Pada suatu hari,
Perempuan
itu menata alat masaknya yang terbuat dari plastik dan berwarna pelangi, dengan
apik. Menunggu lelakinya pulang. Sementara itu, ia menyibukkan diri menggunting
dedaunan kering yang dijadikannya sayur, menuang beberapa tetes air ke
penggorengan alumunium dan menyulapnya jadi minyak, lalu memasak. Menyajikan
hidangan terbaiknya. Lalu, sore bersambut dan dibiarkannya senyumnya melayap ke
mana saja mengabarkan ia telah sedia dengan rentang peluknya untuk lelaki yang
ditunggunya.
Aku terbangun dari tidur siangku –
yang memanjang hingga petang menyentuh pangkuan. Dan, aku baru saja bermimpi
tentang permainan pangeran-putri yang kerap kumainkan dulu. Kamu tahu, kenangan
selalu mengenai masa lalu, tapi ia tak menjadi sepuh hingga melepuh oleh waktu.
Seperti saat kamu menemukan potret foto seseorang yang sudah sepia, ia tidak
merenta karena lupa, kuningnya justru menunjukkan betapa kenangan tumbuh subur
di sana. Dan, sekali lagi olehnya aku diajak kelana menuju silam, kembara
kembali pada lampau.
“Siapa
ingin jadi putri?”
Itu yang ditanyakan kawanku sebelum
memulai permainan. Setiap anak mengacungkan jarinya ke udara. Hatiku
mengangguk. Menjadi putri adalah tentang gaun cantik, mahkota di kepala, hidup di kastil,
memiliki tujuh kurcaci yang lucu, punya sepatu kaca yang melegenda, sihir ajaib
yang mampu menyulap labu jadi kereta kencana dan tikus-tikus jadi kusir yang
tampan, ibu peri di sisimu, dan pangeran dengan kuda putihnya.
“Siapa
ingin jadi pangeran?”
Itu yang ditawarkan kawanku
setelahnya. Setiap anak kembali mengacungkan jarinya ke udara. Hatiku diam.
Menjadi pangeran adalah tentang pedang dan parang, melawan naga, misi-misi, belajar tahan
dari semburan api, pergi berperang, mencari sepatu kaca yang hilang, menghadapi
nenek sihir, ciuman sejati yang mematahkan mantra jahat, dan putri dengan segala
perjuangannya.
“Siapa
yang siap bermain?”
Itu yang diajak kawanku pada
akhirnya. Setiap anak langsung mengacungkan jarinya ke udara,
mengggoyang-goyangkannya dan bersorak ria. Hatiku gelisah. Lalu, menjadi putri
dan pangeran yang mengekalkan cinta, adalah permainan. Bukankah segalanya
adalah permainan, asalkan kamu bisa memainkannya dengan baik dan benar. Dan,
saat kamu adalah anak-anak, kamu adalah pemain terbaik – dan kamu tidak akan
merusaknya, karena bermain baik dan benar. Kamu menikmatinya; karenanya kamu
tidak menghabiskan waktu dalam sia-sia. Itu jenis permainan yang kamu, aku, dan
siapapun merinduinya – yang bebas.
Kamu tahu, aku selalu berangan
saat-saat itu dihadirkan sekali lagi – waktu ketika kamu bisa menyatakan cinta
tanpa berpikir apakah waktunya tepat, perlukah cokelat, haruskah lilin di malam
yang romantis, ataukah dandanan sudah sempurna, kamu hanya perlu mengucapkannya
untuk mengungkapkan kasih sayang dan lawanmu menerimanya apa adanya dengan
ketulusan yang sama – tanpa mempertanyakan hal lainnya yang menggugat. Waktu ketika kamu bisa mendaratkan ciuman
tanpa bergelisah apakah akan menjadi masalah, mengapa harus demikian, mencari
alasan yang tepat, kamu hanya perlu memejamkan mata dan mencium keningnya untuk
menguraikan jika kamu ingin bisa bermain bersamanya selamanya. Waktu ketika
kamu bisa memberikan pelukan tanpa menyelipkan senarai maksud lain yang
berbahaya, kamu hanya perlu merentangkan lengan, merangkulnya dalam peluk erat
dan melepasnya dengan canda tawa yang terasa bodoh; tapi saat itu dunia hanya
milik permainan mereka yang berbahagia.
"Di dunia anak-anak, dongeng yang berakhir bahagia itu menyulap jadi nyata."
Lamunanku sirna. Panggilan dari luar
kamarku untuk segera keluar dan bersiap menyantap makan malam sudah menyahut.
Aku beranjak keluar dari kamarku beriringan dengan suara sayup yang kudengar
dari dinding belakang rumah; gurau canda dan tawa suara anak-anak yang
timbul-tenggelam mengantarkan malam ke peraduannya.
Akhirnya, ibu sihir berhasil dikalahkan. Pangeran pun mengajak putri untuk tinggal di istananya. Mereka hidup bahagia. Selamanya.
0 Comments:
Post a Comment