaha keras.
Akhirnya, hari itu – dan berkali-kali aku diingatkan dengan cara sederhana yang istimewa – bahwa waktu yang hanya ringan dan sederhana bersama mereka yang berusaha mendekapku, adalah waktu yang tidak sia-sia, tetap sepenting janji-janjiku, temu kerjaku, dan tenggat-tenggat tugasku.
Tak ada yang cukup mengerikan selain menemukan diri kita sendiri mendekati impian dan target kerja kita, tapi menjauh dari mereka yang dulunya mengelilingi perjalanan kita. Menukar cinta yang mengudara dengan dua frasa ‘aku sibuk’ yang tidak imbang. Lalu, yang tersisa hanyalah seorang adik yang memeluk boneka di balik pintu kayu, melihat kita yang tak lagi pernah menemaninya bermain sepeda sore, berubah jadi memikirkan trik-trik menangani lawan. Teman-teman seperjuangan kita dulu yang kalimat-kalimat ajakan mereka selalu tertahan sebatas pesan singkat di ponsel dan tak pernah terwujud dalam kopi darat, menjelma jadi lobi-lobi. Pertemuan keluarga dan bincang-bincang panjang yang bosannya selalu khas, diganti jadi ketegangan di ruang rapat. Pada akhirnya aku menggigil di ujung ruang kamar, aku takut kehilangan apa yang kukejar tanpa tahu sesungguhnya aku sedang kehilangan lebih banyak.
“Kadang kali ada satu hal yang jauh lebih keras dari kerja keras itu sendiri yaitu ketika kita berusaha mengambil pulang mata yang dicuri layar ponsel dan laptop, kepala yang diambil tugas-tugas, serta hati yang diringkus topeng-topeng.”
Keesokkan harinya aku masuk ke kelas, dan bertemu dengan seorang dosen yang kuambil mata kuliahnya. Aku memilih – dan selalu – bangku di depan. Dosenku memulai perkuliahannya seperti biasa dengan sepotong perkenalan. Beliau bilang, ia mengajar di empat unviersitas, merangkap juga jadi kepala eksekutif perusahaan yang didirikannya, serta masih memegang jabatan sebagai direktur di salah satu akademi pertelevisian nasional. Aku spontan menyeletuk pada beliau, bahwa hari-hari beliau pastilah sangat sibuk. Dan, jawaban beliau sungguh mengunciku;
“There’s no busy time – as long as you can manage your time and commit with it.”
Aku mencintaimu, dan tak ada kata tunda maupun nanti dari waku sibuk, untuk itu.
This entry was posted in

0 Comments:

Post a Comment