Tuesday, 9 June 2015

Rumah yang Menunggumu Pulang


“…wait for me come home.” – Photograph, Ed Sheeran
Di balik pintu kayu dengan cat hijau yang sudah mengelupas di sisi-sisinya, aku bersembunyi sembari menyarangkan mataku pada seorang pemuda di seberang kompleks perumahan. Pemuda itu tengah membungkukkan tubuhnya di hadapan Ibunya, sembari meraih tangan beliau untuk diciumi punggung tangannya. Arkian, mereka saling menukar peluk dan aku bisa melihat si pemuda berbisik sesuatu, sebelum langkah beratnya bersama tas punggung besar membawanya pergi tanpa berbalik lagi. Itu bisik janji, jika ia akan pulang. Aku dikurung menung cukup lama, sejauh dan selama apapun perjalananmu, pada akhirnya kamu akan pulang. Karena jejak dan tapakmu sejatinya mengelana dalam putaran yang berujung rumah. Terlebih ketika kamu tahu, ada yang sabarnya menunggumu untuk menghadiahimu peluk di selasar rumah.
Hari yang sama; aku ingin mengajakmu berbincang tentang seiris cerita dalam sebuah film*, tentang seorang Ayah tunawisma, seorang wiraniaga (yang dianggap menganggur karena hanya menjual satu alat pemindai kepadatan tulang yang tak laku-laku secara serabutan), ditinggal istrinya, dan harapan yang dimilikinya hanya satu; anak laki-lakinya. Ia tak punya rumah – membuat ia harus berjuang bersama anaknya untuk mencari tempat tinggal. Dan, pinggiran jalan bukan pilihan yang tepat bagi tubuh kecil anaknya. Nyeri, mengetahui akhirnya si Ayah mengunci dirinya dan anaknya di sebuah toilet umum pria, dan menjadikannya sebagai rumah. Setelahnya, si Ayah berjuang kembali mencari suaka yang disediakan pemerintah – terkadang ia mendapatkannya, kadang juga tidak. Tak ada bentuk rumah hangat dengan perapian yang pasti untuk mereka mukimkan. Segalanya terasa tidak pasti, setiap harinya mereka tak tahu kemana harus berpulang. Tapi, yang membuatku berteman dengan air mata di layar kaca adalah cakap sederhana si Ayah pada anaknya; “Apa kamu bahagia bersama Ayah?” Si anak tanpa banyak berpikir, mengangguk dan menjawab iya. “Kalau begitu, baiklah. Itu sudah cukup,” ujar si Ayah. Kamu tahu, mereka memang tidak memiliki rumah; rumah berbata, berdesain interior di dalamnya, berisi perabotan, dan berkeramik pada umumnya – tapi mereka membangun rumah lain; yang pondasinya dibuat lewat letup hangat yang mengudara lewat pelukan, tatap mata yang menggelar jembatan tempat cinta berjalan. Mereka memiliki apapun yang diperlukan untuk membangun utuhnya sebuah rumah. Menjadikan rumah hidup, tempatmu ingin segera pulang.
Dan, hari itu juga, aku menerima kabar ada seseorang lain yang pindah ke rumah lain. Tempat rumahnya jauh, tidak di sini, tidak memiliki alamat pasti, tidak di Bumi, tidak di dunia, tidak di semesta ini. Itu rumah yang tak bernama, tapi kerangkanya, jendela dan pintunya diciptakan dengan penuh sempurna antara seseorang itu dan Tuhan. Kamu bisa menebak seperti apa gambaran rumah itu, indah dan istimewanya begitu maha. Bahkan kamu hanya bisa menyentuhnya lewat daras doa paling hening. Ia berpulang.
Karenanya, kamu tidak mengucapkan selamat tinggal bagi mereka yang berpulang ke rumah Tuhan. Kamu mengatakan selamat jalan, sebab mereka hanya meninggalkan rumah berdinding dan berlantai di dunia, untuk pindah ke rumah baru yang sudah disiapkan Tuhan untuknya. 
Selamat kembali ke rumah; kepada siapapun yang merindukan pulang.  
Untuk seseorang, yang pada matanya, aku kerap tersesat, tapi ia membangun rumah di sana untuk disinggahi dan membantuku menemukan jalan yang benar menuju pulang. Mungkin suatu waktu nanti, setelah letih menapaki jalan yang panjang dan waktu juang yang memilin-milin, kita akan kembali ke rumah, duduk di berandanya dan bercerita tentang serumah kenangan yang mengental bersama bercangkir-cangkir earl grey, atau semangkuk puding. 
*film The Pursuit of Happiness; sangat direkomendasikan!
This entry was posted in

0 Comments:

Post a Comment