Aku mengintip dari balik pintu yang
sisi-sisi bawahnya sudah reyot. Terdengar suara decit tiap kali kubuka pelan
pintu itu, mengintip seorang perempuan yang tengah terkurung di dalam.
Perempuan itu meringkuk di pojok ruang – memeluk kedua kakinya sembari gemetar;
tanpa ia tahu, jika aku yang menangkapnya lewat lirik takut sudut mataku, sudah
berhasil membuatku bergetar. Hampir saja aku bersiap untuk beranjak pergi dan
menutup pintu, si perempuan itu menoleh ke arahku – lantas berlari menghambur
ke arahku, menarikku hingga tersentak ke arahnya.
“…katakan padaku, mengapa setelah
kubuang mataku dari tubuhku, masih saja aku bisa melihat kelebat bayang monster
yang kerap menghantui mimpi-mimpi burukku?”
Perempuan itu mencengkeram lenganku –
begitu kuatnya hingga bisa kurasakan kulit lenganku memutih. Tapi bukan itu
yang kukhawatirkan, melainkanmataku yang sudah bersarang pada bolong matanya.
Itu bagai gua yang bisa kamu masuki dan tak kamu temukan ujung, tujuannya hanya
satu; agar kamu tersesat dan mati di sana pada kedalaman dukanya. Hitam di
kedua matanya seakan menelan siapa saja dalam kabut kesendirian dan menyelami
tangis yang tertahan. Sebelum aku mati di antara dua matanya, cepat-cepat aku
menyentak cengkeraman tangannya dan melarikan diri.
Tiap langkahku terasa berat –
nyatanya bayangnya selalu mengikuti di belakangku. Bagaimana mungkin
bayangannya menyatu denganku? Aku terus menengok ke belakang hingga tersungkur
sebelum mencapai pekarangan rumah. Lalu, terdengar lolongan anjing di ujung
kompleks perumahan, serta derik serangga malam yang bersahut-sahutan di antara
semak-semak. Aku mencoba bangkit sebelum kusadari kepalaku membentur purnama
yang jatuh tepat di atas kepalaku. Saat kutengadah perlahan, baru kudapati
sedari tadi bulan penuh bersembunyi di balik barisan awan hitam – menyaksikan
peristiwa yang menarik perhatiannya; seorang perempuan yang berusaha melarikan
diri dari dirinya sendiri. Ketika aku bangkit, purnama sudah memerah dan lesap
pada salah satu awan paling hitam. Merahnya melukis darah yang menjejak bagai
putus asa di sekujur tubuh perempuan yang terterungku tadi, dan hitamnya
sepekat lubang mata perempuan tadi. Aku
lebih dari sekadar dirayapi kejut, tapi disengat oleh rasa takut yang mampu
membunuh. Aku hendak lari lebih jauh, ketika lengking nyaring suara perempuan
itu kembali meretakkan sepi malam.
“…uraikan padaku, bagaimana bisa aku
merasakan gaduh berperang dalam sunyi benakku, dan hening bersemayam di antara
ramai kepalaku?”
Teriakkannya begitu pilu. Sangat
kelu. Membuatku hanya bisa mematung beku, hingga bayangannya yang menyeretku
kembali ke ruangan itu. Saat kubuka sekali lagi pintu itu, aku terlonjak. Tak
ada siapa-siapa. Tak ada darah yang menggenangi lantai dingin. Apalagi dua bola
mata seusai dicongkel. Ataupun perempuan yang bergeliat seperti gila di sini.
Hanya satu yang kutemukan; sebuah cermin besar yang berdiri – cermin yang
menampakkan bayangan seorang perempuan yang baru saja kulihat tadi di ruang
ini; aku.
0 Comments:
Post a Comment