"Jangan
bertanya: sudah sembuh? Tidak ada orang yang betul-betul sehat. Aku cuma lebih
sakit darimu. Aku sedang memberi diriku kesempatan berharap dan percaya*.”
Aku membawa cerita dari atas tempat
tidurku yang menyulap menjadi meja makan sekaligus ruang bacaku di kala
senggang – menyedihkan ketika aku sesungguhnya lebih memilih sudut kedai teh
untuk melahap bacaan dan resto kecil untuk menghabiskan makan siang, tapi sepotong
sakit yang menempel di tubuhmu, membuatmu jadi orang yang bergantung pada satu
ruang. Dan, dari ruang yang sama, aku menulis cerita-ceritaku yang kerap
menggantung. Apalagi jika tentang kamu – yang kemarin lalu bertanya; apa semuanya baik-baik saja? Aku punya sebotol
obat-obatan dan segelas air putih untuk kamu beri pertanyaan itu.
“Biarkan
kunikmati penyakit yang mengisap jiwaku. Rasa sakit adalah alasan orang
menggunakan kata kerja dalam hidupnya. Mencintai dan menunggu, umpama*.”
Untuk Kamu, sakit yang mana yang
tengah kamu tanyai kabar? Sedangkan aku melihat matamu masih tebal ditimbuni
waktu, hingga samar melihat ada bilik terdalam di diriku yang merindu saat
ketika kita berada di ruang yang belum dinyalai lampu – hanya berkas cahaya
remang lampu kota dan sinar bulan yang berebut meningkahi – dan bayangan kita
saling beradu dan bertukar peran. Ketika itu, senyum dan tatap mata yang
mengambil lakon di panggung obrolan kita, yang kini hanya bisa diraih lewat
pesan singkat yang tidak pernah nyata; seperti kamu melihatku yang perlahan
hanya sebagai bayang semu.
“Jika
aku sakit, tersenyumlah. Tidak ada yang cukup di dunia ini – tapi senyuman
tidak pernah kurang.*”
Biar kudongengkan padamu hari-hari
yang kujalani dengan kesedihan tumbuh bahagia dalam diriku; aku merindukan
bangun tidur dan bekerja seperti biasa – mengejar sejumlah proyek, lalu
menantang diri sendiri lewat berbagai perlombaan, meniti waktu hingga larut
malam tanpa peduli apakah hantu akan datang merangkak, keluar rumah dan mencari
orang-orang baru untuk kusapa ‘hai,
sepertinya kamu bisa jadi salah satu tokoh rekaan dalam ceritaku? Bagaimana
dengan obrolan dengan secangkir earl grey?’. Tapi aku hanya duduk depan
televisi dan buku sepanjang hari menunggu kapan orang-orang berjas putih
mengatakan segalanya akan berjalan lancar. Kamu, ini sakit yang tidak membunuhku,
aku yakin – ada yang lebih dari itu, seperti bagaimana kabarmu? Apakah sehat?
Aku baru saja memotong apel siang
ini, sembari membayangkan apel itu seperti kepalamu.
*kutipan
bait-bait puisi ‘Jika Aku Sakit’ karya Aan Mansyur
0 Comments:
Post a Comment