Sekitar
petang tiga hari lalu, aku duduk termangu di ruang tengah rumahku seraya
membolak-balik album kenangan yang memuat sejumlah potretku bersama
kawan-kawanku – beragam momen, mulai dari mengerjakan proyek berbarengan,
bertingkah konyol tidak jelas, atau hanya keisengan berswafoto. Lalu, manik
mataku berhenti pada salah satu foto sahabatku, matanya yang berbiji hitam
penuh – yang kalau berdiri di bawah remang lampu kota di tepi jalan atau langit
berpayungkan berkas cahaya purnama, aku yakin kedua matanya akan terlihat
bersinar. Mata khas itu mengantarku pada seseorang, ia yang dulunya – aku
merasa begitu tersiksa ketika mengatakan ‘dulu’, karena itu berarti sudah lewat
setahun lamanya dan segalanya berarti sepia – duduk di sebelahku pada suatu
bangku kelas, yang kebiasaannya menggambar kerap membuatku kagum dan bergumam
suatu waktu nanti bakatnya akan membawanya menjadi desainer atau ilustrator,
yang cantiknya sering kubilang mirip nona-nona berkelas, yang pribadinya tenang
(tapi bisa meledak kapan saja), yang punya tulisan tangan sangat rapi (aku
ingat, ia sering memakai tinta pulpen warna biru), yang bertanya apakah koleksi
boneka Santa Claus-ku bertambah, dan ia adalah kawan sebangku – seperjuangan – ketika
aku masih mengenakan rok abu-abu, yang kupanggil Claudie.
Aku
terpekur. Rasanya sudah benar-benar lama sekali – dan mengerikannya, aku hampir
melupakannya; baru kusadari, mungkin karena tak pernah lagi kutemukan namanya
muncul di antara desakan notifikasi atau beranda media sosial. Sore itu juga,
aku mencari kontaknya – tetap tak kutemukan, kecuali histori chatku dengannya
yang tercatat Natal setahun lalu. Aku membaca ulang pesan singkatku bersamanya
yang saling mengucapkan selamat dalam kasih Kristus, hanya itu; satu tahun lalu.
Dua tahun lalu dan yang dulu-dulu, kita bertukar pesan tentang tanggung jawab
di redaksi majalah sekolah yang masih ‘hijau’.
Kala
itu kita bergandengan sebagai rekan kerja yang kompak, aku menulis, ia
menggambar – aku mengarahakan, ia mendesain – aku menyerocos, ia mengilustrasi
– aku menyusun kata, ia mengutak-atik garis. Kenangan tentangnya menerobos
kepalaku tanpa henti, dan aku seperti terkunci. Benakku membongkar lagi ingatan
bertahun-tahun lalu, saat ia berusaha menenangkan aku tiap aku gagal dan
menangis di pelajaran Kimia, saat kita berdua bangga tergabung dalam kelas
unggulan dengan barisan kedua dari depan yang diduduki oleh lima juara besar
yang kita adalah di dalamnya, saat ia meminta buku harianku untuk ia tambahkan
coretan gambarnya, saat pertama kali kita bertemu dan ia mengajakku membeli
sekotak nasi putih ayam krispi (ingatkah ia, ini adalah hari pertama masuk
sekolah dan aku tidak membawa cukup uang jajan, dan ia bilang tak masalah, kita
makan bersama di bangku kantin yang letaknya di depan lapangan basket), saat ia
harus direpotkan oleh senior yang katanya menyukaiku (dan ia punya segudang
fans yang meliriknya tiap ia berjalan di lorong kelas), dan saat aku menangis
menulis ini semua.
Kadang
kali, waktu bisa begitu berbaik hati membuatmu lupa pada potong peristiwa buruk
di masa lampau, tapi ia juga mampu sangat kejam menjadikanmu merindukan
kenang-kenang yang manisnya begitu ranum, yang tak bisa kembali lagi.
Jingga
kemerahan yang masih menyisa di langit sore, bersama dersiknya yang berlari-lari
di antara celah jendela yang kacanya buram, dalam senyap seperti ini; aku
mengontaknya lewat chat terakhir itu – berharap media sosialnya masih aktif,
sekiranya ada rindu yang ingin kukabarkan padanya dari sini, bahwa aku tak
ingin sibuk menggerogotiku hingga melupakan bila sesungguhnya yang berharga
bukanlah tenggat-tenggat waktu tugasku yang tak kunjung usai, pertemuan bersama
rekan-rekan tim, hingga bincang-obrol proyek-proyek, melainkan sapaan singkat
yang mampir di ruang obrol ponsel yang pesannya sederhana; apa kabar, aku rindu.
Untukmu
– yang akhirnya bisa kuhubungi kembali, kawanku yang sedang ditimbun kesibukan
kuliahnya, Claudia Anwar – yang kupanggil akrab Claudie. Semoga ada kesempatan
yang mempertemukan kita untuk merajut kenangan lainnya.
Lewat tulisan ini – dan kebetulan
ini Sabtu, aku ingin mengucapkan selamat berakhir pekan, semoga kita tidak
dikurung tenggat waktu dan gunungan pekerjaan – aku juga ingin mengirimkan
peluk rindu kepada sahabat dekatku Mila Mareta, yang siang ini mengontakku
untuk sekadar bilang; ‘Ver, jangan lupa makan dan banyak makan buah’ karena
mengetahui minggu ini tugasku menumpuk, serta kelindan kenang atas tulisan ini
yang mengingatkanku pada Gabriella Moureen Naomi, yang kusebut Alien karena
keakraban kita, yang pernah secara mengagetkan menulis teks singkat untukku
‘Ver, istirahat, jangan kebanyakan minum teh’ dan lainnya. Pada mereka, aku
menemukan bahwa cinta bekerja dengan cara manis yang begitu mengejutkan.
0 Comments:
Post a Comment