Monday, 20 July 2015

Bye-bye dalam Sendiri


Baiklah, lupakan aku yang kerap datang berkunjung ke ruangan lelaki itu dengan larik-larik puisi yang sudah dianggit rapi untuk makan siangnya. Karena pada kesempatan yang sudah kutunggu ini, ia akan melihat bagaimana aku telanjang tanpa kata-kata yang biasa kukenakan sebagai pakaianku sehari-hari. Aku rasa itu akan lebih menggoda – karena berhasil membuat penasaran menari-nari di tubuhnya yang sering kali berusaha menebar pesona ke banyak pasang mata selain aku. Untuk itu, cerita ini berangkat. Tentangnya.
Suatu waktu – ia yang tahu jika perempuan paling mudah takhluk melalui telinga – berkata padaku, aku menyayangi kamu. Jangan bayangkan sebuah makan malam melankolis dengan sebatang lilin aromaterapi atau minuman berwarna dengan cincin kejutan di dalamnya. Kalimat itu sederhana meluncur pada sebuah malam sederhana, pada pertemuan yang tidak nyata pula. Aku sayang kamu. Lelaki berpakaian malam itu mengulangnya tepat di hadapanku. Aku menggosok-gosokkan kedua telapak tanganku dengan tidak sabar sembari menimpali, sudah berapa telinga perempuan yang mendengar kalimat itu dari bibirmu?
Lalu, hujan. Cukup deras. Ia juga tidak menyerah.
“Aku melihat hujan yang indah di matamu,” sahutnya – lengkap dengan tatap matanya yang teduh dan begitu ampuh; sayangnya tidak di mataku. Aku melempar senyum paling sempurna yang bisa kumiliki untuknya. Tentu saja, dulunya aku adalah pemeran unggul lakon-lakon di teater dalam urusan senyum-tersenyum.
Sialan, umpatku dalam hati. Kau pikir sudah menjelma Sapardi? Mimpimu.
“Cintamu tidak setabah Hujan Bulan Juni.”
Lalu, ada guntur kejut di matanya. Aku berdiri dari bangku tepat saat ia menyarangkan keheranan-tanpa-dosa wajahnya di hadapanku. Tahukah ia, selalu ada alasan mengapa perempuan suka memakai sepatu berselop tinggi (baca: high-heels), selain karena agar terlihat tinggi berkaki jenjang, lebih seksi menggoda, mampu menantang, dan lain-lainnya, itu karena tajam selopnya yang mampu menusuk lelaki bertelinga kelinci atau yang hobi bermain yoyo. Dan, ia yang bermain yoyo – aku jadi pionnya, lalu rasa yang aku usahakan sejati itu jadi mainannya. Menyenangkan sekali; kamu hanya perlu menarik sedikit diriku agar jatuh dalam teduh peluk matamu, lalu mengulurnya cukup panjang agar ada jeda yang membuatku terus merangkak menggapaimu. Andai ia tahu, si pion kini tahu ke mana seharusnya ia menghamba. Dua hari berair mata cukup jelas untuk bercermin pada apa yang nyata dan tidak; yang hanya sekedar tumpukan janji, ucap gulali, dan buai dongeng.
“Hei, katanya aku mencintaimu dan kamu menyayangiku. Kalau begitu, ingat keinginan kita berdua untuk mengubah kota jadi abu? Ayo habiskan tabungan rencana pernikahan kita dengan membeli bensin. Kita akan berciuman sembari melihat api bekerja*.”
Api bekerja. Aku takut ia adalah kamu – Kamu; yang diam-diam mengucap selamat tinggal lewat langkah-langkah ciut di belakangku, lantas ke mana segala kalimat yang dulu kamu ucapkan bagai pujangga pada angkatan Pujangga Baru dan Balai Pustaka? Sinting memang. Kamu mewujudkan kalimat; kamu tidak mengatakan selamat tinggal pada orang yang kamu sayangi, kamu cukup berjalan pergi. Selamat jalan, kalau begitu. Tepuk tangan sayonara untukmu. Kamu dengan permainanmu, aku dengan puisiku. Semoga kita bertemu di setubuh malam yang paling nikmat. Suatu hari. 

Kemarin-kemarin lalu, ia bilang selamat tinggal padaku. Aku tertawa dan menarik lengannya dengan penuh manja, sembari bilang selamat tinggal? Itu untuk dua orang yang memiliki hubungan lantas pamit dengan ucapan itu. Dan, untuk kita, sejak kapan aku memanggilmu 'sayang'? Kamu cukup bye-bye dengan sendiri.

*gubahan dari puisi Aan Manysur berjudul ‘Melihat Api Bekerja’
*judul tulisan ini terinspirasi dari kawanku yang mengomel tentang lelaki yang menggantungkan segenap harapan palsu di langit-langit rumahnya
*tulisan ini adalah bagian dari episode 'Melawan Naga', yang mereka bilang lebih takut ditampar olehku dengan kata-kata daripada tangan kecilku, hem, baiklah. Apakah aku semengerikan itu?
This entry was posted in

0 Comments:

Post a Comment