Rein,
apa yang terlintas di kepalamu perihal lelaki yang berdiri di bawah hujan?
Mungkin pernah seorang perempuan
bangun di sebelah tempat tidurmu, lalu menarikmu ke depan kaca jendela di
sebuah pagi yang mendung untuk menunjukkan seorang lelaki yang berdiri di
hadapan sebuah rumah. Kira-kira seperti ini lelaki yang kamu sarangkan pandangan
padanya; mengenakan pakaian sewarna malam tanpa payung. Lalu, terdengar guruh
bersahut-sahutan dari ujung langit setelah kilat petir menjilatinya. Seluruhnya
mengabarkan satu hal; awan yang dihamili lautan, kini siap melahirkan hujan.
Menderas. Dan si lelaki masih berdiri di sana.
“Rein, ini hujan, dan kalender menunjukkan
sedang bulan Juni.”
Kamu mungkin melempar tatap paling
bingung pada perempuanmu itu. Rein, lelaki itu punya mata yang mampu
menampilkan ada seseorang yang ia tunggu dan lebih kuat dibanding langit yang
penuh teka-teki di atasnya. Bisa dipastikan, ia tengah berusaha menyatakan
cinta – lewat cara meminang ketabahan dan mengusir jejak keraguan dengan begitu
sempurna. Kamu bisa melihatnya mulai kuyup didera hujan. Andai kamu mendekatinya,
kamu bisa merasakan bahwa hujan baginya adalah pesan cinta dari langit untuk
Bumi kekasihnya.
“Rein, ada rindu yang lebih gigil
dan kenang yang begitu basah, lebih dari sekadar senandung lebat hujan.”
Aku tahu, kamu muak – seperti salah
seorang penyair (Aan Mansyur) pernah bilang; ‘…tidak mau kudengar musim hujan kausebut puisi seperti remaja patah
hati’. Kamu berusaha melayangkan pikiran ke lembar-lembar kerjamu – langit
yang tengah mengandung itu bukan menjadi perkara bagimu. Tapi perempuan yang
kamu temui semalam di bar itu menahan lenganmu, melirikmu dengan menggoda; Rein, puisi adalah pasangan bercinta yang
kasar – kadang seperti perkelahian yang menggairahkan. Kamu terkejut, lantas dengan sedikit percik
bara di tengah beku hujan, kamu ucapkan padanya mengapa perempuan itu tak
lantas turun dan menghangatkan lelaki itu dengan dekap tubuhnya. Perempuan itu
tertawa kecil lalu mendelik padamu;
“Lelaki itu sekadar berdiri di bawah hujan. Tapi kamu, Rein, ada hujan di
matamu – yang buatku ingin berdiri selamanya di sana, menunggumu datang
membawakan seikat payung untuk kita berdua. Dan membangun rumah dan keluarga di
matamu, bulan Juni.”
Teruntuk
seseorang yang meminang hujan dalam namanya, Rein Mahatma. Suatu waktu beliau
pernah bilang agar aku membaca puisi sekali lagi di ruang kerjanya, tapi sampai
sekarang belum sempat kupenuhi janji itu. Dan lewat semat rindu pada hari-hari,
aku menulis ini dengan mendung di mataku untuknya. Terkadang kata-kata semacam
percik-percik darah, atau mungkin juga sisa hujan kemarin malam. Maaf karena aku sering bodoh dan menyusahkan.
Bagus bgt .... 😥😥
ReplyDeleteBerulang kali baca tetap haru
terima kasih sudha membaca dan menyukainya :D huehehehehehe *sambil sodorin tisu
Delete