Baiklah, lupakan aku yang kerap
datang berkunjung ke ruangan lelaki itu dengan larik-larik puisi yang sudah dianggit
rapi untuk makan siangnya. Karena pada kesempatan yang sudah kutunggu ini, ia
akan melihat bagaimana aku telanjang tanpa kata-kata yang biasa kukenakan
sebagai pakaianku sehari-hari. Aku rasa itu akan lebih menggoda – karena berhasil
membuat penasaran menari-nari di tubuhnya yang sering kali berusaha menebar
pesona ke banyak pasang mata selain aku. Untuk itu, cerita ini berangkat.
Tentangnya.
Suatu waktu – ia yang tahu jika
perempuan paling mudah takhluk melalui telinga – berkata padaku, aku menyayangi kamu. Jangan bayangkan
sebuah makan malam melankolis dengan sebatang lilin aromaterapi atau minuman
berwarna dengan cincin kejutan di dalamnya. Kalimat itu sederhana meluncur pada
sebuah malam sederhana, pada pertemuan yang tidak nyata pula. Aku sayang kamu. Lelaki berpakaian malam
itu mengulangnya tepat di hadapanku. Aku menggosok-gosokkan kedua telapak
tanganku dengan tidak sabar sembari menimpali, sudah berapa telinga perempuan yang mendengar kalimat itu dari bibirmu?
Lalu, hujan. Cukup deras. Ia juga
tidak menyerah.
“Aku melihat hujan yang indah di
matamu,” sahutnya – lengkap dengan tatap matanya yang teduh dan begitu ampuh;
sayangnya tidak di mataku. Aku melempar senyum paling sempurna yang bisa
kumiliki untuknya. Tentu saja, dulunya aku adalah pemeran unggul lakon-lakon di
teater dalam urusan senyum-tersenyum.
Sialan,
umpatku dalam hati. Kau pikir sudah menjelma Sapardi? Mimpimu.
“Cintamu tidak setabah Hujan Bulan
Juni.”
Lalu, ada guntur kejut di matanya.
Aku berdiri dari bangku tepat saat ia menyarangkan keheranan-tanpa-dosa
wajahnya di hadapanku. Tahukah ia, selalu ada alasan mengapa perempuan suka
memakai sepatu berselop tinggi (baca:
high-heels), selain karena agar terlihat tinggi berkaki jenjang, lebih
seksi menggoda, mampu menantang, dan lain-lainnya, itu karena tajam selopnya
yang mampu menusuk lelaki bertelinga kelinci atau yang hobi bermain yoyo. Dan,
ia yang bermain yoyo – aku jadi pionnya, lalu rasa yang aku usahakan sejati itu
jadi mainannya. Menyenangkan sekali; kamu hanya perlu menarik sedikit diriku
agar jatuh dalam teduh peluk matamu, lalu mengulurnya cukup panjang agar ada
jeda yang membuatku terus merangkak menggapaimu. Andai ia tahu, si pion kini
tahu ke mana seharusnya ia menghamba. Dua hari berair mata cukup jelas untuk
bercermin pada apa yang nyata dan tidak; yang hanya sekedar tumpukan janji,
ucap gulali, dan buai dongeng.
“Hei, katanya aku mencintaimu dan
kamu menyayangiku. Kalau begitu, ingat keinginan kita berdua untuk mengubah
kota jadi abu? Ayo habiskan tabungan rencana pernikahan kita dengan membeli
bensin. Kita akan berciuman sembari melihat api bekerja*.”
Api
bekerja. Aku takut
ia adalah kamu – Kamu; yang diam-diam mengucap selamat tinggal lewat
langkah-langkah ciut di belakangku, lantas ke mana segala kalimat yang dulu
kamu ucapkan bagai pujangga pada angkatan Pujangga Baru dan Balai Pustaka? Sinting
memang. Kamu mewujudkan kalimat; kamu
tidak mengatakan selamat tinggal pada orang yang kamu sayangi, kamu cukup
berjalan pergi. Selamat jalan, kalau begitu. Tepuk tangan sayonara untukmu.
Kamu dengan permainanmu, aku dengan puisiku. Semoga kita bertemu di setubuh
malam yang paling nikmat. Suatu hari.
Kemarin-kemarin lalu, ia bilang selamat tinggal padaku. Aku tertawa dan menarik lengannya dengan penuh manja, sembari bilang selamat tinggal? Itu untuk dua orang yang memiliki hubungan lantas pamit dengan ucapan itu. Dan, untuk kita, sejak kapan aku memanggilmu 'sayang'? Kamu cukup bye-bye dengan sendiri.
*gubahan
dari puisi Aan Manysur berjudul ‘Melihat Api Bekerja’
*judul
tulisan ini terinspirasi dari kawanku yang mengomel tentang lelaki yang
menggantungkan segenap harapan palsu di langit-langit rumahnya
*tulisan ini adalah bagian dari episode 'Melawan Naga', yang mereka bilang lebih takut ditampar olehku dengan kata-kata daripada tangan kecilku, hem, baiklah. Apakah aku semengerikan itu?
0 Comments:
Post a Comment