Ini teramat sederhana hingga tak
tahu dari titik mana harusnya kumulai menenun cerita. Pagi tadi terasa biasa
saja – aku bangun dengan kaca jendela yang sudah mengabur oleh embun pagi dan
pemandangan yang sama; sepasang nenek-kakek yang berolahraga mengelilingi
kompleks perumahan. Tapi itu sedikit hari yang berbeda. Aku berjalan satu
persatu langkah dan telah sampai di pertengahan jalan menuju rumah makan.
Ketika aku berusaha melimburkan diri
di antara jalanan yang dirayapi sepi, sudut mataku menangkap sebuah gerobak
barang loak dari ujung sana. Didorong
oleh seorang lelaki yang sedikit lebih muda dariku dengan tubuh kecilnya – di
sebelahnya ada seorang anak kecil kira-kira baru duduk di bangku kelas satu
sekolah dasar. Lelaki yang tengah mendorong gerobak barang bekasnya itu
mengenakan kaus oblong kelabu yang sudah dipenuhi noda hitam di sisi-sisinya,
celana berwarna gelap pendek selutut, dan sandal karet. Anak kecil yang
berjalan mengiringinya, bisa kutebak sebagai adiknya, menenteng karung beras
sebagai tempat pulung, yang disampirkan di punggungnya.
Hal yang menarik adalah si lelaki
tersenyum sepanjang perjalanan mendorong gerobak, dan si adik hanya memasang
wajah cemberut – mungkin karena kepanasan, atau tidak mendapat barang plastik
untuk dipulung, karena kau mendapati karungnya baru seperempat terisi. Tapi
senyum bertengger setia di bibir si lelaki – saat kita berpikir itu adalah hal
paling sulit yang bisa dilakukan di tiap pagi dalam keadaan seperti itu,
kecuali gerutu-gerutu. Ia masih mengenakan senyumnya dengan sempurna, mungkin
karena hal-hal sederhana; seperti kemampuannya untuk bangun pagi itu dan
membantu Bapaknya bekerja mencari uang, mengingat sebentar lagi hari raya tiba
dan kita merayakan kemenangan. Atau senyum itu dibentuk karena syukur sederhana
tentang masih adanya kesempatan hari itu baginya menikmati matahari pagi yang
walau terik, masih mampu memeluk hangat. Mungkin juga karena puasanya lancar
bulan itu, atau rencananya pulang ke kampung halaman. Bisa saja tidak karena
apa-apa, kecuali ia ingin saja tersenyum pagi itu. Sebab itu hal baik paling
mudah dan hebat yang bisa dilakukan untuk menyapa dunia dan semesta, serta
bentuk terima kasih pada Tuhan yang masih memberinya jiwa hidup hingga detik
pagi itu ada.
Dan percayalah, itu sepotong senyum
dari seorang anak lelaki gerobak loak yang mampu menyulam pagi dengan begitu
manisnya. Kapan terakhir kali aku jatuh cinta pada hal sederhana? Sedangkan
kebahagiaan tak melulu kutemukan pada hal-hal mewah. Selamat tersenyum hari
ini.
0 Comments:
Post a Comment