“…sedang
mengasingkan diri ke gunung, untuk mencari ihwal cara melawan naga. Menarik
sekali untuk tahu apakah kamu menemukannya atau tidak. Itu alasanku berkunjung
di malam yang membuta, aku harap kamu tidak keberatan dengan beberapa tembakau,”
ujarnya sembari mengambil duduk di lantai dingin selasar rumah. Mengeluarkan
sekotak tembakau dengan cetakan foto leher seseorang yang terkena kanker
larynx, lalu mulai menyesap salah satu di antaranya – ia memejamkan mata,
sebelum beberapa detik kemudian kepul asapnya membumbung tinggi dan ia tertawa
melirik ke arahku lewat sudut matanya yang masih saja berkesempatan menggoda.
Mengetahui
aku hanya mengenyitkan wajah karena berusaha halau dari menghidu asap yang naik
ke udara, lelaki yang lebih memilih lantai dibanding bangku plastik yang
kutawarkan itu, membuang puntung tembakaunya yang baru dihisapnya seperempat.
“Sudah
malam ke berapa kamu sulit tidur?” tanyanya sambil memutar sepasang matanya kea
rah langit malam yang polos oleh bintang.
Belum
sempat aku menyahut, ia kembali menambahkan sambil mencondongkan tubuhnya
padaku. “…biar kuganti pertanyaannya, pada malam seperti apa saja, kamu
meringkuk di balik selimut, mengirimkan emoji bahagia ke orang-orang sedangkan
kamu menangis diam-diam. Isak paling heningmu bahkan terdengar hingga ke
telingaku.”
Aku
terkesiap. Hanya seseorang yang pernah kupanggil alien, yang mengetahui aku
memiliki kebiasaan buruk di pertengahan malam – meraung-raung mempertanyakan
apakah aku akan lelap dalam tenang hari itu. Kamu tahu, terlalu banyak monster
di kepalaku dan hantu-hantu yang berseliweran dari masa lalu. Ia tampak marah,
diambilnya sekali lagi batang tembakaunya. Kali ini ia membuang kepulnya tepat
di hadapan wajahku, yang membuatku terbatuk berkali-kali.
“…dengarkan
aku, Sayang. Aku tidak menunggu orang yang membawa teka-teki dan segala
kerimbunan ragu milik mendung, tidak meruangkan waktu di antara jam sibuknya
yang sialan, serta menyatakan cinta padamu tanpa berusaha mengetuk pintu
rumahmu dan bilang; aku ke mari dengan alasan sederhana ingin melihat senyummu
dan memastikan kamu bahagia hari ini.”
Rasanya
aku ingin menghajarnya. Aku butuh benar-benar mendaki gunung, menemukan wahyu
suci untuk mengalahkan naga yang menyemburkan api di perkampungan. Dalam hal
ini, meninju mati ia yang mengembuskan asap di depanku.
“Sayang,
kamu juga perlu tahu, malam tak hanya buta, tapi juga tuli,” bisikku, tanpa
lupa untuk beraninya mengambil paksa tembakau dari jepit bibirnya, dan
membuangnya ke seberang kali. Di luar dugaan, ia tertawa. Sekali lagi, mata
jenakanya yang penuh goda itu disarangkannya padaku. Kamu lupa, aku punya
cerita purba sebelum kamu – yang mungkin salah satunya adalah pernah
mencintainya; yang gagal karena tiap melihatnya aku seperti ingin membunuhnya,
aku hanya takut itu juga terjadi padamu.
Kita
diselimuti diam yang merajai sebelum akhirnya ia meraih satu tanganku. Aku bisa
merasakan kulit tangannya yang gigil oleh sengat udara malam. Ia membuka
telapak tanganku, lalu meletakkan bungkus tembakau di atasnya. Lantas, pergi
begitu saja. Kukira aku tak butuh tembakau-tembakau itu. Aku hendak melemparnya
ketika bungkus itu terbuka dan menyembulkan secarik kertas yang sudah koyak,
namun di permukaannya bertulis-tangannya.
tapi, aku menunggumu. tak apa, aku
hanya tak ingin terlambat mengatakannya.
Aku
tidak lelap hingga pukul empat pagi. Nyatanya ada yang lebih melelahkan dibanding
bertarung dengan naga; menimbang-nimbang sekali lagi cinta yang katanya
diucapkan dengan juang, tapi memintamu tidak menunggu, dan cinta yang tidak
diucapkan penuh juang, tapi ia menunggu. Aku tak paham, yang kutahu hanya cara
melawan naga adalah tak berhenti berjuang, dan tahu pasti siapa yang menunggu
di kastil sana. Jika tidak, lebih baik mati dalam api yang disemburkan naga.
karena ada yang bilang, puisi adalah bentuk marah dengan cara yang paling ramah, aku rasa sebagaimana pun itu juga terjadi pada cerita
karena ada yang bilang, puisi adalah bentuk marah dengan cara yang paling ramah, aku rasa sebagaimana pun itu juga terjadi pada cerita
0 Comments:
Post a Comment