Saturday, 9 May 2015

Terlambat


Mataku meningkahi jarum jam arloji dengan geliat cemas, seakan ingin menahan laju jarum jam tangan itu agar berhenti; memberiku sedikit nafas agar tak terus merasa diburu perlombaan dengannya. Tapi, kapan waktu bisa kau ajak berkawan selain saat kau siap jadi lawannya?
Gelisah terus saja terdengar mendesah di ruang pikirku yang sudah riuh oleh resah. Kepalaku serasa ingin pecah. Sibuk menghitung berapa pengunjung yang masuk-keluar dari kedai kopi yang reyot oleh zaman. Kecamuk menebak-nebak percakapan rasa seperti apa yang tengah bersuara di bilik hati orang-orang di sini. Bodoh menyelinapi diri yang tak henti-hentinya menjatuhkan pandang pada seonggok benda kotak mungil di atas meja -  bergulat dengan satu pertanyaan yang tak jeda jumpalitan; kapan itu bergetar?
Tanganku memilin-milin anak-anak rambut yang menjuntai melewati bahuku. Lalu, tanganku berlari menuju tumpukan majalah lama menguning yang menguarkan aroma masa lalu, membolak-baliknya tak berarti. Serta, tanganku menggaruk kepalaku yang tidak gatal. Lantas, tanganku berjalan ke arah kedua kakiku yang pegal oleh sepatu berselop tinggi, memijat-mijatnya. Kemudian, tanganku mengepal pelan-pelan, menggeser meja sebelum meninjunya hingga gemetar. Setelahnya, selain aku yang setengah berdiri, ada meja kayu yang retak dan beberapa pasang mata yang singgah padaku.
Bibirku kehilangan poles kilaunya yang sempat ada pagi tadi. Kini, ia mengkerut. Memberti tanda cemberut yang memberengut, mungkin arti lain untuk hati yang kalut. Tak tahu dengan apa harus kubalut, agar aku tak mati kusut. Gigiku tak sabar, ia mengigiti bibirku hingga ujungnya berdarah. Ah, asin! Akhirnya kudapati rasa lain selain pahit. Hem, sedikit anyir! Akhirnya kutemukan aroma lain selain bau tanah yang tua dan besi tua usang nan berkarat.
Wajahku memucat. Bukan karena langit pagi yang cerah kini sudah berganti dandanan menjadi senja yang cantik. Tapi karena aku tak melihat petang ini sebagai persembahan hadiah seorang kekasih, hingga harus mematut diri dan tampil jadi senja yang merona cantik. Ini sore yang lebam. Lihatlah warna jingganya yang seperti biru lebam akibat luka lama yang telah mengering.
Poci kopiku yang kelima kalinya sudah tandas kuhabiskan. Perutku berbunyi – bukan lapar, tapi meraung minta berhenti kusuapi kopi-kopi. Baiklah, tak ada lagi minuman atau makanan, lagipula aku sudah kenyang oleh permainan-permainan.
Seorang pelayan menyinggahi meja yang kumonopoli sejak pagi tadi. Tak ada bill di tangannya sebagai isyarat pengusiran untukku. Nyatanya ia hanya menggeser bangku ke depanku, dan mengambil duduk di sana. Lama dirajai bisu, akhirnya ia berikanku selembar tisu dengan pena. Bahkan seorang pelayan saja tahu, pada kertas, aku bisa berteman dengan kesendirian dan sepi agar lebih sabar dan ikhlas lebih dalam. Aku meraih tisu dan pena itu, kira-kira begini kolaborasi tinta pena dan kata di atas tisu itu berbicara sebelum aku beranjak pergi dari sana, dan menyisakan cerita lain;
“…mungkin kamu hanya sepintas bayangan lewat. Karena cinta datang pada waktu tepat, dan kamu terlambat.”
This entry was posted in

0 Comments:

Post a Comment