Saturday, 4 July 2015

Kamu yang Kupanggil Kamu (3)


Lagi-lagi, ini untuk Kamu. Teruntuk Kamu. Kepada Kamu. Bagi Kamu. Ditujukan Kamu. Dialamatkan Kamu. Bermuara Kamu. Sekali lagi, biar aku menyapa Kamu. 
Halo, Kamu. Aku ingin memulainya dengan sepotong pertanyaan sederhana; apakah kamu sehat hari ini? Jika iya, dan ini Sabtu, banyak hal yang bisa kamu lakukan setelah seminggu yang kamu tingkahi dalam sibuk dan berakhir lega. Menemani Ibumu berbelanja, mengajak hewan peliharaanmu berkeliling di kompleks perumahan, bermain papan permainan bersama adikmu, atau menikmati instrumen musik favoritmu lewat kompilasi video yang kamu kumpulkan. Teruslah seperti itu, bekerja utnuk menyelesaikan satu persatu mimpimu. Aku ingin suatu waktu nanti – ketika aku tak lagi bangun di pertengahan malam hanya untuk memuntahkan darah, dan menangis sepanjang subuh memegang erat obat-obatan yang tak kamu tahu – bisa melihatmu berdiri di panggung yang sisi depannnya bertuliskan angka satu. Kamu menjadi juara dan bisa merihat sejenak menikmati permainan semesta yang selama ini meletihkan kepala dan jiwamu. Doa-doaku senantiasa mendaras dari sini, sebab Kamu, aku berusaha tidak mencintaimu dalam kenang, melainkan doa. Sebagaimana juga puncak tertinggi rindu singgah.
Halo sekali lagi, Kamu. Mungkinkah kamu ingat salah satu buku favoritku berjudul Surat Panjang tentang Jarak Kita yang Jutaan Tahun Cahaya? Itu buku yang berisi surat-surat dari seorang perempuan yang tak pernah sampai pada lelaki yang dicintainya sejak kecil. Akhir dari kisah itu mampu membuatmu diam sejenak – dan mengulang sekali lagi apakah ada seseorang yang menunggumu selama itu, lalu kamu mungkin lupa dengannya, tapi ia masih menunggu, tanpa kamu tahu ia tengah mati pelan-pelan. Menyembunyikanmu dalam ruang hatinya, dan diam-diam menghidupkanmu di antara cerita-ceritanya. Ada yang bilang, andai seorang penulis jatuh cinta padamu, kamu bisa hidup selamanya; tak akan mati. Karenanya, aku terus menulis perihalmu, aku ingin kamu hidup – karena kematian sesungguhnya adalah ihwal melupakan, dan aku pastikan itu tak terjadi padamu. Walau nantinya aku hanya berakhir sebagai seonggok nama setelah tiadanya aku, setidaknya ada surat-surat dan episode cerita yang mengisahkan bagaimana Kamu lebih hidup dari sekadar tokoh rekaan.
Halo terakhir kali, Kamu. Apa pernah sepintas berkelebat di benakmu jika aku mungkin tak bisa bangun lagi di suatu pagi untuk mengingatkanmu jangan lupa bahagia dan senyum hari ini? Mungkin tidak. Sejak dulu – waktu-waktu lampau yang membangunkan hantu mimpi burukku – aku selalu menjadi pilihan terakhir, ketika pilihan-pilihan lain yang terbaik dirasa sudah membosankan dan tak ada lagi yang bisa diraih, baru aku menjadi tempat berpulang. Awal, aku tahu tak pernah ditemukan di antara keramaian, dan terlihat di tengah kerumunan. Terlebih di dalamnya matamu – aku hanya singgah sesaat untuk menanti yang lebih baik, datang mengganti. Tak apa, Kamu. Aku mencintaimu dalam hening, dan pada sunyi, tak ada suara yang berbalas. Pada Kamu, selamat berakhir pekan dan semoga hari-harimu berbalut kebahagiaan.
Dari seorang perempuan yang baru menemukan ada yang sekarat dan berkarat dalam dirinya. 
*untuk pembaca setia blogku, aku rasa mereka tahu ‘Kamu’ sesungguhnya tentang siapa.
This entry was posted in

2 comments:

  1. ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬
    Karena aku pembaca baru, jadi tidak tahu siapa 'kamu' yang dimaksud, hehe.
    ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬

    ReplyDelete
  2. Kalau gitu, selamat datang di blog aku :) - semoga suka dengan postingannya, dan terima kasih sudah berkunjung ke mari, lalu menyempatkan waktu untuk membaca :D

    ReplyDelete