“…wait for me come home.”
– Photograph, Ed Sheeran
Di
balik pintu kayu dengan cat hijau yang sudah mengelupas di sisi-sisinya, aku
bersembunyi sembari menyarangkan mataku pada seorang pemuda di seberang
kompleks perumahan. Pemuda itu tengah membungkukkan tubuhnya di hadapan Ibunya,
sembari meraih tangan beliau untuk diciumi punggung tangannya. Arkian, mereka
saling menukar peluk dan aku bisa melihat si pemuda berbisik sesuatu, sebelum
langkah beratnya bersama tas punggung besar membawanya pergi tanpa berbalik
lagi. Itu bisik janji, jika ia akan pulang. Aku dikurung menung cukup lama, sejauh
dan selama apapun perjalananmu, pada akhirnya kamu akan pulang. Karena jejak
dan tapakmu sejatinya mengelana dalam putaran yang berujung rumah. Terlebih
ketika kamu tahu, ada yang sabarnya menunggumu untuk menghadiahimu peluk di
selasar rumah.
Hari
yang sama; aku ingin mengajakmu berbincang tentang seiris cerita dalam sebuah
film*, tentang seorang Ayah tunawisma, seorang wiraniaga (yang dianggap
menganggur karena hanya menjual satu alat pemindai kepadatan tulang yang tak
laku-laku secara serabutan), ditinggal istrinya, dan harapan yang dimilikinya
hanya satu; anak laki-lakinya. Ia tak punya rumah – membuat ia harus berjuang
bersama anaknya untuk mencari tempat tinggal. Dan, pinggiran jalan bukan
pilihan yang tepat bagi tubuh kecil anaknya. Nyeri, mengetahui akhirnya si Ayah
mengunci dirinya dan anaknya di sebuah toilet umum pria, dan menjadikannya
sebagai rumah. Setelahnya, si Ayah berjuang kembali mencari suaka yang
disediakan pemerintah – terkadang ia mendapatkannya, kadang juga tidak. Tak ada
bentuk rumah hangat dengan perapian yang pasti untuk mereka mukimkan. Segalanya
terasa tidak pasti, setiap harinya mereka tak tahu kemana harus berpulang. Tapi,
yang membuatku berteman dengan air mata di layar kaca adalah cakap sederhana si
Ayah pada anaknya; “Apa kamu bahagia bersama Ayah?” Si anak tanpa banyak
berpikir, mengangguk dan menjawab iya. “Kalau begitu, baiklah. Itu sudah
cukup,” ujar si Ayah. Kamu tahu, mereka memang tidak memiliki rumah; rumah
berbata, berdesain interior di dalamnya, berisi perabotan, dan berkeramik pada
umumnya – tapi mereka membangun rumah lain; yang pondasinya dibuat lewat letup
hangat yang mengudara lewat pelukan, tatap mata yang menggelar jembatan tempat
cinta berjalan. Mereka memiliki apapun yang diperlukan untuk membangun utuhnya
sebuah rumah. Menjadikan rumah hidup, tempatmu ingin segera pulang.
Dan,
hari itu juga, aku menerima kabar ada seseorang lain yang pindah ke rumah lain.
Tempat rumahnya jauh, tidak di sini, tidak memiliki alamat pasti, tidak di
Bumi, tidak di dunia, tidak di semesta ini. Itu rumah yang tak bernama, tapi
kerangkanya, jendela dan pintunya diciptakan dengan penuh sempurna antara
seseorang itu dan Tuhan. Kamu bisa menebak seperti apa gambaran rumah itu,
indah dan istimewanya begitu maha. Bahkan kamu hanya bisa menyentuhnya lewat
daras doa paling hening. Ia berpulang.
Karenanya,
kamu tidak mengucapkan selamat tinggal bagi mereka yang berpulang ke rumah
Tuhan. Kamu mengatakan selamat jalan, sebab mereka hanya meninggalkan rumah
berdinding dan berlantai di dunia, untuk pindah ke rumah baru yang sudah
disiapkan Tuhan untuknya.
Selamat kembali ke rumah; kepada siapapun yang merindukan pulang.
Selamat kembali ke rumah; kepada siapapun yang merindukan pulang.
Untuk seseorang, yang pada matanya,
aku kerap tersesat, tapi ia membangun rumah di sana untuk disinggahi dan membantuku
menemukan jalan yang benar menuju pulang. Mungkin suatu waktu nanti, setelah
letih menapaki jalan yang panjang dan waktu juang yang memilin-milin, kita akan
kembali ke rumah, duduk di berandanya dan bercerita tentang serumah kenangan
yang mengental bersama bercangkir-cangkir earl grey, atau semangkuk puding.
*film
The Pursuit of Happiness; sangat direkomendasikan!
0 Comments:
Post a Comment