Wednesday, 1 July 2015

Kamu yang Kupanggil Kamu (2)


Masih, ini untuk Kamu – maafkan aku karena memanggil kamu dengan Kamu, karena di sini aku terlalu lelah menerima barisan tanda tanya yang meminta jawab tentang siapa dibalik sebait nama. Jadi masih dalam ucap panggil yang teramat sederhana dariku; teruntuk Kamu.
Hei, Kamu. Kapan terakhir kali aku menyapamu dan bertanya hal paling klasik; apa kabar? Aku yakin kamu akan mengernyit geli, sebab kita lebih dari sekadar kenal untuk menghabiskan temu singkat lewat basa-basi konyol, tapi kita juga cukup jauh untuk segera merangkul dan berkata; rasanya sudah lama tak bertemu, apa yang kamu ingat selama hari-hari tanpaku? Bertaruhlah, kamu akan tertawa – karena aku sekali lagi membincangkan waktu, tapi Kamu, sesungguhnya aku tengah memperkarakan jarak yang jembatan pun tak sanggup bangun karenanya. Sebab, jembatan seperti apa yang harus dibentang jika bayangan kita mampu bertemu tanpa harus berdebat dengan purnama apakah kita tengah melihat langit yang sama?
Hei sekali lagi, Kamu. Hari ini aku mendengar curahan hati seorang sahabat tentang meletakkan cinta pada bentang jarak yang begitu panjang, resah antara percaya pada jarak yang mampu membunuh atau cinta yang merawat. Lalu, ia mempertanyakanku dan kamu – yang canggung, kaku dan membisu; aku kerap berharap ini karena terlalu banyak cerita yang menumpuk untuk dikisahkan hingga diam yang mengambil peran. Dan, ia bertanya, apakah aku khawatir. Tentang telikung, permainan, dan keraguan. Ingin kukatakan pada orang itu, aku lebih baik tak mampu menemukanmu dengan mataku ketimbang hati yang tak lagi melihatmu – sebab jarak adalah relatif. Kamu bisa menyelesaikan jarak yang persoalannya adalah mata merindu dengan tiket penerbangan, ajakan bertemu di teras kafe, atau kejutan dengan hadir tiba-tiba. Namun, segala itu hanya jumpalitan ide tanpa makna ketika kita tidak benar-benar menyelesaikan hati yang berjarak – sejauh dan sedekat apapun mencoba, kita tak akan meraihnya, jika salah satu kunci atau gembok yang kamu atau aku punyai, sudah tak lagi tepat.  Dan aku takut, kita bukan hanya terlambat, tapi sudah tak ada lagi yang bisa saling membuat tertambat dan terjerat. Ini mengerikan, mengetahui bagiku, kamu masih setia tersangkut dalam ingat.
Hei terakhir kali, Kamu. Aku memahami banyak hal akhir-akhir ini, setelah berperang dan sulit berdamai dengan diriku sendiri. Aku terlalu bodoh dan tidak tahu berbagai bidang dibanding pilihan-pilihan yang lebih baik ketimbang aku, dan bisa kamu ambil di luar sana. Sedang aku di sini, tak habis diperbudak kata dan hanya tahu jika bercinta dengan kata, aku akan bahagia – sebegitu sinting mungkin aku di matamu. Karenanya, seperti yang sudah-sudah, ini surat pendek yang tak perlu kamu hirau, ini jenis yang tak harus berbalas. Lagipula, aku suka melihatmu tenggelam di antara janji sibuk, tertawa bahagia oleh pekerjaanmu, dan melupakan sejenak dunia yang berputar dan berusaha melawanmu. Dan aku masih di sini – berusaha agar segalanya tetap terkendali dalam diam yang melenyap, dan aku hilang. Selamat bekerja dan jangan lupa tersenyum hari ini.
Dari perempuan yang memikirkan banyak hal setiap harinya, mengomel tidak jelas, menulis seperti orang gila, dan berkali-kali menemukan cara baru untuk jatuh padamu.
This entry was posted in

0 Comments:

Post a Comment