Ada
sepotong lagu cinta yang bermain di waktu menjelang tengah malam, aku berpikir
itu tengah menertawakan kita yang seperti ia; lantunannya manis, tapi hanya sementara.
Aku gemetar, mengaku kalah oleh langkah awal kenangan. Lalu, tatapanku
membentur dinding yang di atasnya tergantung secarik robekan kertas kecil,
isinya adalah tulisan tanganku yang sederhana berspidol hitam; ‘...kamu adalah yang menjelma bayang pada
malam aku memejamkan mata, dan yang teringat ketika pagi aku terjaga’.
Rasanya dadaku menyeri, membawaku pada tiap tarikan nafas yang penuh sesak.
Kamu pernah bilang padaku, memori kita terlampau singkat – mungkin itu
menjelaskan bahwa ia tidak terlalu kuat untuk mengantarmu mengingatku. Sedang
aku di sini, masih saja dungu merasakan ini semua terlalu nyata. Sampai
perlahan-lahan selama empat puluh empat hari, semesta menampakkan padaku,
menyimpan luka akanmu secara sembunyi-sembunyi ternyata lebih menyakiti dibanding
mencintaimu diam-diam.
Jika
kamu ingin tahu hasilnya memendam rindu yang akhirnya membangkaikan diri jadi
kubang darah, aku akan memberitahumu. Kira-kira seperti ini muaranya; aku jadi
orang yang berbeda. Dongeng-dongengku mati, cerita-ceritaku terlalu lama
menunggumu di penghujung malam untuk dikisahkan bersama segelas susu cokelat
dan taburan gemintang rekata, hingga ia lama-lama terbunuh karena tak kunjung
tidur walau diserang kantuk. Dan kamu tak pernaah datang. Semenjak itu, aku tak
lagi mendongeng, aktivitas itu berganti jadi agenda menenangkan risau hati yang
menangis sendiri. Kubiarkan juga boneka-boneka berjenggot yang kerap kupeluk
sepanjang hari untuk menemani khayalan-khayalanku, teronggok di sudut kasur
dimakan dinginnya laluan waktu. Kamu berhasil membunuh anak kecil (yang selama
ini kujaga dan kupelihara) dalam diriku, terima kasih. Kemudian, aku
menyingkirkan note-note berbagai warna koleksiku yang tercecer di meja
belajarku yang bak kapal pecah. Aku berhenti menulis ungkapan singkat atau
puisi kecil, aku sengaja menerima sejumlah proyek kepenulisan lain yang menyita
waktuku agar bisa menghindari bayanganmu yang jadi hantu. Lain-lain, aku tidak
juga lagi tergantung pada es krim untuk bahagia, pada langit yang
berganti-ganti cuaca untuk menitipkan rindu, pada buku-buku tua seriusku untuk
membunuh waktu. Aku telah berubah, mereka bilang aku mati rasa – mungkin karena
terlalu banyak lebam yang sudah membiru serta luka basah yang tak hendak
mengering, aku remuk dan tak lagi benar-benar hidup. Aku menggeleng padanya
seraya tersenyum letih, tak ada hal membahayakan yang terjadi padaku kecuali
... aku sudah lupa caranya mencintai.
Diikuti
aku yang tak paham lagi caranya tersenyum lepas dan bahagia bebas. Aku hanya
berjalan dihidupi tenggat-tenggat waktu proyekku, serta bergerak oleh tegakan
warna-warni rasa obatku.
Lagi-lagi,
mereka kerap menudingku putus asa. Sekali kukatakan, aku hanya sedang terluka
begitu dalam, setidaknya itu menunjukkan betapa aku sudah berusaha melakukan
hal terbaik yang bisa kuperbuat terhadap perasaan; mencintaimu seutuhnya. Dan,
aku percaya, air mata yang jatuh tak pernah sia-sia.
“...kamu tak harus banyak bergerak,
sewajarnya kamu dicintai bukan mencintai.”
“...jika kamu pernah bilang rasa
ini adalah puisi, berarti ia kemungkinan terbakar di tiap halamannya. Kamu akan
terbunuh jika tidak cepat-cepat menyelamatkan diri.”
Ah,
apa lagi kira-kira yang mereka sarankan padaku – dan aku hampir menganggapnya
bagai hiasan angin lalu. Sebab, sejak awal aku sudah memulai prolog kisah kita
dengan kalimat; ‘...seperti inilah cara
cinta bekerja; berteman akrab dengan luka’.Aku berharap suatu saat nanti
akan sembuh.
Dari
perempuan yang sesungguhnya masih bersembunyi pada salah satu bintang yang
tertinggal di pucatnya langit malam ini.
0 Comments:
Post a Comment