Salah
seorang pria paruh baya, pernah berdiri dalam satu ruang kelas yang mana aku
ada di sana – pada bangku urutan pertama sebelah kiri. Beliau berusaha
membawakan ceritanya bersama tubuh ringkihnya yang menua, dan aku salah satu
yang begitu tertarik olehnya. Pria paruh baya itu mengisahkan ulang salah satu
tayangan iklan kartu kredit yang begitu berani. Digambarkan bahwa tiap orang
bisa membeli apa saja – barang, jasa, benda apapun itu – hanya dengan
menggesekkan kartu. Tak peduli label harganya berapa pun. Namun, di akhir
tayangan itu ada satu adegan yang membuat siapa saja diam. Seorang bapak
merangkul bahu anaknya dan seorang ibu yang menyentuh belakang kepala anaknya
dengan lembut. Lalu, sang anak bersama sepotong roti, dibagikan untuk makan
bersama kedua orang tuanya. Ada satu kata besar itu yang sekiranya
mengungkapkan inilah harga dan nilai sebenarnya; ia yang tak terbayar oleh
kartu kredit atau lembar nominal uang: cinta, keluarga, kasih dan
perasaan-perasaan bagai dekapan hangat yang menyertainya. Selain itu, kamu bisa
membelinya lewat gesekan kertas plastik. Kita semua tertegun.
Iklan
itu – cerita dari pria paruh baya itu seakan menuding kita satu persatu, apakah
hari ini kita sudah bekerja begitu keras lantas keliru mendefinisikan makna ‘penting’
sesungguhnya. Aku pulang dengan gelisah. Aku mengurung diri di kamar, kusambar
asal buku terakhir yang kubaca terkait bisnis dan ekonomi perusahaan, mencoba
tenggelam di dalamnya dan melupakan gelisah yang berganti rupa jadi usikan. Halaman
yang kubuka mengejutkanku. Ini cerita lain. Tentang CEO Colman Mockler, salah
satu CEO paling berpengaruh pada masa transisi perusahaan Gillette. Dipaparkan
jika Mockler punya tiga kecintaan besar, yakni keluarganya, Harvard, dan
Gillette. Kira-kira seperti ini kutipannya;
“...bahkan di masa-masa paling
menegangkan dan muram akibat krisis pengambilalihan pada 1980-an dan terlepas
dari kian mengglobalnya bisnis Gillette, Mockler mampu mempertahankan
keseimbangan luar biasa dalam hidupnya. Dia tidak secara drastis mengurangi
jumlah waktu yang ia habiskan bersama keluarganya, dia jarang bekerja pada
malam hari atau akhir pekan. Dia mempertahankan ibadahnya yang penuh disiplin.
Dia meneruskan kerja aktifnya sebagai dewan pengelola Harvard College.” (Jim
Collins, Good To Great)
Dan,
aku pun mencari tahu dan membaca lebih lanjut, akhirnya kutemukan fakta mengenai
wafatnya Mockler. Ketika itu, ruangan dukanya banyak sekali orang, mereka hadir
mengelilingi peristirahatan terakhirnya. Banyak cinta yang mengantar Mockler,
dari orang-orang yang mencintainya, yang mencintai apa yang mereka kerjakan dan
yang saling mencintai. Bayangkan bagaimana cinta menyulap duka menjadi begitu
haru yang indah. Aku mengatupkan buku itu. Bertanya-tanya, sudah sampai mana
gunungan tugas menggerogotiku hingga lupa cara memperlakukan rindu –
mengabarkannya pada orang-orang yang senantiasa mengontakku sekadar menanyakan
kabar. Dan, telah berapa kali aku melempar kalimat bahwa aku terlalu sibuk
untuk jalan bersama mengulang kenangan – mengambil nafas dan jarak dari
pekerjaan yang katanya demi merekalah aku berusaha keras.
Akhirnya,
hari itu – dan berkali-kali aku diingatkan dengan cara sederhana yang istimewa
– bahwa waktu yang hanya ringan dan sederhana bersama mereka yang berusaha
mendekapku, adalah waktu yang tidak sia-sia, tetap sepenting janji-janjiku,
temu kerjaku, dan tenggat-tenggat tugasku.
Tak
ada yang cukup mengerikan selain menemukan diri kita sendiri mendekati impian
dan target kerja kita, tapi menjauh dari mereka yang dulunya mengelilingi
perjalanan kita. Menukar cinta yang mengudara dengan dua frasa ‘aku sibuk’ yang
tidak imbang. Lalu, yang tersisa hanyalah seorang adik yang memeluk boneka di
balik pintu kayu, melihat kita yang tak lagi pernah menemaninya bermain sepeda
sore, berubah jadi memikirkan trik-trik menangani lawan. Teman-teman
seperjuangan kita dulu yang kalimat-kalimat ajakan mereka selalu tertahan
sebatas pesan singkat di ponsel dan tak pernah terwujud dalam kopi darat,
menjelma jadi lobi-lobi. Pertemuan keluarga dan bincang-bincang panjang yang
bosannya selalu khas, diganti jadi ketegangan di ruang rapat. Pada akhirnya aku
menggigil di ujung ruang kamar, aku takut kehilangan apa yang kukejar tanpa tahu
sesungguhnya aku sedang kehilangan lebih banyak.
“Kadang kali ada satu hal yang jauh lebih
keras dari kerja keras itu sendiri yaitu ketika kita berusaha mengambil pulang
mata yang dicuri layar ponsel dan laptop, kepala yang diambil tugas-tugas,
serta hati yang diringkus topeng-topeng.”
Keesokkan
harinya aku masuk ke kelas, dan bertemu dengan seorang dosen yang kuambil mata
kuliahnya. Aku memilih – dan selalu – bangku di depan. Dosenku memulai
perkuliahannya seperti biasa dengan sepotong perkenalan. Beliau bilang, ia
mengajar di empat unviersitas, merangkap juga jadi kepala eksekutif perusahaan
yang didirikannya, serta masih memegang jabatan sebagai direktur di salah satu
akademi pertelevisian nasional. Aku spontan menyeletuk pada beliau, bahwa
hari-hari beliau pastilah sangat sibuk. Dan, jawaban beliau sungguh mengunciku;
“There’s no busy time – as long as
you can manage your time and commit with it.”
Aku
mencintaimu, dan tak ada kata tunda maupun nanti dari waku sibuk, untuk itu.
0 Comments:
Post a Comment