Akhirnya,
aku menulis lagi. Kalau kamu punya kebiasaan mencoret angka di penanggalan
kalender yang sudah lewat, kamu akan menyadari, sudah satu bulan lebih aku
tidak mengisi jurnal ini – dan, empat puluh empat hari kita kehilangan apa
kabar.
Maka
itu, bolehkah aku memulainya dengan bertanya sederhana; bagaimana keadaanmu
yang sekarang? Kudengar kamu mulai menyentuh impianmu, pekerjaanmu datang
menderamu tiap waktu dan memenjarakanmu dalam kata ‘sibuk’. Itu sepatah kata
yang teramat berbahaya – kamu tak menyadarinya. Ia bisa menjelma jadi benteng
beton tak kasat mata yang berkata pada orang-orang termasuk aku untuk tidak
mengganggumu. Tidak masalah, aku pun sibuk dan memahami bagaimana terkadang
jadwal merantai keseharian kita – tapi bagiku, kamu selalu punya waktuku di
daftar pertama setelah Tuhan dan keluargaku. Namun, rasanya kamu punya pilihan
lain. Sibuk terlalu meringkusmu hingga kamu benar-benar terjerat lupa; akanku.
Kira-kira
seperti ini hasilnya; sapaan kita memudar, tatap kita tak lagi banyak
bercerita, senyum kita lampus sudah. Lalu jika sudah begini, pantaskah aku
bertanya akan nasib rasa – yang sempat kubilang padamu akan kujaga, asal kamu,
setidaknya mampu meyakinkanku akan tetap tinggal? Aku akan senang hati menanti,
menurunkan tiap tangan lelaki yang mengajakku berdansa di Sabtu malam sebab aku
menunggumu – dan rela menjadi pohon. Tapi, empat puluh empat hari kesempatan
itu digelar di hadapan kita dan kamu tak sekalipun menyentuhnya. Sampai
akhirnya, terlalu banyak yang asing merasuki kamu, hingga aku tak bisa
menghitung ini sudah muram ke berapa yang menyertai ingatanku akanmu. Mungkin,
kisah tentang kita sudah akhir pada salah satu hari dalam empat puluh empat
hari yang kita tak saling tahu itu.
Aku
tidak meletakkan kesalahan di pundakmu. Hanya saja, dua puluh hari pertama
ketika kamu pergi dan entah sedang minum apa di bar sana – dalam sebuah
pertemuan bisnis yang sangat penting atau liburan yang begitu jauh – adalah
titian hari yang begitu buruk bagiku, dan aku butuh kamu untuk kubagi
cerita-cerita yang hanya padamu aku kisahkan; namun kamu mungkin tengah
berjemur di pantai, merancang strategi masa depan, menikmati pemandangan malam
yang bermahkotakan lampu-lampu berwarna dan lainnya. Lantas, aku di sini
belajar hidup dikendalikan sejumlah botol obat, menyimpan rahasia-rahasia, dan
mencuri waktu untuk menangis sepanjang malam. Nyeri mengetahui aku terbatuk dan
ditenggelami sejumlah luka darah tiap mengingat apakah mungkin ada rindu yang
berlabuh padamu agar setidaknya bertanya apakah segalanya baik-baik saja; yang
nyatanya hanyalah angan-angan yang teronggok sia-sia. Sekarang, dua puluh hari
paling siksa itu sudah berhasil aku lewati – sendirian. Sisanya hanya
koreng-koreng luka yang berusaha kutambal tanpa dirimu. Dan, kita sudah begitu
terlambat.
Beberapa
minggu setelahnya aku mendapati kamu semakin maju dan berhasil dalam kerasnya
usahamu. Aku tersenyum di depan buku-buku tua yang kubaca untuk menemani
hari-hari sakitku. Aku ingat mimpimu untuk memperoleh juara di usia muda, dan
aku kerap berdoa kamu segera menjadikannya nyata. Doa itu (hampir) sukses – kulihat kamu semakin banyak
menangani proyek dan datang ke sejumlah event yang tak kukenal - , tapi tak
lagi kudapati kamu yang punya segudang waktu untuk mendengar dongeng-dongengku,
mengirimkan artikel-artikel seputar hobiku padaku, menyambung ucapanku tentang
hal-hal aneh, serta bertukar kabar apakah kamu bahagia hari ini. Aku menyadari
satu hal; akhir bahagia dalam telenovela percintaan dan drama melankolis, bukan
milik kita.
Setelahnya,
aku hidup dengan mencoba mencintai kehilanganku atasmu*.
Walau,
sesungguhnya aku sudah terlalu kebas untuk kembali membangun episode tentangmu
– sebab kata-kataku sudah lenyap, aku mencarinya di pasar, supermarket, gudang,
kafe dan tempat-tempat lainnya, aku tak menemukannya kecuali pada matamu yang
tak lagi menyarangkan tatap padaku.
Untukmu,
dari perempuan yang pernah berkata, menyelipkan namamu di antara doa-doa
terbaikku.
*diambil dari salah satu lirik puisi Aan Mansyur
*diambil dari salah satu lirik puisi Aan Mansyur
0 Comments:
Post a Comment