Seseorang, menemui perempuan yang duduk di sebuah ruang
baca. Seseorang itu membawa setumpuk buku yang berhasil menarik perhatiannya, seakan
mengundangnya untuk berkata ‘darling, you
got my full attention’. Lalu, ia diam di ujung meja dengan gunungan buku
yang berbau apak itu; tidak mengherankan, karena beberapa lembar halaman sudah
menguning dijejali waktu dan debu, yang jadi pertanyaannya adalah mengapa ia
datang dengan buku-buku itu, dan berdiri menatap mereka seakan tengah
bercengrama dalam bisu. Saat perempuan itu hendak berdiri dan mendekatinya, akhirnya
ia mengarahkan pandang padanya – membuatnya terhenyak karena tajam mata lelaki itu
hampir membunuhnya, tapi siapa saja bisa melihat kemantapan di sana. Lantas,
sejenak saja lelaki itu bilang mencintainya – apa adanya. Perempuan itu
terhenyak. Beberapa judul buku; Love in the
Time of Cholera, Lovely Bones dan beberapa buku lain yang menumpuk dan dikenal
sebagai barisan buku yang termasuk buku paling sedih sepanjang masa berkelebat
di kepala si perempuan. Ada yang salah.
Sepasang mata gelap lelaki itu masih
di sana – menatap sembari menunggu jawaban yang tidak tahu harus pergi ke mana si
perempuan mencarinya, karena itu seharusnya ada pada gadis lain. Matanya masih
sama saat ia berdiri di bawah hujan beberapa minggu lalu. Kamu tahu; siapapun
pastinya akan ke luar dari ruang kamar, membawa mantel terhangat yang dimiliki
di lemari, lalu berlari membungkus tubuh lelaki itu dari dingin hujan, membalasnya
dengan bilang menerimanya. Seakan memaksa si perempuan untuk bilang ‘you’ve got my heart, lets play in love’. Terakhir,
lelaki yang sudah kuyup di sekujur tubuhnya, berbisik dalam gigil dan getar
yang amat kentara dan mengiris telinga yang mendengarnya – terutama jika kamu
tahu itu untukmu; aku di sini sebab cinta. Si perempuan menerungku diri dalam
mendung. Lagi-lagi, ada yang salah.
Pikiran si perempuan mulai liar
berlari ke mana-mana tentang lelaki itu; mulai dari ia yang rajin merekam
lagu-lagu yang ia nyanyikan, menyulap diri jadi pujangga yang mampu melahirkan
berbait-bait puisi yang membuatmu merasa paling dicintai di semesta ini, dan
mengirimi tangkai-tangkai mawar. Si perempuan terdiam di sudut kedai teh, dan
menerima itu semua dengan rasa janggal – memang, ada yang salah.
Lelaki itu memejamkan mata dengan
penuh putus asa – sama seperti saat ia berdiri disetubuhi hujan dengan
semena-mena, tapi ada cinta yang menari di matanya. Lalu perempuan itu
tersenyum, menyentuh punggung tangan lelaki itu, meraihnya dan memeluknya
sembari berbisik lirih; “…kamu tidak mencintai seseorang apa adanya, karena itu
membuatnya tidak berkembang. Kamu menerimanya dengan seutuhnya dirinya,
menuntutnya dengan lembut untuk terus jadi lebih baik esok harinya. Kamu tidak
berdiri di bawah hujan karena cinta. Sejatinya yang bertahan bukanlah cinta,
melainkan kasih sayang yang dijaga dengan komitmen. Cinta hanya kemasan luarnya
saja. Dan, kiriman-kirimanmu yang manis adalah penghiasnya.”
Sebelum si lelaki menundukkan
kepalanya dan bergerak mundur karena usai sudah, perempuan itu menahan
lengannya, lantas berujar kembali. Tak kalah lirih. “…tapi – hidup selalu punya
tetapi, bukankah itu yang dikatakan Aan Mansyur, salah satu penyair favoritmu –
ke semuanya adalah utuhnya kamu. Dan, aku tahu, rasa yang kuat, yang mampu
mengubah seseorang, menyulap mereka menjadi pujangga yang tiba-tiba misalnya.
Itu menunjukkan bagaimana juang menjadi terasa begitu manis. Aku mencintaimu.
Kembali.”
Aku tengah menyesap teh hangatku
ketika mendengar kisah itu, dari seorang perempuan yang menangis menemuiku di
sebuah malam dan mengenang kekasih lelakinya yang sudah berpulang.
"Ia berkaca-mata dengan bingkai bulat berwarna hitam. Tidak populer, dan tenggelam di antara orang-orang yang mencipta keramaian dengan suara dan tawa keras. Ia kerap bersembunyi dari balik tundukkan kepalanya. Ia memang bodoh, konyol, dan ceroboh. Tapi, ia punya cinta kecil yang menyala terus-menerus, seperti lilin memenuhi ruang gelap dan memberi seangan cahaya yang pasti, dan membiarkan dirinya leleh untuk itu," ujarnya sembari tertawa, menghibur diri sendiri - yang berusaha membohongi rindu.
Dan, hujan
kemarin malam di langit kotanya, mengantarnya sekali lagi meraba-raba kenangan.
0 Comments:
Post a Comment