“...ketika
cinta terbata-bata kubaca
aku perlu segera bertanya-tanya
atau mencari padanannya dalam kamus
hingga benih yang mengada tak segera pupus
lantaran sejatinya cuma soal sinyal
yang
lebih sering datang dengan nada janggal...”
–
kumpulan sajak Ibnu Wahyudi, Ketika Cinta
Kamu
percaya pertanda? Dewi Lestari dalam Recto
Verso-nya yang indah, menyebut pertanda sebagai cara alam berbahasa – aku menyetujuinya,
dan kurasa, itu juga usaha semesta menyampaikan kabar selain melalui kata-kata.
Acap kali manusia kerap menirunya, lewat kode dan morse. Atau, bisa juga tampak
dari kolaborasi dunia dan kita, yang dalam hal ini, kamu mengambil lakon utama –
untuk pementasan bertemakan selamat tinggal.
Aku
menangkapnya dari kebisuan panjang empat puluh empat hari kita; yang dihuni
subur oleh diam, dan sedikit prasangka-prasangka yang melelahkan. Hari-hari
lama – yang harusnya tidak kubincangkan lagi, sebab yang lalu biarlah
diletakkan di belakang; tapi ini berbeda. Dan aku tak ingin membiarkanmu terperangkap
dalam ketidaktahuan lagi. Sudah terlalu banyak ‘apakah kamu ingat’ dan ‘kamu
lupa lagi’ yang tumbuh subur sampai hari ini. Kamu memegang alasan, teramat desak
ingatan lain yang harus kamu simpan, namun, aku bisa mengajakmu duduk di
sampingku sekarang ini untuk menjelaskan mengenai membran-membran otak, serta
kemampuan kepala manusia yang begitu ajaibnya menyimpan bergudang-gudang memori.
Jangan gunakan alasan aku yang hidup di masa lalu dan kamu seorang peraih hari depan
untuk menyalahi kenangan yang terlupa – karena kita tidak memiliki sejarah atau
pun esok hari, kecuali saat ini.
Sesak.
Kita - kamu - tak tahu, terjaganya aku sepanjang siang karena tablet-tablet yang
kutelan di subuhnya – bahkan sebelum bulir air embun jatuh dari ujung daun.
Lain lagi, bebasnya aku bermain-main di lobi-lobi karena beberapa genggam kaplet
yang kusimpan dalam saku celana jeansku – yang akan kutegak untuk memastikan
tubuhku tidak bertingkah ‘rewel’ dan mampu berjalan selayaknya orang
pada umpamanya. Selama obat-obat itu menyetubuhi darahku, satu-satunya yang
menyuntikkan hari-hariku agar jiwaku tetap hidup – tak hanya badan kurusku –
adalah menerima pekerjaan sebagai kuli kata-kata, yang menjajakan cerita, dan
menjual kenangan kita pada mereka yang ingin menyiarkannya pada orang-orang
yang mencari luka dalam cinta. Sampai di tulisan ini, kita simpulkan, seseorang
bisa bersembunyi di balik ‘hahaha’, di antara ‘baik-baik saja’, di dalam ‘gue
engak kenapa-napa’, di sebuah senyum sederhana, hanya untuk menjaga bendungan
air mata. Buktinya aku berhasil melakukannya – dan hingga sekarang kamu masih saja memintaku memahami lupa-lupamu.
Kelupaanmu,
adalah pertanda sederhana aku tak terlalu penting menjadi penghuni ingatan
ruang kepalamu – yang berharga itu. Mereka bilang, mungkin aku kurang kerjaan;
mengingat rincian kecil seperti kapan pertama kali kamu mengajakku melihat
sepotong senja yang wajahnya memar, tepatnya kamu berencana menghampiriku di
suatu malam yang menunggu, obrolan singkat penuh kejutan di sebuah kedai teh
ketika kamu mengalah untuk tidak jadi ke kafe kopi, dan lain-lainnya. Aku
terdengar sialan memang. Tapi, dari kenanganlah aku tumbuh. Aku hidup. Dan, dari
target-target di masa depanlah kamu berkembang, kamu hidup.
Kita
berbeda, dan cinta (yang setengah-setengah) sama sekali tidak menolong kita.
0 Comments:
Post a Comment