Kusen
jendela yang sudah usang itu menimbulkan bunyi berderit tiap dersik ribut yang
menyertai hujan menderas di luar halaman rumah. Rintiknya memercik mengenai
lantai yang menggigil. Kalau mereka yang bilang komposisi hujan adalah satu
persen cairan dan sembilan puluh sembilan persennya kenangan, dan kita sepakat
tentang itu, berarti lantai rumahku kini berserakan ingatan masa lalu. Aku
berniat untuk mengusirnya pergi – dengan alat pel – tapi yang kenangan temukan
tentangku justru tubuh beku yang dibungkus mantel tebal yang sudah kumal, duduk
di atas sofa yang sisi kulitnya sudah robek di mana-mana dan membiarkan busa
yang membuat gatal penciuman itu bebas mengudara.
Di
luar dingin. Aku paham mengapa kamu lebih memilih membangun kamar lengkap
dengan selimut hangat di ruang kepalaku dan tak berniat pergi. Berlari-lari
disana tanpa henti. Kamu tumbuh subur di sana – sebab aku selalu memberimu
makanan; sececap rindu. Kamu berteriak keras memanggilku tiap kali lapar karena
aku coba melupakan kamu yang ada di sana – jadi inilah alasan suaramu mengikuti
ke mana-mana. Kamu menggedor-gedor dinding-dinding kepalaku ketika aku mulai
menekanmu untuk tenggelam dalam pikiran sibukku – jadi ini sebab nyeri yang
menjalariku pada tiap usaha melenyapkanmu. Aku memejamkan mata, dan dingin itu
merasuki tulang rusukku. Aku menggigiti bawah bibirku, tapi sia-sia. Hujan
tidak memberi ampun.
Gunturnya
yang bertalu menunjukkan kemahaannya berhasil membunuh senja hari ini.
Singgasana sore dipegang hujan yang ingin balas dendam kepada siapapun
yang bisa menitipkan kenangan sesuka
hati tapi tak berusaha menghadapinya, termasuk kepada Bumi yang tidak pernah
sadar jika langit mencintainya. Aku pun membiarkan kamu hidup di kepalaku,
memelihara dan merawatmu sebisa mungkin – karena aku sadari, setengahnya aku
sudah berhasil kamu miliki, dan membuangmu adalah keputusan yang membelahku
jadi dua. Membuatku tak sepenuhnya hidup. Tapi, apakah kamu tahu ada
setengahnya aku dalam genggaman tanganmu atau saku celana jeans hitammu?
Ini seperti kita bermain peran
dalam sebuah drama. Kamu yang berani meminum racun untuk mencari semesta lain
tempat kita bisa berdua saja, dan aku mengikutimu dengan menusukkan diri pada
pedang. Tapi, setelah dramanya usai, aku cinta padamu hanya permainan kata.
Dan, aku masih berdiri di atas
panggung seusai latihan yang menyentuh larut malam, mengenakan pakaian putri,
berbisik, mungkinkah kita bisa tetap dalam kepura-puraan drama dan hidup
selamanya di sana yang katanya menjanjikan akhir bahagia. Kalau syaratnya harus
mengubah diri menjadi vampir, atau tenggelam di tengah samudera luas
berpegunungan es, aku akan mencoba untuk menyanggupi diri. Sebab, mana yang
nyata dan yang tidak kini hanya dipisahkan dinding yang begitu tipis. Bisa saja
kita salah melihat, yang kita bilang tidak nyata dan hanya cerita, sesungguhnya
mengandung kebenaran. Salah satunya adalah cinta yang kita temukan secara bebas
diungkapkan dan diperlakukan sejati justru mudah kita dapati dalam dongeng.
Belum
ada tanda-tanda malam akan mengalah pada mendung milik hujan. Ia tetap saja
menyandera langit, merebut sedikit demi sedikit singgasana yang tadi direbut
paksa hujan. Deras yang tadi tampak mulai melembut, menuju reda. Aku gemetar.
Kenangan yang diwakili hujan kini berhulu pada malam yang gelap. Akankah
ingatan yang meminangmu juga menjadi demikian akhirnya; hitam, muram, dan tak
lagi bisa dilihat karena sudah tenggelam.
Kalau
begitu, inginkah kamu menyelami khayalan paling liarku? Dan, mati di sana.
0 Comments:
Post a Comment