“Ma, masih ingat buku dongeng
pertamaku? Berkaver merah yang isinya cerita tentang beruang dan
teman-temannya? Masih ada? Kalau iya, aku mau lihat,” rengekku malam itu. Mama
tidak menjawab. Beliau menggeser sebuah kursi plastik, naik ke atasnya untuk
menjangkau sesuatu dari atas lemari tempat debu menebal bersama sarang
laba-laba. Dan, dari balik tumpukan dokumen-dokumen tua, ada sebuah buku
berkaver merah yang ditarik keluar oleh Mama. Sisi-sisi buku itu sudah sedikit
menguning, tapi tidak terlalu kusam. Walau ada beberapa tambalan dengan selotip
di lembar-lembar halamannya, buku tersebut bisa dikategorikan cukup awet. Aku
terkesiap, hampir memekik; itu buku dongeng pertamaku – yang Mama bacakan
padaku sebelum tidur, ketika aku belum mengenal apa itu membaca.
“Kamu paling suka minta Mama bacain
cerita, sampai-sampai tiap harinya Mama harus mengarang cerita baru dengan
tokoh beruang yang sama dari buku dongeng itu. Ingat?” Aku mengangguk sembari
membolak-balik halaman si buku dongeng – kamu seperti masuk ke masa lain.
Membuka buku dongeng masa kanak-kanakmu seperti menaiki mesin waktu untuk
kembali ke masa lalu. Tepat ke penggal masa saat malam sudah memasuki pukul
delapan, dan kamu menganggap itu sudah terlalu larut, lalu kamu harus segera
tidur. Ada banyak ritual kecil sebelum nina-bobo dinyanyikan; minum susu
cokelat hangat atau dengan tambahan beberapa es batu, mencuci kaki sebelum naik
kasur, memeluk boneka kesayangan dan mengucapkan selamat malam pada mereka, dan
yang terakhir, meminta Ibu membacakan dongeng sampai kamu lelap, dan kecupan di
dahimu sebagai penutupnya. Atau terkadang, kamu akan dipaksa menggosok gigi,
dan jika tidak kamu lakukan – akan ada cerita-cerita tentang monster gigi, peri
gigi dan keajaiban di bawah bantal, serta pasukan kuman yang membuat lubang di
sana. Hal-hal tak masuk akal, tapi berhasil menyihir kamu untuk gosok gigi
bersama Ayah dan menukar canda seperti orang paling pintar sedunia – walau akhirnya,
kamu tetap saja bangun di pertengahan malam, tiba-tiba lapar dan
mengendap-endap membuka pintu kulkas untuk memakan camilan yang saat ada Ibu,
kamu tidak diizinkan melahapnya. Itu bagai misi rahasia yang seru; ketika
ketahuan, kamu memakai jurus paling ampuh untuk menghindar; sembunyi di kolong
meja. Aku tertawa, karena aku pernah melakukannya. Kamu juga iya, kita pernah
melaluinya – masa kanak-kanak ketika kita berdua melihat hidup sebagai dongeng
yang berakhir bahagia.
“Dongeng beruang itu, kamu masih
ingat? Tentang boneka beruang yang hidup saat nenek yang membuat mereka sedang
lelah dan tertidur lelap. Si boneka beruang pun usil membuat gambar agar ia
punya teman bermain,” ujar Mama tiba-tiba. Aku yang tiba-tiba mengusap sudut
mata kananku, akhirnya menyadari ada kepingan yang kurindukan. Aku mengangguk;
nyatanya ada satu hal yang masih kubawa dari masa keciku hingga sekarang; aku
kerap percaya jika boneka bisa hidup dan bercakap-cakap saat pemiliknya tak
ada. Kamu tahu mengapa? Ingin kuceritakan? Jadi seperti ini, pada suatu hari …
0 Comments:
Post a Comment