Aku memelihara hantu di dalam
kepalaku – aku tak merawatnya, aku sudah berusaha berkali-kali mengusirnya pergi, tapi ia masih saja bergelayut manja di ruang kepalaku. Hantu;
sesosok hitam itu tertawa dan berteriak lantang di dalam diriku; aku akan
selalu ada, aku adalah kamu – yang menjelma mimpi-mimpi burukmu. Minggu ini,
hantu itu datang begitu saja – tanpa mengetuk pintu, karena memang pintu yang
kupunya sudah lama dicabik pisau kenangan lampau yang menghantui. Dan ia
mengancam; aku tak akan bangun di pagi hari dengan kisah-kisah bahagia.
Biar kudeskripsikan hantu itu; ia
tidak menyeramkan, tidak bertanduk ataupun berwajah beringas seperti yang
dibayangkan. Ia seperti aku – hanya saja sangat gelap dan berdarah, bahkan aku tak mampu
melihat matanya. Ia lebih sering tertawa dibanding mengancam – sesungguhnya. Ia
adalah bagian diriku yang memastikan aku akan menangis jika lima belas menit
lamanya aku termenung di hadapan cermin, menghadirkan mimpi buruk saat aku siap
bergelung dalam lelap, dan memasangkan topeng di wajahku ketika aku akan
melangkah keluar. Pernah kubilang padanya mengapa begitu kerasan berumah di
kepalaku. Jawabannya membuatku gemetar; “…kamu yang menciptakan aku. Olehmu aku
hidup, lewat kenangan buruk tentang dirimu yang kamu simpan menahun, bersama
kesedihan-kesedihanmu, dan tangis yang kamu jaga diam-diam di tiap larut malam
tanpa orang lain tahu. Kamu tanpa sadar memberiku makan setiap harinya.”
Ini Rabu, dan segalanya terasa buruk
di mataku. Hantu itu masih bergeliat tak mau tahu. Sedangkan aku hampir mati
mengusahakan semuanya baik-baik saja. Lalu, mereka; sahabat-sahabatku, tiba-tiba datang
kepadaku satu persatu bertanya ‘mengapa’, dan ‘ada apa’. Katanya, mereka
merindukan senyumku, celoteh seriusku, dan tawa-tawaku. Mereka bilang, ada
mendung di wajahku – gelayut gelap yang tinggal cukup lama di mataku, hari ini.
Tak ada binar saat aku memainkan teori-teori. Tawaku hambar, aku tak benar-benar
utuh hadir di antara mereka. Ada yang salah. Aku tersenyum – dan lagi-lagi, itu
lengkung bibir yang pucat.
Aku pun pulang ke rumah dengan
langit polos malam menjadi payung di atas kepalaku. Aku takut tidur – dan menemui
hantu itu lagi. Aku hanya menulis ini – berharap menghidupkan si hantu, bukan
di kepalaku, tapi berpindah ke cerita-cerita ini. Mungkin, padamu.
*aku
tidak merasa baik akhir-akhir ini, mimpi buruk itu datang lagi dan hantu itu
tak pernah lelah untuk singgah. Tapi, setiap harinya aku selalu punya
kawan-kawan yang bagai tangan Tuhan berusaha menyentuhku agar tersenyum
sejenak. Mereka yang dalam kesibukkannya selalu bilang, punya waktu untuk orang yang dicintai. Terima kasih pada mereka yang bertanya mengapa tak ada senyumku hari
ini. Malam ini, sebelum aku tidur, aku tersenyum untuk mereka.
0 Comments:
Post a Comment