Thursday, 11 June 2015

Nostalgia Mungil untuk Kita yang Kecil


Mengulang dan memutar kembali apa yang awal; yang pertama, ketika perjalananmu sudah sejauh itu; kamu mengukurnya lewat tengok ke belakang sebentar dan hanya menemukan rumah yang mengecil atau benam senja, adalah kelana kalbu dan kembara sukma yang paling ditunggu. Karena, itu memberi tahu bagaimana hari ini terbentuk dengan istimewanya. Lusa malam kemarin, aku mengajak seseorang bertemu tepat ketika ia sedang menaiki loteng rumah kostnya hanya untuk lebih dekat dengan langit dan bisa leluasa menunjuk bintang-bintang – yang nyatanya absen hari itu. Ia bilang, rindu pada waktu kanak-kanaknya, yang terasa sudah begitu purba, tapi bisa ia pastikan masih purnama. Dan, kelebat bayang paling sederhana yang sengaja aku undang dari masa lalu, pun berebut hadir di hadapanku; bagai kaset rusak yang terus memutar tayangan dan lagu yang sama. Tapi; aku menikmatinya.  
“Aku melakukannya juga! Patungan dengan beberapa kawan sepermainanku untuk sama-sama pergi ke warung di seberang jalan, demi membeli satu paket karet dan menyulapnya jadi tali karet – kamu tahu, kita bermain lompat karet hingga kumandang adzan terdengar. Dan, tiap sepulang sekolah, aku akan berlatih di rumah agar berhasil melompati tahap merdeka yang tinggi itu.”
“…lalu, saat kamu lelah dan lapar, kamu akan pergi sekali lagi ke warung di pinggir kompleks perumahan, membeli jajanan; permen kaki, makanan ringan bermerk Zaky yang memiliki hadiah uang seribu, permen karet bola berbagai warna, kembang gula di gerobak sepeda, dan lain-lainnya,” tambahnya panjang. Aku tergelak. Kita menyimpan kenang masa kecil yang teramat sederhana. Mengumpulkan kertas binder berbagai cetakan warna dan merk-merk tertentu untuk dikoleksi, dan saling ditukarkan. Mengoleksi bros-bros kecil dan sedang yang menampakkan sederetan istilah gaul di zamannya. Dan, saling memamerkan siapa yang memiliki perlengkapan krayon yang warnanya paling beragam.
Berapa kali lagi harus kubilang aku menangis karenanya. Kawan kecilku sekarang sudah pergi merantau ke ibukota, mengekost di sana dan sibuk dengan komputer yang menjadi fokus peminatannya. Kawan kecilku lainnya, terbang ke negeri seberang – mengambil studi yang keren di sana, menggandeng seorang kekasih yang terakhir kunjungannya ke rumahku bilang, mungkin dalam waktu yang bisa terhitung; akan siap menerima pinangan. Kawan kecilku lagi lainnya,  baru menamatkan sekolahnya dan tengah menyiapkan diri mengikuti sejumlah tes demi masa depannya. Lalu, kawan-kawan lainnya. Lainnya. Mungkin tak lagi terbersit di benak mereka soal permainan batu tujuh, bentengan, kartu tazos, sepeda keranjang dan mimpi menjadi power ranger yang pernah kita sulam bersama kembali muncul di permukaan, dan dirindukan untuk diulang.
Itu sejatinya kenangan. Ia disebut dan menjadi kenangan karena ia memiliki kemampuan untuk tidak lagi bisa diulang sama persis. Atau hanya bisa dipeluk oleh mereka yang rindu, dan terjebak di masa lalu. Tapi itu juga yang menghadirkan satu kata indah bernama nostalgia; ia adalah panorama kenangan yang nyata.
Aku dan kawanku yang akhirnya bisa rebah di atap rumah kostnya itu pun saling mengunci diri di masa masing-masing. Kita saling memahami mengapa mesin waktu menjadi paling diinginkan dan tak mungkin. Seperangkat mesin waktu tak terjadi karena menghargai ruang kenangan yang sudah siap mengajak kita mengarungi lampau. Selengkapan mesin waktu tak hadir karena ada khayal imaji penuh impi yang sudah sedia mengantar kita menjajaki hari esok. Kita pun saling mendiamkan diri – mati dengan cara masing-masing.  

menulis ini di tengah pemberitaan kasus pembunuhan Angeline. turut berduka untuknya, semoga ia bisa bermain dengan damai dan bahagia di sana; di taman surga milik Tuhan.
This entry was posted in

0 Comments:

Post a Comment