Mataku meningkahi jarum jam arloji
dengan geliat cemas, seakan ingin menahan laju jarum jam tangan itu agar
berhenti; memberiku sedikit nafas agar tak terus merasa diburu perlombaan
dengannya. Tapi, kapan waktu bisa kau ajak berkawan selain saat kau siap jadi
lawannya?
Gelisah terus saja terdengar
mendesah di ruang pikirku yang sudah riuh oleh resah. Kepalaku serasa ingin
pecah. Sibuk menghitung berapa pengunjung yang masuk-keluar dari kedai kopi
yang reyot oleh zaman. Kecamuk menebak-nebak percakapan rasa seperti apa yang
tengah bersuara di bilik hati orang-orang di sini. Bodoh menyelinapi diri yang
tak henti-hentinya menjatuhkan pandang pada seonggok benda kotak mungil di atas
meja - bergulat dengan satu pertanyaan
yang tak jeda jumpalitan; kapan itu bergetar?
Tanganku memilin-milin anak-anak rambut
yang menjuntai melewati bahuku. Lalu, tanganku berlari menuju tumpukan majalah
lama menguning yang menguarkan aroma masa lalu, membolak-baliknya tak berarti.
Serta, tanganku menggaruk kepalaku yang tidak gatal. Lantas, tanganku berjalan
ke arah kedua kakiku yang pegal oleh sepatu berselop tinggi, memijat-mijatnya.
Kemudian, tanganku mengepal pelan-pelan, menggeser meja sebelum meninjunya
hingga gemetar. Setelahnya, selain aku yang setengah berdiri, ada meja kayu
yang retak dan beberapa pasang mata yang singgah padaku.
Bibirku kehilangan poles kilaunya
yang sempat ada pagi tadi. Kini, ia mengkerut. Memberti tanda cemberut yang
memberengut, mungkin arti lain untuk hati yang kalut. Tak tahu dengan apa harus
kubalut, agar aku tak mati kusut. Gigiku tak sabar, ia mengigiti bibirku hingga
ujungnya berdarah. Ah, asin! Akhirnya kudapati rasa lain selain pahit. Hem,
sedikit anyir! Akhirnya kutemukan aroma lain selain bau tanah yang tua dan besi
tua usang nan berkarat.
Wajahku memucat. Bukan karena langit
pagi yang cerah kini sudah berganti dandanan menjadi senja yang cantik. Tapi
karena aku tak melihat petang ini sebagai persembahan hadiah seorang kekasih,
hingga harus mematut diri dan tampil jadi senja yang merona cantik. Ini sore
yang lebam. Lihatlah warna jingganya yang seperti biru lebam akibat luka lama
yang telah mengering.
Poci kopiku yang kelima kalinya
sudah tandas kuhabiskan. Perutku berbunyi – bukan lapar, tapi meraung minta berhenti
kusuapi kopi-kopi. Baiklah, tak ada lagi minuman atau makanan, lagipula aku
sudah kenyang oleh permainan-permainan.
Seorang pelayan menyinggahi meja
yang kumonopoli sejak pagi tadi. Tak ada bill di tangannya sebagai isyarat
pengusiran untukku. Nyatanya ia hanya menggeser bangku ke depanku, dan
mengambil duduk di sana. Lama dirajai bisu, akhirnya ia berikanku selembar tisu
dengan pena. Bahkan seorang pelayan saja tahu, pada kertas, aku bisa berteman
dengan kesendirian dan sepi agar lebih sabar dan ikhlas lebih dalam. Aku meraih
tisu dan pena itu, kira-kira begini kolaborasi tinta pena dan kata di atas tisu
itu berbicara sebelum aku beranjak pergi dari sana, dan menyisakan cerita lain;
“…mungkin
kamu hanya sepintas bayangan lewat. Karena cinta datang pada waktu tepat, dan
kamu terlambat.”
0 Comments:
Post a Comment