Teruntuk, em, bagaimana aku harus
memanggil kamu? Kamu terlalu karib untuk kusebut teman. Kamu juga cukup jauh
untuk kubisik sayang. Maka dengan sederhana, kamu hanya kupanggil Kamu.
Hai, Kamu. Sudah berapa lama sejak
pertemuan terakhir kita yang cukup manis untuk diingat, tapi tak terlampau kuat
untuk dikenang? Saat itu, aku ingat waktu-waktu tunggu akanmu yang buatku lahirkan
rindu. Rasanya begitu menyiksa, karena aku tak ingin anak rindu itu kurawat dan
akhirnya tumbuh besar. Ingin kuonggokkan saja dalam lupa paling sunyi, biar ia
lapar dan mati sendiri. Tapi, ia justru semakin berontak. Akhirnya, kubawa
padamu dalam bentuk temu. Aku rasa segalanya baik-baik saja, sebelum
janji-janji bertingkah dan menelusup hati yang sudah letih oleh waktu. Nyatanya,
rindu kecewa – sebab karenamu, ia memang tumbuh subur, tapi harus rela mati
karena ia diperangkap juang tanpamu.
Hai sekali lagi, Kamu. Hari ini aku
berjalan-jalan di sekitar tepi jalan kompleks perumahan. Sepanjang langkah kaki
yang membawaku tanpa arah, aku menemukan banyak hal. Kebanyakan adalah tentang
orang-orang yang lalu lalang dengan kedua mata menempel di layar ponsel pintar
mereka. Atau, sekelompok anak muda yang berselancar di dunia yang ditawarkan
layar laptop mereka. Tapi bukan itu yang menarik perhatianku, melainkan
seseorang yang tiba-tiba datang pada mereka lalu mengajak untuk berhenti
sejenak dan mulai mengulang alasan awal mereka berjanji dalam temu. Aku
tersenyum hambar saat mereka serempak berkata; “sibuk”. Kamu, aku begitu
menghargai tawa tanpa arti yang pernah kita sempat derai, temu tiba-tiba yang
berujung canda tak bermakna, hingga obrolan tanpa arah pasti pulangnya.
Karenanya, aku memahami; Kamu ada di antara pilihan yang mana - siapa yang
menghubungimu saat waktunya luang, dan siapa yang meluangkan waktunya untuk menghubungimu.
Kamu, waktu dan hadir adalah investasi paling mewah dari apapun yang kutahu.
Tanpa harus merantau untuk membuktikan mana yang lebih kuat, langit atau mataku*.
Dari waktu – hal yang paling dekat dan tiap hari berlomba dengan kita, aku
tahu, mana yang paling Kamu tulis di daftar pertama hari-harimu.
Hai terakhir kali, Kamu. Aku tak
meminta seluruh waktumu, menunaikan janji-janjimu, memaksa perhatianmu, atau mengajakmu bertemu. Itu
terlalu tak masuk akal dan manja-manja yang memualkan di kepalaku. Ini hanya sewujud kata-kata panjang yang berkelindan di kepalaku yang sinting, dan hanya bisa kuuraikan dalam bentuk surat; sekiranya agar aku tidak gila. Dan, ini hanya
sepotong surat yang akan tersesat sebelum sampai pada rumah yang ditujunya –
karena tak beralamat, tak bernama, dan karenanya tak akan sampai. Untuk itu,
jangan cemas, sebab tak ada yang harus ditepati, digenapi atau disepakati.
Sebab sejak awal tunggu ini adalah juang sendiri, dan rindu itu adalah yang
terpendam dalam ruang paling sunyi. Segalanya akan baik-baik saja, pasti.
Abaikan tulisan ini. Aku hanya terlalu pusing akhir-akhir ini karena fokusku
pecah di antara banyak hal; sejumlah proyek, tim yang menyebalkan, garis mati
yang menggigit, serta segunung kekhawatiran, dan Kamu masih jadi yang pertama –
itu sungguh berbahaya. Perlahan, aku pastikan semuanya lenyap dalam redam.
Selamat liburan dan jangan lupa berbahagia.
Dari perempuan yang tiba-tiba saja
teringat histori sapaan Kamu yang berlangsung hingga pukul dua pagi.
0 Comments:
Post a Comment