Seseorang
pernah meneleponku, ia sekadar menanyakan bagaimana kabarku karena mendapati
media sosialku berisi unggahan aktivitasku yang memadat. Sekitar setengah jam
awal dan semuanya terdengar seperti basa-basi klise (dan aku menegak teh
hitamku begitu ringannya) sampai ia mulai mencecarku dengan
pertanyaan-pertanyaan. Rasa teh hitam yang kuaduk dengan beberapa sendok gula
tadi tiba-tiba menghambar, melambat jadi pahit.
“Apakah
kita bisa menemukan cinta di antara kiriman karangan bunga di meja kerja yang
ditinggalkan saat jam makan siang, balon-balon huruf yang disusun membentuk
nama kita lalu disandingkan dengan balon lainnya yang berbentuk daun hati,
selipan puisi pada salah satu lembar buku favorit kita tanpa kita tahu, dan
hal-hal konyol lainnya?”
“...yang
penting ini tentang kamu, bukan dirinya. Cinta itu tentang orang lain, bukan
diri sendiri.”
“Apakah
kita bisa mencari seseorang yang seperti itu?”
Aku
mengenyitkan dahi, kuletakkan cangkir putih porselenku. Itu percakapan yang
sulit.
“...kamu
tidak mencarinya, melainkan menemukannya. Berarti seluruhnya sudah ditulis dan
disiapkan. Tak perlu khawatir. Kamu hanya butuh menjadikan diri sebaik-baiknya
agar bisa menjadi seutuhnya diri terbaik bersama seseorang yang tepat tersebut. Kamu hanya perlu
menunggu sebelum semuanya berakhir bahagia.”
Lidahku
kelu.
“Apakah
pada pribadi yang cerdas, cantik atau tampan, bijak dan arif, pekerja keras,
kaya atau konglomerat, baik hatinya, dan berbagai personaliti terbaik lainnya,
kita bisa menemukan sejatinya cinta?”
Nafasku
sesak. Aku merasakan dadaku nyeri. Aku sudah lama menutup perbincangan perihal
cinta – itu hanya dongeng yang buruk. Aku pun bangkit dari tepi kasur,
mengambil asal salah satu naskah drama, menukil salah satu dialognya.
“...banyak
laki-laki di jalanan. Tangkap salah satu. Ambil yang mana saja, sembarang
dengan mata terpejam juga tidak apa-apa. Tak peduli siapa namanya, bagaimana
tampangnya, apa pendidikannya, bagaimana otaknya dan tak peduli seperti apa
perasaannya. Gaet sembarang laki-laki yang mana saja yang tergapai oleh
tanganmu dan jadikan ia teman hidupmu! Asal, ini yang terpenting, asal dia
benar-benar mencintaimu dan kamu sendiri juga sungguh-sungguh mencintainya.
Karena cinta, karena cinta dapat mengubah segala-galanya. Dan lebih dari itu,
lebih dari itu, karena seorang perempuan, siapapun dia, dari manapun dia,
bagaimana pun dia, setiap perempuan dapat membuat seorang lelaki, siapa pun
dia, bagaimana pun dia, apa pun pekerjaannya bahkan bagaimana pun kalibernya,
seorang perempuan dapat membuat setiap lelaki menjadi seorang laki-laki yang
sejati!*” bacaku panjang lebar, yang awalnya memelan menjadi semakin tegas.
Sudah bertahun-tahun lamanya aku tidak ikut olah vokal pada klub teater yang
kuikuti dulu.
Seseorang
di seberang telepon itu diam cukup lama. Sebelum yang kudengar hanya isak kecil
yang tertahan – dan aku teriris. Kubuang naskah itu seraya bergumam, lain kali
aku akan mengajaknya kopi darat dan kuceritakan kisah-kisah sepatu kaca. Lebih
lembut, pikirku. Tiba-tiba saja, nada parau yang sedikit serak mulai menyambung
kembali darinya.
“Jadi,”
“Apa
– “
“Apakah,”
“Apakah
kamu sudah menemukannya, Ver?”
Peganganku
pada tubuh ponselku pun melemah. Ponsel itu terjatuh. Tubuhku mematung, seakan
dikutuk beku seperti itu selamanya. Dan waktu bergerak lambat. Aku memaksa diri
duduk perlahan, sementara ponselku mengicaukan sahutan ‘halo’. Aku merasa
kunang-kunang – entah jauh dari hutan mana, terbang mengerubungi sepasang
mataku. Membuatnya buta – dan semenjak itu aku bertingkah bodoh.
Aku
teringat padamu.
*Nukilan dari naskah
drama ‘Percakapan, Pada Suatu Sore’ karya Yussak Anugerah yang diadaptasi dari
cerpen Putu Wijaya yang berjudul ‘Lelaki Sejati’. Keduanya adalah karya yang
begitu indah.
0 Comments:
Post a Comment