Lagi-lagi, ini untuk Kamu. Teruntuk
Kamu. Kepada Kamu. Bagi Kamu. Ditujukan Kamu. Dialamatkan Kamu. Bermuara Kamu.
Sekali lagi, biar aku menyapa Kamu.
Halo, Kamu. Aku ingin memulainya
dengan sepotong pertanyaan sederhana; apakah kamu sehat hari ini? Jika iya, dan
ini Sabtu, banyak hal yang bisa kamu lakukan setelah seminggu yang kamu
tingkahi dalam sibuk dan berakhir lega. Menemani Ibumu berbelanja, mengajak
hewan peliharaanmu berkeliling di kompleks perumahan, bermain papan permainan
bersama adikmu, atau menikmati instrumen musik favoritmu lewat kompilasi video
yang kamu kumpulkan. Teruslah seperti itu, bekerja utnuk menyelesaikan satu
persatu mimpimu. Aku ingin suatu waktu nanti – ketika aku tak lagi bangun di
pertengahan malam hanya untuk memuntahkan darah, dan menangis sepanjang subuh
memegang erat obat-obatan yang tak kamu tahu – bisa melihatmu berdiri di
panggung yang sisi depannnya bertuliskan angka satu. Kamu menjadi juara dan
bisa merihat sejenak menikmati permainan semesta yang selama ini meletihkan
kepala dan jiwamu. Doa-doaku senantiasa mendaras dari sini, sebab Kamu, aku
berusaha tidak mencintaimu dalam kenang, melainkan doa. Sebagaimana juga puncak
tertinggi rindu singgah.
Halo sekali lagi, Kamu. Mungkinkah
kamu ingat salah satu buku favoritku berjudul Surat Panjang tentang Jarak Kita yang Jutaan Tahun Cahaya? Itu buku
yang berisi surat-surat dari seorang perempuan yang tak pernah sampai pada
lelaki yang dicintainya sejak kecil. Akhir dari kisah itu mampu membuatmu diam
sejenak – dan mengulang sekali lagi apakah ada seseorang yang menunggumu selama
itu, lalu kamu mungkin lupa dengannya, tapi ia masih menunggu, tanpa kamu tahu
ia tengah mati pelan-pelan. Menyembunyikanmu dalam ruang hatinya, dan diam-diam
menghidupkanmu di antara cerita-ceritanya. Ada yang bilang, andai seorang
penulis jatuh cinta padamu, kamu bisa hidup selamanya; tak akan mati.
Karenanya, aku terus menulis perihalmu, aku ingin kamu hidup – karena kematian
sesungguhnya adalah ihwal melupakan, dan aku pastikan itu tak terjadi padamu.
Walau nantinya aku hanya berakhir sebagai seonggok nama setelah tiadanya aku,
setidaknya ada surat-surat dan episode cerita yang mengisahkan bagaimana Kamu
lebih hidup dari sekadar tokoh rekaan.
Halo terakhir kali, Kamu. Apa pernah
sepintas berkelebat di benakmu jika aku mungkin tak bisa bangun lagi di suatu
pagi untuk mengingatkanmu jangan lupa bahagia dan senyum hari ini? Mungkin
tidak. Sejak dulu – waktu-waktu lampau yang membangunkan hantu mimpi burukku –
aku selalu menjadi pilihan terakhir, ketika pilihan-pilihan lain yang terbaik
dirasa sudah membosankan dan tak ada lagi yang bisa diraih, baru aku menjadi
tempat berpulang. Awal, aku tahu tak pernah ditemukan di antara keramaian, dan
terlihat di tengah kerumunan. Terlebih di dalamnya matamu – aku hanya singgah
sesaat untuk menanti yang lebih baik, datang mengganti. Tak apa, Kamu. Aku
mencintaimu dalam hening, dan pada sunyi, tak ada suara yang berbalas. Pada
Kamu, selamat berakhir pekan dan semoga hari-harimu berbalut kebahagiaan.
Dari seorang perempuan yang baru
menemukan ada yang sekarat dan berkarat dalam dirinya.
*untuk pembaca setia blogku, aku
rasa mereka tahu ‘Kamu’ sesungguhnya tentang siapa.
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬
ReplyDeleteKarena aku pembaca baru, jadi tidak tahu siapa 'kamu' yang dimaksud, hehe.
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬
Kalau gitu, selamat datang di blog aku :) - semoga suka dengan postingannya, dan terima kasih sudah berkunjung ke mari, lalu menyempatkan waktu untuk membaca :D
ReplyDelete