Aku
tak pernah bercerita panjang lebar tentang hal-hal seperti ini – tapi ini malam
Minggu, baiklah katakan saja ini Sabtu malam; dan topik ini kerap mengusikku.
Lantaran tiap malam-malam seperti inilah, risau hati melayap ke mana-mana. Dan,
sesungguhnya ada cita-cita yang lebih penting menunggu kita untuk berupaya.
Dulu,
seorang teman pernah datang padaku dan menyindirku dengan kata ‘kuper’ (baca:
kurang pergaulan). Ini mungkin terjadi karena sepanjang hari di sekolah yang
dilihatnya adalah aku membawa buku RPUL (rangkuman pengetahuan umum lengkap) ke
mana-mana, saat itu aku ingat – aku mempelajari nama-nama ibu kota, serta masih
mencoba mengenali kepulauan Indonesia dari peta.
Selanjutnya,
ia jumpalitan dari satu kelompok ke kelompok lain membincangkan perihal cinta –
yang kala itu, sedang tren hal-hal seperti: kalau-elo-pacaran,
berarti-elo-sudah-dewasa. Percayalah, aku sangat kesal – dan ingin membalaskan dendam kesumat ala
anak-anak; bisakah kita lupakan saja kalimat yang ini? Menit itu juga, aku
bertanya padanya di mana ibu kota Peru, dan memintanya menunjukkan padaku letak
pulau Jawa di peta. Ia hanya diam, menggeleng tidak tahu – lalu mengapa kamu tidak menarik lengan lelakimu ke hadapanku untuk
menjawabnya?
Aku
terdiam – jadi siapa yang kuper sekarang
(?) – aku seperti melihat seorang penggemar fanatik sepak bola tapi tidak
bisa menjelaskan apa itu offside.
Dan
beberapa bulan lalu saat aku menaiki angkutan umum, aku mencuri dengar
percakapan siswi SMP – mereka membahas tentang kriteria suami masa depan; ingin
yang humoris, pengertian, dan lain-lain. Saat itu, ingin sekali aku melepas
masker penutup hidungku dan menceritakan seuntai kisahku pada mereka seperti
ini:
“Aku pernah bertemu lelaki yang
kuajak mengobrol tentang bagaimana pemanasan global semakin terdengar
mengerikan, dan lemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar, lalu lelaki itu
menjawab seperti; aku tidak peduli, yang hanya aku pikirkan adalah kita.”
“Bagaimana kamu bisa tidak peduli?
Munculnya tren Post-Apocalypse yang diangkat menjadi tema berbagi karya fiksi,
bukanlah sekadar khayalan semata dan imajinasi biasa dari para seniman.
Keterjebakan sebuah kehidupan di antara distopia dan utopia yang tergambar
dalam karya teranyar Lois Lowry, The Giver, bukan main-main. Ironi mesin otomat
hijau yang dicontohkan Gaarder dalam karya barunya, Dunia Anna bukanlah
lelucon. Ini berangkat dari kegelisahan dunia mengenai Bumi yang semakin menua,
dan tingkah manusia yang lupa di mana sesungguhnya ia berumah. Kalau pemanasan
global benar-benar memakan habis Bumi, coba katakan padaku di mana kamu akan
mengajakku berkencan?”
“Akan kubawa kita ke ujung dunia,
yang hanya kita berdua, kita bisa ke Mars.”
“Kebetulan pendaftaran untuk
menghuni Mars sudah dibuka, mengapa tidak kamu saja bergabung untuk memastikan
adanya air dan oksigen yang cukup bagi kita?”
Baiklah lelaki itu terdiam, dan aku
masih belum selesai bicara.
“Nilai tukar rupiah melemah, dampak yang
sangat terasa adalah meningkatnya harga bahan baku yang kita impor. Apa artinya
kalau bahan baku naik? Bahan-bahan lain yang memanfaatkan bahan dasar terseut
akan ikut naik. Terjadi inflasi, ujung-ujungnya rakyat yang juga adalah kita
berdua – kamu dan aku, ikut terkena. Kalau sudah begitu, coba jelaskan padaku
pengeluaran kita yang akan meningkat tiap kali jalan untuk makan dan menonton
bersama? Masalah rupiah memiliki dampak kontinu dan domino yang sangat besar,
lalu kamu masih berpikir untuk hidup dengan makan cinta.”
Aku
berharap mereka paham jika kamu tak bisa mendapatkan Pangeran William hanya
dengan terus memikirkannya dan menggalaukannya, kamu harus menjadi seorang Kate
Middleton untuk itu. Saat menulis novel Shooting
Star, aku menolak ajakan kawan-kawanku untuk menonton film keluaran terbaru
di akhir pekan, karena aku tahu ada naskah yang memanggil-manggilku, dan aku
punya impian yang sempat diremehkan untuk kuraih. Ketika menulis artikel feature mengenai MEA yang memenangi
juara dua menulis feature antar-universitas, aku meredam godaan status-status media
sosial yang memamerkan kemesraan jalan berdua dengan sepasang kekasih. Dan
lain-lainnya, yang karenanya aku kerap dianggap akan menjadi jomlo sejati. Tapi
aku memahami; aku menolak pesta hari ini, karena aku akan memiliki pesta yang
ditujukan untuk merayakanku nanti.
Aku
rasa kita hanya lupa pada kisah sejati Cinderella, ia tidak pernah berharap ada
pangeran melawan naga yang akan meminangnya ke istana lewat sepatu kaca, ia
hanya fokus pada kebaikan hatinya dan keajaiban itu datang dengan sendirinya. Izinkan
aku meminjam sebaris kutipan teramat sederhana dari Mario Teguh yang mengatakan
bahwa cinta yang berkualitas datang pada ia yang berusaha meningkatkan kualitas
diri. Kawan, Kitab Penyatuan Jodoh itu
ada, dan Tuhan memegangnya sekarang – kita tak perlu takut, kisah kita akan
ditulis Tuhan dan itu lebih sempurna dibanding yang dikarang oleh manusia.
Aku
– kita – pasti setuju, tak ingin menghabiskan waktu kita – yang merupakan
investasi sangat berharga yang kita punya – hanya untuk mengkhawatirkan ‘mengapa
dia enggak balas chat gue ya?’. ‘sialan, kok cuma di-read doang sih?’, ‘duh, dia
pasti lagi jalan sama cewek lain dan gue dilupain’, ‘kok dia engga ajak gue
jalan ya?’, ‘udah makan belum, Ndut?’, ‘kamu tidur duluan deh, Cayank’, ‘jemput
dong!’ dan sebagai-sebagainya. Kita butuh memahami – dan seseorang yang mengerti
– bahwa mengejar mimpi bukan berarti tidak akan menikah serta meninggalkan
cinta, melainkan berusaha menghidupi cinta itu sendiri.
“Bagaimana kita bisa memastikan ia
yang mengklaim dirinya cinta sejati itu tidak main-main? Serta yang mudahnya
mengajak kamu tidur itu tidak menganggap seks sebagai olahraga favoritnya? Ada
hal-hal lebih besar dari sekadar perkara hati yang tak kunjung mendapat
tambatan dan diancami perawan-perjaka tua.”
Lalu,
air mata yang kerap diturunkan untuk seseorang yang terkadang kita anggap
adalah yang lahir untuk mencintai kita (padahal belum tentu iya, karena kita
menilainya masih dengan kaca mata merah muda; belum sepenuhnya imbang) – sesungguhnya
itu tetes-tetes yang lebih dibutuhkan bagi mereka yang menjadi korban bom
Bangkok, tragedi Trigana Air, pengungsi Rohingya, dan berbagai hal lainnya. Air
matamu sangat berharga dan bisa disulap jadi bulir doa untuk mereka, ketimbang
tumpah untuk ia yang tidak memahami seberapa besar kesedihan menawanmu atas
cinta ia yang setengah-setengah.
Apakah
kamu percaya padaku– jika cinta tidak datang terlalu cepat atau terlambat, ia
akan memelukmu tepat pada waktunya. So, if
everything has already written, why we worry?
Dan,
cinta yang dewasa adalah yang tidak berpikir dunia hanya milik kita berdua. Ada
Tuhan, keluarga, dan sahabat yang mengajarkan kita sejatinya cinta hingga kita
mampu mencintai seseorang. Jangan pula kita katakan, kita tidak akan bisa hidup
bahagia tanpa si dia. Hey, sebelum ‘si dia’ datang, apakah kamu tak pernah
sekalipun bahagia dalam hidupmu? Ketika kamu dibelikan mainan favorit, bolos
bersama teman sepermainanmu, dan doa-doa yang dikabulkan Tuhan?
“Ver, tapi kamu sering ngegalau
tuh!”
“Hehehe, itu sih memang hobi dan
kerjaanku.” (aku pun ditabok ramai-ramai)
Sssst, sesungguhnya prinsip aku
sangat sederhana; cinta ditolak, karya bertindak. Galau berkicau, karya
menghalau.
Dan
satu lagi, aku mencintaimu. Semoga kita akan bertemu dan terikat dalam cinta
yang hakiki, yang beriman pada kasih sayang, yang hangatnya bagai rumah.
0 Comments:
Post a Comment