Earl grey milikku mendingin; usai
diraba oleh hujan semalam penuh. Aku menyentuh kuping cangkirnya – gigil itu
terasa menyengat. Aku mencoba menebak-nebak apa saja yang dialami secangkir
earl grey-ku malam tadi, saat kutinggal di bahu jendela; setelah diraba-raba
hujan, mungkin juga disentuh berkas cahaya bulan yang berkunjung tiba-tiba,
atau remang lampu kota yang menggoda kepul asapnya menari-nari pergi, dan
tinggallah ia sendiri bersama dingin. Itu baru satu malam, dan sudah berhasil
mengundang berbagai cerita. Bagaimana dengan secangkir kenangan, yang usianya
bukan lagi senja – bisa saja malam – dan letaknya di pinggiran hati yang
berusaha melupakan atau di sudut pikiran yang berupaya menghilangkan. Aku
berhenti; berdiri diam di balik jendela kamarku yang buram karena kabut dari
embun pagi yang memanggil. Dan sekali lagi, aku ditelusup kenang.
“…dan manusia tanpa kenangan dan ingatan ibaratnya hanyalah sebuah cangkang.” – Mitch Albom, The Time Keeper
Padahal itu malam pucat yang biasa. Menjadi
berbeda ketika radio tua koleksi dari marhum kakekku, kunyalakan – dan berputarlah
sebuah lagu tua, yang tak tahu berasal dari tahun berapa, menari-nari di
gendang telinga, lalu dengan kurang ajarnya mengusik ingatan. Jari jemari
berhenti di tombol ‘stop’ radio itu. Hatiku menjerit berhenti, seberapa
sakitnya kamu menerima kilasan masa lalu atau kelebat waktu lampau, di
kedalaman dirimu kamu akan menyadari jika kamu membutuhkannya. Aku dibawa
sekali lagi di saat-saat aku jatuh ketika belajar menaiki sepeda, lari sembari
menangis dan meloncati portal satpam saat dikejar anjing liar, lalu demam
tinggi di pertengahan malam dengan Ibu yang menungguiku tanpa tidur.
Bermacam-macam potongan peristiwa lalu yang sudah lewat tak henti-hentinya
menghajarku, hanya lewat sepenggal lagu tua – kita memang tak pernah tahu
bagaimana dan dengan apa kenangan menyerangmu. Kadang kala, sifatnya tanpa
ampun.
Lagi-lagi, padahal itu hanya sebuah
gudang pengap dengan setumpuk barang lama berbau apak. Harusnya tak ada yang
istimewa. Tapi – mengapa kamus hidup ini menyimpan kata ‘tetapi’? – segalanya berubah
saat aku tengah memberesi barang-barang dan menemukan sebuah buku tahunan yang
tersembul di balik gunungan. Buku tahunan yang menjaring potret setiap anak
yang lulus pada angkatan tertentu – begitu kenangan hingga mampu membuatmu
lebam membiru karena debu tebalnya membuatmu batuk, tapi foto sepia itu lebih
dari sekadar tua, ia menghidupkan apa yang sudah lama kamu kira mati dalam
lupa. Selalu begitu, saat kamu membongkar sesuatu yang sudah lama teronggok –
yang kamu kira hanya akan menyapa debu dan sarang laba-laba – tapi justru yang
kamu temui adalah suatu hal yang membuatmu diam. Cukup lama. Tak bergerak
sepersekian detik. Sama sekali. Hanya untuk meresap ulang apa yang mengetuk dan
berusaha kamu anggit agar rapi kembali. Itu cara kerja kenangan. Dan sering
kali, karakternya tiba-tiba.
Aku memutuskan untuk menarik diri.
Kubersihkan embun pagi yang menempel di dinding jendela dengan siku tanganku.
Membuatnya membekas bulatan besar di tengahnya. Tapi setidaknya sudah cukup
jelas dibanding tadi – dan aku teringat pada satu pertanyaan. Ada alasan mengapa Tuhan
membatasi waktu hidup kita, agar hari-hari kita berharga. Mungkin itu juga guna kenangan – walau ia juga
bisa menghajar – menjaga agar kita tidak lupa, betapa hari ini akan menjadi
kenang, karenanya ingatlah hari ini, saat kita bersama berbungkus canda tawa maupun isak tangis,
dan aku bilang, akan membalutmu dalam cinta.
0 Comments:
Post a Comment