Aku menyapamu sekali lagi, Kamu.
Mungkin setelah ini akan ada banyak pertanyaan untukku, tentang siapa di balik
Kamu. Aku rasa ada alasan mengapa Shakespeare mengatakan apalah arti sebuah
nama. Bukankah kerap kita mendengar lirik lagu, bacaan, atau tanda-tanda yang
hanya mengarah pada seseorang tanpa benar-benar menyebutkan namanya, kecuali
memanggil ‘kamu’? Karenanya, ini sesungguhnya sangat sederhana; teruntuk Kamu.
Hola, Kamu. Sedang apa kamu
sekarang? Biar kutebak, tengah perjalanan pulang, atau sedang sibuk memikirkan
rencana yang harus kamu eksekusi dengan baik esok hari. Tapi ini malam sebentar
lagi beranjak tua, aku berani bertaruh kamu pasti bersiap tidur dan menghitung
domba – aku selalu berharap bisa duduk di tepi tempat tidur dan membuka salah
satu buku dongeng koleksiku untuk kubacakan sebelum kamu lelap. Jika kamu masih
cukup terjaga untuk tahu aku sedang apa, aku semenjana memutarkan musik dari
salah seorang pianis yang pernah kamu hadiahkan lagunya padaku di sebuah malam.
Rasanya sudah beratus-ratus malam lewat sejak segalanya baik-baik saja; tanpa
aku yang harus bergantung pada berbotol obat, merutuki diri ketika berdiri lima
belas menit di hadapan cermin, dan menangis diam-diam di pertengahan malam.
Kebanyakan karena aku menemukan pertemuan kita hanya berupa tatap punggung yang
saling menjauh, dan bisu yang mengisahkan akhir cerita kita.
Hola sekali lagi, Kamu. Boleh aku
bercerita kembali padamu? Sebelumnya maaf karena kamu harus bertemu denganku –
si perempuan yang menjajakan cerita-cerita untuk bertahan hidup. Tadi siang,
aku bermimpi, itu mimpi yang muram sekaligus manis. Aku jadi seorang putri,
ketika banyak pangeran dari berbagai kerajaan datang untuk melawan naga dan
meminum ramuan sihir agar kebal dari serangan, hanya untuk memenangkan kontes
dan bisa melamarku; tapi ketika salah seorang datang dan semuanya terasa akan
berakhir bahagia, kubilang padanya: ‘aku
akan mencintaimu, sebagai kakakku, sahabatku, temanku’. Aku menyimpan
bentuk cinta yang lain, dan itu adalah untuk Kamu. Karena aku menunggu. Dan,
kamu tak perlu takut – khawatir harus segera menjemputku, membalasku,
menungguku balik, atau usik-usik lainya – kamu hanya butuh memastikan
hari-harimu bahagia.
Hola terakhir kali, Kamu. Beberapa
waktu lalu, aku pernah bertanya padamu apa yang menjadi ketakutan terbesarmu?
Aku tak memintamu mengingat ulang apa jawabanmu kala itu, aku hanya ingin ikut
menjawabnya lewat surat yang sebentar lagi usai ini. Ketakutanku sederhana,
jika itu menyangkut Kamu, kira-kira seperti ini; aku tak menemukanmu duduk di
ruang kerjamu pada temu singkat yang ada, aku bangun di pagi hari dengan senyum
kecil dan tak pernah tahu apakah kamu juga tengah bahagia pagi itu, kamu tengah
lelah dan aku tak pernah punya kesempatan untuk sekadar bilang rihat sejenak, tak
tahu cara menerbitkan senyum kecil di sepotong bibirmu, dan mengetahui mungkin
saja aku menjadi beban lain untukmu.
Kamu. Pernah kamu terpikir jika Fur
Elise ditulis Beethoven untuk seorang kekasih yang menjelma menjadi nada-nada
luka untuknya? Atau rapuhnya Moonlight Sonata mencerminkan bagaimana cinta dan
luka berteman akrab hingga kata tak mampu melukisnya, lantas meminjam
tangga-tangga nada? Atau kesedihan-kesedihan Chopin? Mengerikannya akhir dari
kisah-kisah Shakespeare? Terkadang kita membaca luka dengan cara lain; mencintai. Selamat beristirahat, dan semoga hari-harimu berjalan
dalam damai.
Dari seorang perempuan yang berupaya
menghidupkan kenangan di tiap temu singkat kita.
0 Comments:
Post a Comment