Saat
kubilang sepasang perempuan; itu berarti sahabat jauhku dan aku – kita kopi
darat berkali-kali, dan itu kerap terjadi menjelang malam melarut. Dan,
tempatnya bukan di klub dengan bergelas minuman berwarna ditemani lelaki tampan
alpha male yang ditemui di bar, kafe
bersama tampilan band indie, pesta di lobi hotel atau kolam renang, melainkan
sederhana; di ruang kamar berpendingin, dan menggoreng telur mata sapi, atau
sesekali kita memasak indomie. Semudah itu untuk tersenyum di tengah udara
malam nan dingin yang melayap ke mana-mana dan seindah itu untuk bahagia di
antara kantuk yang sesekali menyerang. Kita saling mengambil duduk, dan
cerita-cerita tentang bagaimana cinta memainkan luka pun berkelindan. Meningkahi
hati yang diam-diam mencoba memahami bagaimana ia masih membuat diri bertahan
pada orang yang hari-harinya menjadi alasan kita menuai luka.
“…aku
rasa kita berdua pernah mendengar salah satu lagu country* yang bilang, lebih
baik ia terluka daripada tidak merasakan apa-apa sama sekali. Itu benar. Lelaki
itu seperti datang ke hadapanku, berdiri dengan tegasnya berkata aku sudah tak
ada apa-apanya lagi di matanya. Dan pergi menjauh dariku adalah hal pertama
yang akan dilakukannya. Lalu, aku masih di sini dengan segala kebodohanku
bilang padamu; aku bahkan tetap menyimpan segudang cara mencintainya, yang
berhasil membuatku tak bisa beranjak darinya hingga saat ini.”
Aku
memainkan ujung rambutku – tak ada yang bisa kulakukan kecuali memakan habis
ceritanya, dan akhirnya menangisi luka yang kita bebani bersama. Ini hanya
terlalu nyeri, mengetahui seseorang yang mengucapkan selamat tinggal padamu,
adalah orang yang dulunya pernah bilang kamu satu-satunya di hatinya. Hati tak
pernah salah, begitu pula Tuhan. Mungkin pena takdir yang bergeser tiba-tiba,
membuat gempa kecil mendadak – yang menyisakan retak, pertanda pisah adalah
cara lain menemukan sejatinya cinta.
“…sampai
akhirnya aku menemukan satu hal, mungkin alasan mengapa kita tidak bisa
meninggalkan orang yang membuat kita terluka adalah karena ia juga orang yang
sama yang membuatmu bahagia.” Lalu, kisahnya usai. Namun aku tahu, tidak
berhenti. Kita saling memahami diam berarti suara yang berkisah dengan bahasa
lain. Ketika ia menyinggung barang sejenak tentang lirik lagu, aku jadi ingat
salah satu pelagu* yang bagiku ia lebih seperti pemuisi yang bermusik – karena
lirik-liriknya tak hanya bercerita, tapi juga memiliki nafas tubuh puisi – yang
mengatakan di salah satu lagunya, jika tak apa seseorang yang dicintainya
melukainya, yang terpenting orang itu menunggunya pulang ke rumah terlebih
dulu. Aku sampai pada satu pemahaman, jika kita tak hanya lebih memilih luka
dibanding meninggalkan cinta. Tapi, bukankah luka-luka itu membuatmu hidup?
Mereka juga yang pada akhir cerita, menuntunmu pada putri sepatu kaca dan
pangeran berkuda.
“…tak
tahu cerita yang mana, hanya saja aku tengah menunggu. Terkadang itu menyiksa,
tapi aku menikmatinya. Itu caramu berjuang, membuatmu memahami apa itu setia.
Kamu akan belajar bagaimana memperlakukan rindu dan cinta lebih bijaksana.”
Sahabat
jauhku – yang padanya aku mengagumi manik mata hitamnya yang mengilat ketika
dijepret menjadi lembar foto, dan beningnya membuatku ingin bercermin di sana
selamanya – tersenyum padaku, ia beringsut ke dekatku dan berbisik; menunggu seseorang itu pekerjaan hati. Kamu
bisa tahu apakah orang itu layak ditunggu atau diperjuangkan, ketika kamu
mengetahui ia menjadi salah satu alasanmu tersenyum dan bahagia.
Dan
malam itu, kita menjelmakan rangkulan jadi pelukan erat yang baru usai saat
subuh bertandang. Kita memulai janji jika luka tidak membuatmu semakin runtuh,
itu mengingatkan hatimu hidup. Satu lagi, yang terpenting, luka yang paling
dalam adalah yang menunjukkan bahwa cintamu mendalam. Karena itu, hatimu
pernah dan selamanya jadi yang istimewa. Kita pun saling menukar cinta.
Kepada Alberta Angela – sahabat
jauh yang kupanggil Alaya; perempuan yang berbagi hal-hal manis. Itu obrolan
singkat yang meninggalkan makna selamanya. Aku selalu menanti pertemuan kita
dan mengekalkannya jadi kenang hingga pukul satu pagi.
*dua lagu yang dibicarakan di sini adalah lirik lagu Ed Sheeran dan Lady Antebellum.
*dua lagu yang dibicarakan di sini adalah lirik lagu Ed Sheeran dan Lady Antebellum.
0 Comments:
Post a Comment