Thursday, 9 July 2015

Museum Ingatan


Earl grey milikku mendingin; usai diraba oleh hujan semalam penuh. Aku menyentuh kuping cangkirnya – gigil itu terasa menyengat. Aku mencoba menebak-nebak apa saja yang dialami secangkir earl grey-ku malam tadi, saat kutinggal di bahu jendela; setelah diraba-raba hujan, mungkin juga disentuh berkas cahaya bulan yang berkunjung tiba-tiba, atau remang lampu kota yang menggoda kepul asapnya menari-nari pergi, dan tinggallah ia sendiri bersama dingin. Itu baru satu malam, dan sudah berhasil mengundang berbagai cerita. Bagaimana dengan secangkir kenangan, yang usianya bukan lagi senja – bisa saja malam – dan letaknya di pinggiran hati yang berusaha melupakan atau di sudut pikiran yang berupaya menghilangkan. Aku berhenti; berdiri diam di balik jendela kamarku yang buram karena kabut dari embun pagi yang memanggil. Dan sekali lagi, aku ditelusup kenang.
“…dan manusia tanpa kenangan dan ingatan ibaratnya hanyalah sebuah cangkang.” – Mitch Albom, The Time Keeper
Padahal itu malam pucat yang biasa. Menjadi berbeda ketika radio tua koleksi dari marhum kakekku, kunyalakan – dan berputarlah sebuah lagu tua, yang tak tahu berasal dari tahun berapa, menari-nari di gendang telinga, lalu dengan kurang ajarnya mengusik ingatan. Jari jemari berhenti di tombol ‘stop’ radio itu. Hatiku menjerit berhenti, seberapa sakitnya kamu menerima kilasan masa lalu atau kelebat waktu lampau, di kedalaman dirimu kamu akan menyadari jika kamu membutuhkannya. Aku dibawa sekali lagi di saat-saat aku jatuh ketika belajar menaiki sepeda, lari sembari menangis dan meloncati portal satpam saat dikejar anjing liar, lalu demam tinggi di pertengahan malam dengan Ibu yang menungguiku tanpa tidur. Bermacam-macam potongan peristiwa lalu yang sudah lewat tak henti-hentinya menghajarku, hanya lewat sepenggal lagu tua – kita memang tak pernah tahu bagaimana dan dengan apa kenangan menyerangmu. Kadang kala, sifatnya tanpa ampun.
Lagi-lagi, padahal itu hanya sebuah gudang pengap dengan setumpuk barang lama berbau apak. Harusnya tak ada yang istimewa. Tapi – mengapa kamus hidup ini menyimpan kata ‘tetapi’? – segalanya berubah saat aku tengah memberesi barang-barang dan menemukan sebuah buku tahunan yang tersembul di balik gunungan. Buku tahunan yang menjaring potret setiap anak yang lulus pada angkatan tertentu – begitu kenangan hingga mampu membuatmu lebam membiru karena debu tebalnya membuatmu batuk, tapi foto sepia itu lebih dari sekadar tua, ia menghidupkan apa yang sudah lama kamu kira mati dalam lupa. Selalu begitu, saat kamu membongkar sesuatu yang sudah lama teronggok – yang kamu kira hanya akan menyapa debu dan sarang laba-laba – tapi justru yang kamu temui adalah suatu hal yang membuatmu diam. Cukup lama. Tak bergerak sepersekian detik. Sama sekali. Hanya untuk meresap ulang apa yang mengetuk dan berusaha kamu anggit agar rapi kembali. Itu cara kerja kenangan. Dan sering kali, karakternya tiba-tiba.
Aku memutuskan untuk menarik diri. Kubersihkan embun pagi yang menempel di dinding jendela dengan siku tanganku. Membuatnya membekas bulatan besar di tengahnya. Tapi setidaknya sudah cukup jelas dibanding tadi – dan aku teringat pada satu pertanyaan. Ada alasan mengapa Tuhan membatasi waktu hidup kita, agar hari-hari kita berharga.  Mungkin itu juga guna kenangan – walau ia juga bisa menghajar – menjaga agar kita tidak lupa, betapa hari ini akan menjadi kenang, karenanya ingatlah hari ini, saat kita bersama berbungkus canda tawa maupun isak tangis, dan aku bilang, akan membalutmu dalam cinta.

This entry was posted in

0 Comments:

Post a Comment