Masih, ini untuk Kamu – maafkan aku
karena memanggil kamu dengan Kamu, karena di sini aku terlalu lelah menerima
barisan tanda tanya yang meminta jawab tentang siapa dibalik sebait nama. Jadi
masih dalam ucap panggil yang teramat sederhana dariku; teruntuk Kamu.
Hei, Kamu. Kapan terakhir kali aku
menyapamu dan bertanya hal paling klasik; apa kabar? Aku yakin kamu akan
mengernyit geli, sebab kita lebih dari sekadar kenal untuk menghabiskan temu
singkat lewat basa-basi konyol, tapi kita juga cukup jauh untuk segera
merangkul dan berkata; rasanya sudah lama tak bertemu, apa yang kamu ingat
selama hari-hari tanpaku? Bertaruhlah, kamu akan tertawa – karena aku sekali
lagi membincangkan waktu, tapi Kamu, sesungguhnya aku tengah memperkarakan
jarak yang jembatan pun tak sanggup bangun karenanya. Sebab, jembatan seperti
apa yang harus dibentang jika bayangan kita mampu bertemu tanpa harus berdebat
dengan purnama apakah kita tengah melihat langit yang sama?
Hei sekali lagi, Kamu. Hari ini aku
mendengar curahan hati seorang sahabat tentang meletakkan cinta pada bentang
jarak yang begitu panjang, resah antara percaya pada jarak yang mampu membunuh
atau cinta yang merawat. Lalu, ia mempertanyakanku dan kamu – yang canggung,
kaku dan membisu; aku kerap berharap ini karena terlalu banyak cerita yang
menumpuk untuk dikisahkan hingga diam yang mengambil peran. Dan, ia bertanya,
apakah aku khawatir. Tentang telikung, permainan, dan keraguan. Ingin kukatakan
pada orang itu, aku lebih baik tak mampu menemukanmu dengan mataku ketimbang
hati yang tak lagi melihatmu – sebab jarak adalah relatif. Kamu bisa
menyelesaikan jarak yang persoalannya adalah mata merindu dengan tiket
penerbangan, ajakan bertemu di teras kafe, atau kejutan dengan hadir tiba-tiba.
Namun, segala itu hanya jumpalitan ide tanpa makna ketika kita tidak
benar-benar menyelesaikan hati yang berjarak – sejauh dan sedekat apapun
mencoba, kita tak akan meraihnya, jika salah satu kunci atau gembok yang kamu
atau aku punyai, sudah tak lagi tepat. Dan
aku takut, kita bukan hanya terlambat, tapi sudah tak ada lagi yang bisa saling
membuat tertambat dan terjerat. Ini mengerikan, mengetahui bagiku, kamu masih
setia tersangkut dalam ingat.
Hei terakhir kali, Kamu. Aku
memahami banyak hal akhir-akhir ini, setelah berperang dan sulit berdamai
dengan diriku sendiri. Aku terlalu bodoh dan tidak tahu berbagai bidang
dibanding pilihan-pilihan yang lebih baik ketimbang aku, dan bisa kamu ambil di
luar sana. Sedang aku di sini, tak habis diperbudak kata dan hanya tahu jika
bercinta dengan kata, aku akan bahagia – sebegitu sinting mungkin aku di
matamu. Karenanya, seperti yang sudah-sudah, ini surat pendek yang tak perlu kamu
hirau, ini jenis yang tak harus berbalas. Lagipula, aku suka melihatmu
tenggelam di antara janji sibuk, tertawa bahagia oleh pekerjaanmu, dan melupakan
sejenak dunia yang berputar dan berusaha melawanmu. Dan aku masih di sini –
berusaha agar segalanya tetap terkendali dalam diam yang melenyap, dan aku
hilang. Selamat bekerja dan jangan lupa tersenyum hari ini.
Dari perempuan yang memikirkan
banyak hal setiap harinya, mengomel tidak jelas, menulis seperti orang gila,
dan berkali-kali menemukan cara baru untuk jatuh padamu.
0 Comments:
Post a Comment